Tuesday, March 3, 2009

Kota Imajiner, Kota Tanpa Nama

Detailed of Hayatudin's work.

Dalam novel Italo Calvino “Invisible Cities” sang aku melakukan perjalanan jauh dan singgah ke beberapa kota. Ia mendeskripsikan kota-kota itu dalam sejumlah tanda, antara lain, padang rumput, sungai, jembatan, pohon, taman, kanal, dermaga, istana, rumah sakit, pagoda, biara, kedai dan lainnya.

Sang aku adalah Marco Polo. Pejalan agung itu, dalam keseluruhan novel, bercakap-cakap dengan Kublai Khan, kaisar kaum Tartar yang perkasa. Mereka membicarakan kota-kota yang, barangkali, tak pernah ada. Meski begitu sejumlah tanda di atas diyakini hadir dan lazim ditemui di dalam suatu kota yang mereka bincangkan.

Melalui tokoh seorang filsuf, Calvino mengatakan bahwa “tanda-tanda membentuk bahasa” meskipun seandainya bahasa itu “bukan bahasa yang kau pikir kau kenali”. Analoginya, tanda-tanda “kanal”, “dermaga”, “istana” dan sebagainya itulah yang membentuk konsep tentang kota.

Akan tetapi, dalam lima belas kanvas Hayatudin, 37, kota-kota tak dikenali sebagai kota pada umumnya. Semuanya hanya berupa bidang-bidang datar-rata dengan perbedaaan gradasi warna dan cahaya. Anasir-anasir itu disusun menjadi objek seperti kotak yang meninggi. Kubus-kubus yang berapatan itulah yang mengingatkan pemandang pada citraan tentang super-block. Di luar itu tak ada tanda-tanda atau identitas lain yang spesifik mengenai suatu habitus yang bernama kota.

Hayatudin berpameran tunggal di Galeri Semarang, jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang, pada 13—23 Februari 2009. Pameran tunggalnya yang kedua ini bertajuk “Kota Tanpa Nama” dan dikurasi oleh Rifky Effendy. Ukuran lukisannya seragam, yaitu 180X180 cm dan 180X200 cm. Semuanya akrilik di atas kanvas dan bertanda tahun 2008.

Kota yang digambarkan oleh senirupawan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, masih meminjam gagasan Calvino, itu adalah “sebuah kota tanpa sosok dan tanpa bentuk”. Memang di dalam kota ciptaan Hayatudin itu tak ada sosok manusia sama sekali. Seakan-akan kota-kota itu tanpa penghuni, tanpa kehidupan.

Kota-kota Hayatudin, menurut kurator, adalah refleksi dari suatu “nostalgia atau utopia megapolitan”. Mereka adalah “organisme yang bergerak dan tumbuh” dan “lokus dari budaya masyarakat kontemporer, sebagai ruang kehidupan yang berkembang, problematis namun selalu menggoda”.

Jika dicermati benar tampak bahwa lima belas kota Hayatudin itu adalah kota yang nyaris seragam. Perbedaannya yang utama hanya terletak pada warna-warnanya yang berlainan. Setiap bidang kanvasnya bernada tunggal, monokromatik. Kelembutan warna pastel itu kontras benar dengan tampilan beberapa kotanya yang cenderung khaostik.

Selain warna, perbedaan lainnya hanya terletak pada aspek formal visualitasnya. Hayatudin memanfaatkan teknologi komputer, terutama pada tata kerja optikal, untuk menstilisasi tampilan kota-kotanya. Beberapa kotanya digambarkan menggelembung (Kontraksi, 200X180 cm), tegak lurus tanpa horison (Kota Tanpa Peta, 200X180 cm), seperti kubus (Mencari Celah Tanah, 200X180 cm), menyerong (Metro, 200X180 cm) dan ada pula yang meliuk-liuk (Gelombang Ketiga, 200X180 cm).

Pada Rubbish (180X180 cm) dan Ambruk (180X180 cm) digambarkan ratusan bangunan dan gedung yang saling menindih, bertumpuk. Keduanya adalah gambaran kota yang tunggang-langgang, khaostik. Ini amsal (atau ramalan?) yang mengerikan tentang kota dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang ambruk.

Kurator pameran ini mengatakan bahwa karya-karya Hayatudin terkategori Opt Art yang dipopulerkan oleh seniman Victor Vasarely. Pendapat Rifky mungkin berlebihan. Dalam konteks opt art itu, Hayatudin belum sampai memperlihatkan teknikalitas, kecermatan, atau visualitas yang teramat mempesona sehingga mencengangkan pemandang.

Akan tetapi menarik untuk membincangkan gagasan “kota” Hayatudin itu. Benarkah “kotak-kotak” itu adalah citraan atau representasi “gedung” yang lazim kita kenal di kota-kota mega di dunia? Apakah habitus seluruh “gedung” itu pantas disebut sebagai “kota”?

Barangkali saja kita laik mengkaji “gedung” atau “kota” itu bukan sebagai representasi, salinan, atau replika dari sesuatu di luar dirinya. Keduanya tidak menyatakan diri sebagai realitas empirik yang kita kenal. Seandainya kita mengenali keserupaan di kanvas-kanvas Hayatudin, visualitas “super-block” atau “kota” itu adalah suatu permainan. Dalam bahasa Baudrillard, gagasan “kota” Hayatudin bukanlah simulakra, namun simulasi atau simulakra sejati.

Demikianlah, dalam diskursus seni rupa kontemporer seringkali gagasan seniman jauh lebih menarik ketimbang karyanya. Wujud fisik atau aspek material karya seni, lantas, bisa berupa apa saja.

Akhirnya kita mesti bertanya, adakah kenikmatan spesifik dari mengamati karya-karya dekoratif Hayatudin itu? Ini perkara personal, tentu. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke The Jakarta Post, Selasa 19/02/2009]

No comments: