Thursday, July 17, 2008

Seni Mode Dipo Andy

Kind of Batik Lasem.

PRAKTIK produksi dan konsumsi seni visual setakat ini —Indonesia— bisa diterangkan dalam konteks kajian budaya massa. Karya seni —termasuk metoda produksi artistikanya— tak penting lagi dinilai sebagai karya kultural. Seniman pun cuma sebagai penjaja gagasan medioker dan komoditas kuasi-seni.

Apa yang diproduksi seniman serentak dikonsumsi oleh publik melalui berbagai cara. Akan tetapi, publik itu —dalam kajian budaya— tak jelas benar identiasnya. Kelimun bukan kesatuan utuh dengan nilai-nilai kulminatif yang diperjuangkan bersama. Juga, massa itu sekadar atom-atom yang tidak bersinergi. Dalam konstruk demikian, massa mudah diceraikan dan dipola melalui dan dalam ideologi konsumerisme dan hedonisme.

Nafsu meraup kesenangan sesaat diafirmasi oleh media massa dengan semua kecanggihannya. Sedangkan media massa itu, kita mafhum, senantiasa bekerja secara kapitalistik. Di sinilah esensinya: semua hal yang berelasi dengan budaya massa tak lain ialah produk budaya kapitalisme. Lantas, di manakah posisi seni itu?

Kesenian (populer) pun menempati ruang yang semakin melebar. Seni tidak lagi esoterik, berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, akan tetapi ia memasuki ruang kesadaran massa sebagai bagian dari life style. Sebagai gaya hidup, tak penting benar apakah produk seni yang dikonsumsinya itu ber-‘nilai’ atau imitatif. Perilaku mengkonsumsi ini pun, lantas, menjadi absah di tengah-tengah masyarakat yang memuja kultur permukaan—budaya selintas.

Maka, berkacalah pada pameran lukisan Dipo Andy —bertajuk Passion Fashion, di Galeri Semarang, Jalan Srigunting 5—6, Semarang, (14—24 Juni)— untuk mendapatkan kejelasan akan pengertian apa itu budaya massa. Termasuk di dalamnya ialah industri fashion yang dirayakan sepenuh hati dan gaya dalam dunia life style.

Pameran tersebut diniatkan sebagai soft launching galeri itu —menempati gedung heritage dua lantai (1000 meter persegi) yang dibangun pada tahun 1895— di area Kota Lama Semarang.
***
Rifky Effendy —kurator pameran— mengatakan, bahwa dunia fashion merupakan gabungan antara dunia seni, industri dan gaya hidup modern. Selanjutnya, industri fashion itu sanggup mengubah gaya hidup dan cara pandang suatu masyarakat. Akan tetapi, (paradoksnya) di tengah kondisi semakin menganganya jurang si kaya-miskin, fashion mempertemukan mereka dalam suatu pusaran mode yang berlapis-lapis.

Glamoritas dunia mode, dengan begitu, terasa egaliter: melampaui batas kelas sosial. Ironisnya, tatkala si miskin tak kuasa membeli tas Louis Vuitton, misalnya, lantas mereka rela menenteng yang tiruan —yang palsu— dan, niscaya, murahan.

Bagaimana industri mode melancarkan serangannya? Antara lain, melalui media massa, berupa iklan. Advertensi itu membius massa—melalui logo-teknik (istilah Roland Barthes) tertentu. Massa yang terbius (pastikan dalam pengertian ini: tidak sadar) tak kuasa menimbang-menilai apa-apa di hadapannya. Maka, sebagian besar massa yang silap (atau miskin edukasi-informasi yang ‘baik’) memilih mengimitasi semua yang tampak yang dikerjakan ‘kalangan atas’. Jadilah mereka epigon yang tuna referensial.

Gelagat kompleksitas industri mode itu tampak pula pada ‘industri’ seni rupa —khususnya seni lukis— Tanah Air. Para pembutuh seni meng-‘konsumsi’ lukisan setara dengan tingkah massa yang terbius dan terperangkap dalam dunia ilusif mode. Mereka terbius sehingga tidak melihat signifikansinya strategi pengkoleksian karya seni—cuma sekadar melihat potensi nilai tambah ekonomisnya. Gelagat ini setara dengan asumsi industri budaya massa: permukaan, seragam, lekas usang, punya nilai ekonomi.

Masyarakat linglung-diskursus-seni, umumnya, terjerumus di dalam pusaran komodifikasi ‘seni’ medioker—atau seni lancung. Celakanya, mereka adalah bagian terbesar dari art-scene yang kita miliki. Apakah pengetahuan kognitif mereka tidak berkembang?

Kondisi kelancungan seni itu turut dikeruhkan oleh praktik produksi artistika yang semena-mena. Sebagian (besar) pelukis cuma melahirkan karya-karya dengan spektrum yang menyenangkan mata-okuler—nirmakna, non-esensial.
***
Sebelas lukisan Dipo Andy itu jelas-jelas seragam: produksi tahun 2008, ukuran 200X200 cm, lis stainless-steel, pokok soal fashion, komposisional pusat, techne, dan nuansanya. Cara kerjanya —katakanlah inspirasinya— pun jelas-jelas seragam: meremas selembar kertas majalah mode, mereproduksi secara digitalis, mencetak citraan pada kanvas, menempelkannya lagi di kanvas baru, melabur dengan cat tipis-tipis (kuasi-barik), menyablon teks-dialogal di beberapa sudut kanvas, dan leleran cat tipis. Hanya judulnya antara sama-tak sama: bertajuk Passion Fashion—diimbuhi nama-nama perancang Balenciaga, Salvatore Ferragama, Prada, Burberry, Yves Saint Laurent, Fendi, Louis Vuitton, Donna Karan, Moschino, Chloe, dan Calvin Klein.

Melalui tematika, cara kerja, visualitas sedemikian rupa Dipo Andy merayakan dunia mode itu dalam standar industri budaya massa. Selebihnya: karya-karya seharga 250 jutaan itu dimamah tuntas oleh konsumer.

Terima kasih, Dipo Andy. Sampeyan mengingatkan saya hal perilaku ‘pecinta’ seni Tanah Air hari-hari ini. (Tubagus P. Svarajati, tukang kritik, tinggal di Semarang)

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Visual Arts, Minggu 13/07/2008]

Tuesday, July 1, 2008

Etalase Pemikat Bernama Katalog

Various kind of exhibition catalogues.
(Photo: RSY)

LAZIM dalam suatu pameran seni rupa diterbitkan pula katalog pameran. Bentuk katalog pameran itu beragam. Dari yang sederhana —cukup fotokopian— sampai yang mewah berbentuk buku full color.

Katalog—seturut Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ketiga—ialah carik kartu, daftar, atau buku yang memuat nama benda atau informasi tertentu yang ingin disampaikan, disusun secara berurutan, teratur, dan alfabetis. Di samping itu —dalam ranah manajemen, masih menurut KUBI— katalog berarti daftar barang yang dilengkapi dengan nama, harga, mutu, dan cara pemesanannya. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia —susunan Eko Endarmoko— katalog berpadanan dengan daftar buku, daftar, lis, brosur, direktori, dan prospektus.

Deskripsi di atas —setidak-tidaknya— mendedahkan katalog sebagai brosur atau prospektus berisi daftar barang yang disusun secara teratur yang dilengkapi dengan nama, harga, mutu, dan cara pemesanannya. Kira-kira seperti itu pula arti katalog untuk kegiatan pameran seni rupa—biasanya meliputi lukisan, patung, dan seni grafis. Tentu saja dalam pengertian ini adalah katalog yang berbentuk buku—bukan katalog sederhana berbentuk selembar kertas fotokopian atau poster yang difungsikan sebagai prospektus.

Katalog seni rupa yang berbentuk buku —sedikit-dikitnya— ada tertulis pengantar galeri atau panita pameran, teks kuratorial atau esai mengenai seni yang dipamerkan—bahkan seringkali ada sambutan dari pejabat atau seniman senior yang dianggap layak menuangkan pendapatnya. Katalog juga memuat riwayat hidup seniman dan —mesti tidak harus— disertakan pula pasfoto yang bersangkutan. Dan yang terpenting, katalog memuat gambaran (images) atau reproduksi karya-karya yang dipamerkan.

Dalam hal yang terakhir —jelaslah— gambaran reproduksi karya menjadi hal utama yang dijajakan. Acapkali gambaran itu —untuk setiap karya— menempati satu halaman penuh katalog. Ada juga sisipan khusus —sepanjang tiga halaman katalog, misalnya— yang hanya berisi satu gambaran karya. Reproduksi karya-karya itu didampingi dengan data-data yang diperlukan, seperti: judul, tahun pembuatan, ukuran, dan bahan karya. Detail-detail karya ini biasanya berkelindan dengan nilai jual karya termaksud. Ambil contoh lukisan—ukuran kanvas yang lebih luas lebih mahal ketimbang yang berukuran lebih kecil. Logika linear ini lazim dipraktikkan di kalangan galeri dan seniman kita. Padahal —jika kita hendak membincangkan seni— patokan ukuran luas tak menjamin mutu atau kualifikasi suatu karya. Ada anekdot: seorang kolektor membeli lukisan berdasar ukuran per cm—makin luas, makin mahal.

Katalog Mewah—Karya Mahal
Selain hal-hal di atas, katalog juga memuat susunan tim produksi pameran. Keterangan itu lazimnya ditempatkan di halaman terakhir katalog—di halaman colophon. Antara lain yang disebutkan: nama kurator, nama desainer katalog, nama dan alamat penerbit (biasanya galeri bersangkutan), jumlah ekslemplar, nama percetakan, tahun pembuatan, copyright atau hak cipta, nama fotografer, dan nama penterjemah (jika ditulis pula dalam bahasa Inggris, misalnya). Biasanya pada halaman yang sama juga disebutkan nama-nama orang atau lembaga yang turut membantu terlaksananya pameran.

Tidak jarang ada katalog yang memuat nama orang, perusahaan, atau lembaga donasi yang mendukung pameran itu. Nama dan atau logo perusahaan dicetak di halaman tersendiri—umumnya diletakkan di halaman belakang katalog. Akan tetapi, ada juga yang hanya dituliskan nama-nama itu tanpa menyertakan iklannya.

Ukuran dan ketebalan katalog pameran seni rupa sekarang beragam. Ada yang menyerupai buku pelajaran SD (21x29 cm). Ini tren sekarang yang paling digemari banyak galeri di Indonesia. Jumlah halamannya pun tidak tentu—ada yang cuma tiga puluh dua halaman, namun ada pula yang berjumlah ratusan halaman. Semakin besar, tebal, dan mewah suatu katalog, maka terkesan semakin prestisius sesuatu pameran dan semakin mahal pula karya yang dipamerkan.

Pada umumnya katalog mewah diproduksi oleh galeri-galeri komersial. Tujuannya jelas: katalog diniatkan sebagai etalase-pemikat. Katalog-katalog semacam ini, meski sangat baik kualitas visualnya, terasa benar kehilangan fungsi epistemologis dan edukatifnya. Di sana sekadar ada teks atau esai pelengkap—pemanis lebih tepatnya. Teks atau esai itu —secara umumnya— sering tidak mampu memberikan gambaran utuh perihal karya-karya yang disigi. Tidak jarang teks atau esai itu melantur jauh dari tema pameran. Terbilang satu atau dua kurator pameran—yang saya amati—menerapkan model penulisan sosiologis. Konsep ini terasa semakin menjauhkan perbincangan intrinsik-estetik dari ruang pameran. Jika demikian, bisakah cita-rasa estetik publik terbangun dengan baik?

Katalog Lelang—Mono Acuan
Menurut definisinya, katalog memang ditujukan sebagai wahana menjajakan barang-barang. Katalog yang kentara dalam wilayah ini ialah katalog yang diterbitkan oleh balai lelang. Katalog-katalog itu tebal, berat, seukuran kuarto. Secara umum, kualitas kertas dan cetakannya sangat baik. Di dalamnya ada beberapa halaman ketentuan lelang dan images yang disertai dengan nama seniman, judul karya, ukuran, bahan, dan estimasi harga lelang.

Pada beberapa karya —dalam katalog balai lelang itu— diuraikan secara agak panjang kelebihannya. Karya-karya yang diulas ini biasanya adalah yang dianggap menonjol dan diprakirakan mampu meraih hammer-price tinggi—diperebutkan di arena lelang.

Hampir semua balai lelang seni rupa memang mengeluarkan katalog yang mewah. Namun begitu, ada juga balai lelang yang menerbitkan katalog sederhana. Balai lelang ini memang mengkhususkan diri pada pelelangan karya yang berkelas lebih rendah. Untuk karya-karya seperti itu dikilahkan sebagai affordable-art.

Di Indonesia ada beberapa balai lelang seni rupa yang rutin menggelar pelelangan. Fenomena ini kian menggelembungkan pasar seni dalam negeri. Oleh karena sangat seringnya ada pelelangan —disamping nihilnya standar dan lembaga penilaian seni— maka balai lelang dijadikan acuan sebagai lembaga aesthetic-value. ‘Standar-nilai’ suatu karya yang baik, antara lain, jika karya itu sudah termasuk slot pelelangan. Tentu saja pandangan ini adalah suatu kecerobohan intelektual—jika tak hendak dibilang sebagai sikap kebodohan para ‘pecinta-seni’ itu.

Agaknya mesti diuar-uarkan terus bahwa masuknya suatu karya seni —lukisan, untuk jelasnya— dalam pelelangan tak berbanding linear dengan nilai-estetiknya. Dalam pelelangan karya seni —terutama dalam praktik di Indonesia dengan segala kemusykilannya— yang bertuan ialah praktik komodifikasi atau pembendaan karya seni. Karya seni —pada akhirnya— bukan dinilai dari seberapa dalam nilai-nilai transendennya, namun lebih ditekankan pada capaian nilai nominalnya.

Halai-balai pasar seni rupa Indonesia —terutama pasar lukisan— disebabkan, antara lain, oleh hasrat kemaruk-harta. Dan katalog menjadi rujukan satu-satunya bagi mereka—para penggila dan pemain ‘komoditas-lukisan’ itu. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 29/6/2008.]