Monday, April 29, 2013

Semarang 1998

Pagi-pagi radio sudah terjaga. Siang merayap lekas. Udara gerah. Seperti pentas teater, setahap demi setahap ketegangan memuncak klimaks. Makin siang suasana makin tak menentu. Lagu-lagu mars menderas dari radio seperti sepatu lars yang berderap-derap. Sesekali suara penyiar Radio Republik Indonesia mengudara. Katanya, rakyat agar tenang di rumah masing-masing. Mahasiswa dan rakyat bahu-membahu berjuang menurunkan Suharto. Revolusi di ujung tanduk.

Dua minggu sebelumnya, di Jakarta, empat mahasiswa mati ditembus peluru aparat. Kejadian itu bak bara api tersiram bensin. Entah siapa yang memulai, massa yang beringas menjarah dan membakar pusat-pusat pertokoan. Kerusuhan melanda hampir di seluruh kawasan Ibukota. Jakarta terbakar dalam arti sebenarnya. Puncaknya, di ujung abad dua puluh itu—tarikh 1998—dunia saksikan kebiadaban di Indonesia: ratusan perempuan Tionghoa diperkosa dan sebagiannya bahkan dipanggang hidup-hidup. Puak Tionghoa jadi sasaran amok. Mereka dikambinghitamkan.

Di Semarang, meskipun kerusuhan belum ataupun tak diharapkan terjadi, kaum Tionghoa tak urung tergetar-gemetar. Mereka panik. Perasaan takut bagai tamu tak diundang, setia bertandang setiap waktu. Mereka pasrah. Sebagian yang lain mulai bersiap-bersiasat. Di rumah, kami siapkan berbagai senjata: dari pentungan sampai gobang berkilat terasah. Tak lupa kami sediakan puluhan botol plastik berisi cairan asam sulfat. Jika perusuh datang, kami akan melawan. Kami tak mau terpanggang di rumah kami sendiri. Mari sama-sama terbakar.

Saya tak ingat, entah hari apa ketika itu. Yang tercatat di benak: hari itu siang yang terik bertanggal 20 Mei 1998. Saya gelisah di rumah. Siaran RRI tak mampu menenangkan pikiran saya. Bahkan, sebaliknya, saya kian galau. Saya terpenjara di rumah sendiri. Ibarat gangsing, saya cuma berpusing-pusing dari dapur ke ruang tengah lalu melongok-longok ke luar rumah. Sampai suatu saat saya lihat sebuah mobil yang sudah saya kenal berhenti di depan rumah kami. Saya senang.

Si sopir turun, mengetuk pagar, dan begitu pintu rumah terbuka, ia berseru: ”Ayo, kita ke luar motret!” Saya melonjak gembira. Sebenarnya saya sudah tak tahan berdiam diri di rumah saja. Selain bosan pun saya tak tahu situasi terkini kota kelahiran saya. Karena itu, ajakan Pak Narto serta-merta menaikkan adrenalin saya. Pak Narto ialah Ambrosius Soenarto atawa Amb. Soenarto. Ia berasal dari Solo. Rumahnya di lingkungan keraton Surakarta. Sudah lama ia mencari nafkah di Semarang. Ia buka studio foto kecil—bernama Puma Studio—di Jalan Gajah Mada. Di sanalah saya dan kawan-kawan ”bermarkas”. Beberapa tahun berselang Pak Narto telah berpulang.

Tak menunggu lama-lama, saya lekas-lekas bersalin baju, memakai rompi, dan meraih tas isi kamera. Bergegas kami naik mobil. Kami melaju di tengah kota yang lengang. Jalan Pandanaran kami lewati. Kami menuju jantung kota: Simpang Lima. Di Jalan Imam Barjo, di halaman kampus Universitas Diponegoro, kami parkir. Segerombolan mahasiswa menoleh. Tatapan mereka menelisik tajam. Kami tak peduli. Sembari berjalan kami ikatkan secarik kain—bertuliskan ”reformasi”—melingkari kepala dan lengan kami. Langsung kami menuju ke Kantor Gubernur Jawa Tengah di Jalan Pahlawan. Rupanya massa terkonsentrasi di sana.

Di tengah halaman, menyatu dengan tiang bendera, berdiri panggung kecil. Massa menyemut di situ. Beberapa orang, termasuk mahasiswa, berorasi membakar semangat massa. Siang makin memanggang badan. Sebagian massa duduk-duduk. Sebagian lagi berdiri bergerombol. Gelombang manusia tak henti-henti berdatangan. Setiap kedatangan rombongan baru senantiasa disambut tempik-sorak oleh massa terdahulu: Selamat datang, Saudara-saudaraku! Rapatkan barisan!

Aha, seseorang naik ke panggung. Saya kenal sosok gemulai itu. Inong! Ia transgender, konon, lulusan Sastra Prancis Undip. Saya kenal Inong di Studio Foto Rona, di Jalan Jend. DI Panjaitan. Ia perias dan pematut gaya (stylist) di sana. Inong berjoget di panggung sambil sesekali berorasi. Entah apa yang diteriakkan tak jelas terdengar. Suasana gaduh. Massa tergelak riang melihat lagak Inong.

Tak lama, bergantian, naik pula ke panggung tiga sosok lain. Dua di antara mereka saya kenal baik, yakni Adhy Trisnanto dan Ign. Edi Cahyono Santoso. Yang pertama ialah pengusaha dan ahli periklanan. Sedangkan sosok kedua adalah advokat. Saya kenal mereka dari pergaulan di komunitas fotografi. Entah bagaimana mereka punya akses dan nyali tampil di tengah massa. Figur ketiga ialah Alvin Lie. Saya baru paham belakangan, Lie anak pengusaha toserba Mickey Mouse (belakangan toko ini bersalin nama Mickey Morse) di Jalan Depok. Sekarang Mickey Morse tinggal nama saja.

Ketiga orang Tionghoa tadi berorasi dengan penuh semangat. Pada intinya mereka mendukung perjuangan mahasiswa Semarang menumbangkan rezim Orde Baru. Mereka mengharapkan kehidupan politik yang lebih beradab. Pesan mereka, siapa saja boleh berdemo secara bebas, namun tak selayaknya melakukan tindakan bakar-membakar fasilitas publik atau milik rakyat yang tak bersalah. Massa berteriak mengamini isi pidato ketiganya.

Saya tak ingat, atau tepatnya saya tak tahu, siapa saja yang berorasi. Yang terbanyak, tampak dari atribut dan gayanya, adalah para mahasiswa. Tak jelas pula dari mana mereka berasal. Kumpulan manusia di sana pun tampak beragam. Sebagian pelajar, sebagian lain masyarakat umum. Gelombang manusia tak putus-putus mengular. Di tengah siang yang terik serombongan biarawati Katolik muncul. Sontak massa bergemuruh. Mereka girang melihat kehadiran para biarawati dengan senyum santunnya itu. Lambaian tangan disambut tinju-tinju yang menggedor langit.

Para orator terus membakar hari, menyemangati hati rakyat. Urat leher mereka menegang. Lewat pengeras suara mereka teriakkan tuntutan reformasi. Semangat mereka berdentam-bergelora.

"Turunkan Asu Harto!”
”Reformasi damai!”
”Jangan bakar Citraland! Jika terbakar, siapa yang rugi?!”
”Kitaaaaa...!” massa menjawab lantang.

Silih berganti orang-orang berpidato di panggung. Sementara itu, ketersediaannya bak air bah, nasi bungkus dan air dalam kemasan tampak berlimpahan. Konon logistik itu sumbangan para pengusaha Tionghoa. Realitanya, gemuruh Reformasi 1998 tak sampai melumpuhkan Semarang. Kota ini, ibarat kolam ikan, cuma beriak-riak kecil.

Ketika itu, pada 1998, tak banyak orang memotret. Kamera SLR masih terhitung sebagai barang mahal. Perangkat telpon genggam berkamera belum lazim dalam genggaman. Perilaku memotret pun belum menjadi adat orang kebanyakan. Walhasil, hanya wartawanlah yang memotret keramaian di halaman Gubernuran saat itu. Satu sosok yang menonjol ialah Chandra Adi Nugroho. Ketika itu ia bekerja untuk harian sore Wawasan. Lantas ia pindah ke koran Kompas dan terakhir, jika tak salah, ia koresponden harian Kedaulatan Rakyat di Semarang. Bersama dia, antara lain, saya turut menggagas dan mendirikan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang, September 2002. Di saat PFI Semarang lahir saya koresponden majalah FOTOmedia.

Pada peristiwa demo tadi saya turut memotret bersama Pak Narto. Saya akui, pada waktu itu kemampuan fotografi saya belum maksimal. Kesadaran sejarah saya pun tidak cukup kuat. Akibatnya, detik-detik bersejarah terlewat begitu saja. Kendati begitu, saya turut menyaksikan dan berada di pusaran sejarah bangsa ini. Sejarah kecil itu tercetak dalam beberapa lembar foto. Melihat ulah saya yang gencar memotret, Adhy Trisnanto tersenyum kecut dan menggerundel, ”Orang-orang lagi demo, kau malah enak-enakan hunting!”

Sehari setelah saya turut hadir di Gubernuran Jawa Tengah, Presiden Suharto mundur. Jenderal kelahiran Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, itu melenggang keluar istana pada 21 Mei 1998 setelah bercokol selama 32 tahun. Wajah dan sejarah NKRI pun berubah.

Adhy Trisnanto, usai Reformasi 1998, lantas bekerja sebagai Pimpinan Redaksi tabloid Nurani Bangsa. Berkala mingguan ini disokong oleh beberapa orang pengusaha Tionghoa dengan tujuan mulia: melakukan advokasi politik terhadap kalangan Tionghoa Semarang. Sayangnya tabloid ini tak berumur panjang. Kemudian, berpusing bersama sejarah, Alvin Lie adalah anggota DPR RI untuk dua periode jabatan. Ia berasal dari Partai Amanat Nasional. Sedangkan Ign. Edi Cahyono Santoso kembali ke habitatnya sebagai pengacara.

***

Ingatan-ingatan tadi berseliweran, timbul-tenggelam, dan terang-benderang memunculkan kembali jejak-jejak peristiwa di halaman Gubernuran Jawa Tengah, pada tengah hari yang membakar, tanggal 20 Mei 1998. Semua itu berkelebat di dalam dan bersama foto.

Peristiwa-peristiwa pasti akan berlalu, orang pun tak selamanya hidup, dan jejak-jejak ingatan tak cuma terekam di benak, yang dalam hitungan waktu bisa pupus pula, namun trinitas manusia-peristiwa-ingatan hadir kembali dalam dan bersama kehadiran pemandang foto. Masalahnya, bagaimana imaji fotografis, yang diam-beku dan tak bersuara, hadir dan hidup dalam ingatan kita. Apakah setiap orang niscaya tergetar-dalam-haru yang sama pada foto sejenis?

Saya ingat, seraya mengutip pendapat Mallarmé, yang berkata bahwa semua hal di dunia niscaya berakhir dalam buku, Susan Sontag punya pandangan sendiri, yakni setakat ini apa saja berujung pada sebuah foto. Today everything exists to end in a photograph.

Pada alaf ketiga ini, semua hal tak hanya berakhir pada foto, namun, bahkan sebaliknya, manusia terjerat dan terperosok dalam imaji digitalis. Saya hanya citraan.

Tubagus P. Svarajati
Esais

CATATAN:
Esai diterbitkan di katalog pameran ”Faraway So Close” oleh MES56 di Galeri Semarang. Pameran berlangsung 13-27 April 2013.

Wednesday, November 28, 2012

Fatamorgana dan Gelembung Sabun

[Mural di Kampung Jambe. Photo: Tubagus P. Svarajati.]

SEPERTI peribahasa “Kepala sama berbulu, pikiran lain-lain”, lagak-rupa seniman pun berjenis-jenis. Uniknya, sudah paham ranah kesenian tak menjanjikan kelimpahan materi, toh, banyak orang tetap bertungkus-lumus dalam kesenian dan menjadikannya sebagai ”jalan-pedang”nya. Apakah predikat dan privilese sebagai seniman itu daya tariknya?

Buku Why Are Artists Poor? The Exceptional Economy of the Arts karangan Hans Abbing (Amsterdam University Press, 2002) mengungkai sebagian paradoks itu. Abbing senirupawan kontemporer sekaligus ekonom dan peneliti sosial. Analisisnya mendasar dan detail: berpusar dalam kajian ekonomi, sosiologi dan psikologi. Ia mencatat, seni sangat dihargai dan meraih status tinggi dalam masyarakat beradab. Apa pasalnya? Seni dianggap intrinsik punya nilai-nilai agung, otentik, dan sakral.

Dalam persepsi awam, seni tak berelasi langsung dalam tiap aspek kehidupan sehari-hari kendati pengaruh dan manfaatnya ada. Diyakini, seni merupakan ‘makanan’ spiritual dan bersama atau di dalam praksis produksi-konsumsi seni orang-orang saling bersosialisasi dan berekspresi. Dualitas, pengaruh atau manfaat, itu menguarkan aspek ”magis” seni dan sosok senimannya. Alhasil, posisi seni-seniman krusial dan ambigu: ditolak, tak selalu dimengerti, tapi di lain pihak diharapkan kontribusinya pada kebudayaan. Pengertian ini muncul terutama setelah seni tak lagi dianggap sebagai bagian dari praksis budaya kolektif-organis, melainkan praktik kultural manusia modern.

Gagasan keagungan seni-seniman dalam subyektivitas atawa mitos masyarakat modern bersifat antroposentris. Manusia dianggap sebagai ”pusat dunia”, tak terkecuali seniman. Alasan utamanya, menurut Abbing, masyarakat percaya, seniman melahirkan ilusi-ilusi tentang dunia yang ”lebih baik” melalui imajinasinya. Perspektif romantik itu mendudukkan seni-seniman dalam berbagai posisi ambiguitas dan paradoksal. Contohnya, seniman dituntut menghadirkan suatu nouveau, kebaruan. Seniman seolah melompat beberapa langkah ke depan daripada publiknya. Di titik inilah seniman senantiasa dicap sebagai pemberontak. Alhasil, tindak-tanduk dan kreasi seniman tak mudah dipahami.

Paradoksnya, dari sudut ekonomi, ada seniman makmur dan berkelimpahan materi. Sedangkan sebagian seniman cuma bisa bertahan hidup melalui keseniannya, bahkan ada juga yang selalu berkekurangan. Sepintas sungguh tak adil mengharap seniman di posisi garda depan namun di balik itu kesejahteraannya kerap terabaikan. Realitanya, magnet kesenian tetap punya daya tarik kuat bagi sebagian orang.

Dalam konteks sakralitas, kita tak bisa abai pada risalah Walter Benjamin yang masyhur, yakni “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction” (Illuminitions, pengantar oleh Hannah Arendt, Pimlico, 1999). Awalnya seni bukan karya manusia yang bersifat eksklusif-personal. Dalam masyarakat tradisional, ”benda seni” itu diperuntukkan dan berfungsi sebagai bagian dari komunalitas, yakni sebagai media ritualitas. Akhirnya benda seni itu punya nuansa magis, lantas bersifat religius dan, karena itu, dianggap punya aura. Ia otentik dan sakral.

Mitos auratik itu inheren melekat pada karya-karya seni di tengah-tengah masyarakat modern. Bila masyarakat tergugah atau hanyut oleh keindahan benda seni, maka itu tetap dalam ranah ritualitas, meski berbeda ruang-waktu. Signifikasi karya seni pun tak lepas dari upaya mistifikasi. Juga ada anggapan, pencerapan estetik demi praksis ”mengalami” itu sendiri.

Tetapi, bagaimana diskursus seni-seniman dalam era posmo?

Remaja Gelembung Sabun
Setakat ini seniman bukan rujukan utama dalam praktik produksi-konsumsi seni kontemporer. Seniman bukan ”pusat dunia” lagi. Perhatian publik beralih atau terebut oleh berbagai isu sosial-politik-kultural yang berubah secara cepat dan masif. Satu isu yang menonjol ialah tentang budaya massa dalam konstruks kapitalisme. Dalam paham ini sesuatu mudah usang, tertukar-bertukar, dan acap ada tanpa alasan spesifik. Menurut Ariel Heryanto (”Pop Culture and Competing Identities” dalam Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics, Routledge, 2008: 8), pencipta budaya pop tidak selalu berniat menyampaikan pesan atau nilai politik dalam karyanya, dan konsumernya tidak perlu mencari pesan atau nilai semacam itu.

Bauran seni-komoditas mengakibatkan pudarnya aura seni-seniman. Seni atau bukan-seni saling bertukar. Predikat seniman atau bukan-seniman, mengabur. Posisi sosial seniman jadi ambigu. Adanya anggapan “setiap orang adalah seniman”, gagasan Joseph Beuys yang dipakai semena-mena tidak sesuai konteks, makin merontokkan mitos seniman, kesenimanan, dan karyanya. Mengikuti alur paradigma ini, berbagai komunitas anak muda lahir dan tak segan mendaku kegiatannya sebagai kesenian pula. Gejala ini terutama meruah di kota-kota urban di republik ini, tak terkecuali di Semarang.

Komunitas semacam itu di Semarang, khusus dalam ranah seni rupa, ada satu atau dua biji saja. Saya duga, para pegiatnya ingin mengusung praksis seni sebagai ekspresi kegirangan personal atau paling jauh sebagai aksi (sosial) komunal. Pilihan tersebut membuat aktivitas mereka acap melibatkan banyak orang, tanpa beban diskursif (pesan atau nilai), dan berkesan rileks. Apakah hal itu keliru? Apakah aktivisme mereka bak pepatah ”Indah kabar dari rupa”?

Saya ingin menyebut mereka sebagai remaja gelembung sabun (soap bubble youth). Inilah generasi yang lahir dan menyusu di masyarakat yang gamang: terombang-ambing antara tradisi rural-agraris dan urban-kontemporer produk ideologi global. Selaik gelembung sabun, meskipun berpendar warna pelangi tatkala kena cahaya, namun ia pucat lesi, mudah pecah, tanpa suara, tanpa bekas.

Benarkah aktivisme bergirang-ria yang mendepak diskursus paradigmatik dan ingkar pada kekaryaan kulminatif menjadi pujaan dan dielu-elukan kalangan pegiat muda seni kiwari? Jika ditilik, remaja gelembung sabun itu berpanggung dan memanggungkan kegiatan dari mereka dan untuk mereka saja. Jadi, semacam pemuasan diri sendiri (self amusement). Menelisik gelagat begini, hemat saya, mereka sulit bertengger di atas panggung seni rupa Republik atau mondial, apalagi bila craftmanship mereka minim atau terbilang nihil.

Meskipun saya tak berharap, gelagatnya medan seni rupa kota ini bakal lama berkabung. Anda yang bermimpi menikmati seni diskursif, bersiaplah kecewa. Saat mendusin, kita cuma tersuguhi lanskap fatamorgana.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai terbit di harian Suara Merdeka, Minggu, 25 November 2012.]

Monday, October 22, 2012

Jika Orhan Pamuk Melukis Semarang

[Photo: Tubagus P. Svarajati]

ORHAN Pamuk, sastrawan dan cendekiawan Turki peraih Nobel Sastra 2006, terpukau-terenyak bila mengamati lukisan-grafis Antoine-Ignace Melling (1763-1831). Tak seperti orang Barat lainnya, Melling melukiskan Istanbul dan Bosphorus dari perspektif orang dalam dan kecermatan seorang Barat. Testimoni Pamuk tentang Melling dapat ditelusuri di bukunya, Istanbul Memories of A City (Faber and Faber Limited, 2006).

Melling melanglang ke Istanbul pada usia sembilan belas yang mungkin terinspirasi oleh Gerakan Romantisme yang menguat di Eropa saat itu. Tak dinyana, di sana ia tinggal selama delapan belas tahun. Ia meninggalkan warisan berharga, sebuah buku lukisan-grafis, tentang kebesaran dan keindahan sebuah kota tua.

Bagi Pamuk, yang paling mengejutkan dari lukisan Melling ialah ketepatannya. Zaman keemasan Istanbul digambarkan secara rinci, utamanya pada sisi arsitektural, topografi dan kehidupan sehari-harinya. Lukisannya adalah keseimbangan antara suatu karya akademis dan detail-detail atau hal-ihwal manusiawi.

Karya Melling, puji Pamuk, paling bernuansa dan meyakinkan. Melling tidak mempercantik pemandangannya agar terkesan eksotis atau oriental. Lukisan pemandangannya memberikan semacam perasaan gerakan horisontal, tak ada yang melompat di depan mata, dan eksplorasinya yang tak terbatas terkait geografi dan arsitektur Istanbul seakan mengajak pemandang untuk menjelajahi sendiri surga yang menawan itu.

Dalam lukisan-grafis Melling, keelokan berkelindan dengan kemurungan-melankolik komunal yang dirasakan penduduknya. Rasa murung melankolik itu, semacam aura ngelangut, oleh Pamuk ditandai sebagai hüzün. Istanbul tak cuma menyimpan artefak atau kebesaran sejarah kota tua, namun sekaligus pada dirinya menanggung beban kehancuran peradaban-peradaban besar. Sejarah kota tua dua ribu tahun Istanbul (sebelumnya bernama Byzantium dan Konstantinopel) seakan turut lenyap bersama dengan keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah, 1923. Pamuk tak menyangkal bahwa penduduk Istanbul didera semacam rasa terasing sebagai orang-orang yang kalah. Bagi dia, Istanbul adalah kota reruntuhan dan kemurungan zaman akhir kesultanan. Namun, seturut John Freely (Istanbul Kota Kekaisaran, Pustaka Alvabet, 2012), karakter dan roh Istanbul tetap, seakan punya jiwa yang kekal.

Roh Istanbul, menurut Pamuk, muncul kuat dari foto-foto lama hitam-putih. Nuansa itu pula yang mendorong Pamuk remaja suka mengambil suatu foto dan melukisnya. Mungkin terkesan oleh teknikalitas lukisan-grafis Melling, atau pelukis Barat lain, Pamuk melukis secara detail pula. Saya bayangkan, suatu kali, Orhan Pamuk menjumput suatu foto Semarang dan melukisnya pula, tekstual ataupun visual.

Lukisan Sejarah Kota
Saya ingat, pada pertengahan 1970-an, pelukis-pelukis Semarang gemar menyusuri jejalanan dan melukis sudut-sudut kota. Tak sejengkal pelosok kota tua Semarang semisal Pecinan, Kampung Melayu, Kauman, atau Kota Lama, luput dari amatan seniman-seniman yang tergabung dalam Sanggar Raden Saleh itu. Ketika itu, sampai dengan 1980-an, Sanggar Raden Saleh identik dengan kesenilukisan Semarang.

Karya taferil pelukis-pelukis tadi, dalam konteks dokumenter, terhitung sebagai bagian dari sejarah sosial kota. Meski kita mafhum, hingga sekarang, langka seniman kita yang mendokumentasikan perkembangan atau riwayat kota secara serius dan metodis. Padahal, seperti halnya lukisan-grafis Melling tentang Instanbul-Bosphorus, karya visual mampu mengabadikan dan jadi bagian dari peradaban suatu kota. Dalam hal yang terakhir, saya pribadi menangisi karya-karya seniman Sanggar Raden Saleh tadi yang tak tentu rimbanya kini.

Seperti cinta dan duka lara Pamuk terhadap kota kelahirannya, Istanbul, niscaya banyak warga kota Semarang pun merindu-dendam pada kota tempat tangis pertamanya meledak di dunia ini. Saya bayangkan ada sosok-sosok ”Pamuk” melalui tulisan, lukisan atau foto meriwayatkan Semarang sepenuh afeksi, totalitas. Maka, lebih dari sekadar harapan, saya menaruh hormat kepada mereka yang rela mencatat atau menarasikan, baik tekstual maupun visual, perkembangan kota kepada khalayak.

Lebih-kurangnya publik patut berterima kasih dan bersoja takzim kepada Amen Budiman dan Jongkie Tio atas ketekunan mereka menarasikan penggalan sejarah kota dalam bentuk tulisan. Catatan Liem Thian Joe pun sangat bernilai untuk menelisik kiprah warga Tionghoa Semarang pada awal Abad 20 hingga sekitar tiga dekade berikutnya. Sekarang, kumpulan tulisan Rukardi (Remah-remah Kisah Semarang, Penerbit Pustaka Semarang 16, 2012) juga bisa disigi dari sudut sejarah kecil (petite histoire) kota.

Bagaimana dari sisi visual: lukisan atau foto? Agaknya warga kota kurang terkesan oleh kiprah sekalian pelukis atau fotografer Semarang. Satu-satunya figur menonjol dalam fotografi sejarah kota ialah Tan Tat Hien. Almarhum tekun merekam artefak penting kota ini. Secara teknis, foto-foto Tan amat prima. Sayangnya karya-karya Tan tidak terdokumentasikan rapi. Publik Semarang kesulitan melacak karya lengkapnya. Jongkie Tio mencoba membuntuti kiprah Tan, namun agaknya ia tertinggal beberapa langkah. Kendati begitu, publik berharap, suatu kali karya mereka berdua bisa disandingkan dan warga kota mampu menjejaki dan  meneruskan adab-adat kotanya yang terbaik.

Adapun seni lukis kota atau seni visual yang didedikasikan khusus mencatat taferil dan panorama kota itu belum menggirangkan hati. Seperti Pamuk yang khusuk dan berasyik-masyuk menelusuri keindahan lukisan-grafis Melling, barangkali dalam derajad berbeda, saya pun rela berkubang dalam kenikmatan visual rekaan senirupawan kota ini, jika ada.

Merekam kota sebagai teks, foto atau lukisan tak boleh semau-maunya. Ada semacam disiplin-disiplin tertentu sebagai landasannya. Namun, tak perlu risau, ada banyak pakar di beberapa universitas kota ini seperti antropolog, etnografer, sejarawan, arsitek, dan beragam insinyur lain yang bisa bersumbang-saran. Karena itu, khusus bagi senirupawan kota, tak ada apologia ketidaktahuan bila hendak mengilustrasikan napas atau detak jantung kota ini.

Catatan ini khusus saya tujukan kepada sekalian Anda: penggemar dan pegiat seni gambar luar ruang. Alih-alih ber-haha-hihi dalam ”komunitas-hore”, kumpulan individu penyuka waktu luang, alangkah lebih berharganya bila mampu melahirkan karya rupa kota yang bertaksu. Istanbul-Bosphorus karya Melling, seperti dalam resepsi Pamuk, patut dijadikan referensi. Bisa?

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai terbit di harian Suara Merdeka, Minggu: 21 Oktober 2012.]

Monday, October 1, 2012

Komunitas (Seni) Suka-Suka

Art work: Aris Yaitu, 2012

APA lacur, setakat ini grafik seni Semarang terpuruk di titik nadir. Sangkaan itu terkhusus mengena pada aktivisme seni rupa (kontemporer). Praktis seni rupa kota tumpul-mandul total, dua tahun belakangan.

Jika di sana-sini ada perhelatan sedikit—sering kali dengan asersi kulminatif oleh penggiatnya sendiri—tak berarti derajad seni rupa kota terangkat pula. Kegiatan tadi umumnya digulirkan oleh anak-anak muda—tergabung dalam pelbagai komunitas (konon!) kreatif. Gerombolan anak-anak muda itu meriung sembari berkarya bersama. Aktivitas mereka, biasanya, menggambar atawa menyeket. Kadang-kadang saja hasilnya dipamerkan.

Gelagat mereka memang terbilang ”baru”. Sayangnya, aktivisme mereka ibarat percik air di musim kemarau. Tetapi, paling tidak, kehadiran mereka menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah komunitas anak-anak muda mendominasi geliat seni urban-kontemporer kota akhir-akhir ini? Apakah mereka membawakan genre budaya tertentu sampai pada wacana estetika spesifik? Sejauh mana pengaruh mereka terhadap arah kesenirupaan kota dan apa sasarannya? Apakah ide perwadahan atau infrastruktur telah memberhala?

Mesti diakui, sementara sebagian senirupawan senior (baca: tua) bergeming-pasif, kelompok-kelompok anak muda mulai unjuk gigi. Umumnya mereka mahasiswa—dari berbagai perguruan tinggi dengan latar edukasi majemuk pula. Kegiatan mereka, antara lain, jalinan seni visual, fotografi, musik, sastra dan sedikit teater atau seni performans.

Dari ranah seni visual, menariknya, selalu lahir—secara laten—penggiat grafiti atau mural. Sialnya, dalam amatan saya, guratan mereka terbatas pada ekspresi romantik personal, belum menonjolkan gagasan keutamaan estetik, atau sosial-politik, dan karenanya tidak mencapai tataran ideologis. Akibatnya, seni luar ruang ini potensial menjadi sampah visual yang mencemari raut tata ruang kota. Ingatlah, dibutuhkan kecerdasan, strategi dan modus tertentu jika ingin mendalami seni yang sejatinya subversif ini.

Selain street art tadi, kerap pameran terbatas pada sketsa, ilustrasi, drawing, desain, atau pelbagai variannya. Di antara ekshibisi itu, satu-dua menampakkan upaya serius. Meski, lagi-lagi, jika disigi dari kacamata mondial—sekurang-kurangnya tingkat regional atau kota-kota ”pusat” seni Indonesia—citra artistikanya rada terbelakang. Dalam catatan saya, masalahnya terletak pada: pengenyahan aspek teknikalitas dan olah material yang berakhir pada runyamnya artistika. Di tingkat gagasan pun patut didiskusikan lebih intens. Yang kasat, banyak salah kaprah menggerogoti otak para calon senirupawan itu, yakni: seni rupa kontemporer dikira nirteknis, boleh aya-aya wae. Alamak!

Tapi, jangan-jangan saya salah duga atau terlalu bersemangat menilai kalangan anak-anak muda tersebut. Barangkali mereka tak lebih cuma gerombolan pemuda-pemudi periang, rileks menapaki masa depannya, tanpa ideologi estetika mendasar, atau bahkan rumusan berkesenian tertentu. Jika benar begitu, niscaya saya tak perlu risau-galau. Bukankah kita tak wajib menuntut capaian tinggi-tinggi dari mereka?

Sesuai tipologi di atas, contohnya, adalah komunitas Karamba Art Movement. Penggiatnya beberapa mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang. Kegiatan terakhirnya: menghela 70-an anak muda untuk menggambar bersama, berdiskusi (katanya!), dan ilustrasinya dipamerkan di suatu kafe di Sekaran, Gunung Pati, dekat kampus mereka, awal September ini. Saya teliti jejak-jejak karya mereka dan, dengan sesal-kesal harus diungkap, itulah sesuatu terkategori ilustrasi siswa sekolah wajib belajar 9 tahun. Yang mengenaskan, dalam suatu obrolan, Galih Pratama—salah satu eksponen Karamba—mengeluh, ”Saya sendiri bingung.”

Senyatanya keriuhan mereka santir budaya urban keblinger: suka-suka di kelimpahan waktu luang. Bahkan, saya sinyalir, aktivitas kesenggangan itu sengaja dibuat-buat, diberhalakan, dan (celaka!) dikonstruksi sebagai citra komunitas (seni) gaul.

Jika begitu, patut diragukan, peran atau kontribusi kegiatan (kuasi) seni sekalian anak-anak muda itu—para penggiat dan penikmatnya—terhadap struktur dan detak seni kota. Jika dicermati, kiprah mereka hanya berjejak di tapak periferi, bukan menohok jantung seni rupa kontemporer di republik ini. Alhasil, tak jelas pula apa yang diupayakan itu bisa bernilai, estetis maupun diskursif. Alih-alih, paling jauh, mereka ditengarai sebagai kumpulan penggembira belaka.

Lahirnya berbagai komunitas—dengan minat seni yang beragam—sejatinya patut disyukuri bakal memperluas kemungkinan kreatif. Asal saja eksistensi mereka tak cuma dalam ranah leisure time atau having fun. Perilaku hura-hura mesti segera ditanggalkan, digantikan oleh laku paradigmatik yang lebih serius.

Selain itu, setelah secara acak mengamati dan berdiskusi dengan beberapa kalangan, saya skeptis pada pola perwadahan atau ide infrastruktur yang, secara eksesif, sengaja diuar-uarkan selama ini. Bahwa secara politis-strategis semua kemungkinan ruang-budaya kota memang wajib ditata ulang, bahkan jika perlu direbut paksa untuk kemaslahatan masyarakat sipil, namun tak berarti ekspresivitasnya bisa seenaknya sendiri. Dalam konteks praktik produksi-konsumsi seni rupa kota, keliru bila gagasan senantiasa mengangkangi artistika, aktivisme melumat kajian diskursif, atau pemberhalaan pada anything goes. Seni yang cerdas niscaya terlahir dari seniman terasah, bukan para medioker atau penyorak-tepi-laga.

Saya cemas, raut seni rupa kontemporer kota, nyaris setelah satu dekade terakhir on track, memburuk. Elan senirupawan (tua) kita pun seakan terpuruk-terkubur dalam-dalam. Apa langkah yang mesti ditempuh agar seni rupa kota kembali semarak? Pola-pikir (mindset) harus diubah, praktik produksi seni dan eksposisi kian digalakkan, ide-ide diskursif-paradigmatik dibiakkan terus, atau sebaliknya jika hanya diam-membatu maka seni rupa kota pasti tewas, tanpa nisan, tanpa epitaf. Tak terkenang.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dimuat di harian Suara Merdeka, Minggu: 23 September 2012.]

Sunday, February 12, 2012

MENYOROTI EKONOMI KREATIF SENI RUPA

[Sumber foto: http://www.thedailybeast.com/newsweek/2012/01/15/damien-hirst-s-spot-paintings-take-over-the-world.html]

KONSEP ekonomi kreatif ialah konsep ekonomi di era ekonomi baru—pada dasarnya berbasis ide dan pengetahuan—yang memaksimalkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu dalam kegiatan produksi-distribusi produk-produk ekonominya.

Sebagian pakar beranggapan, ekonomi kreatif mesti berhubungan dengan aspek budaya. Tegasnya, industri kreatif berfokus pada produksi-distribusi benda kultural, layanan dan kekayaan intelektual.

Pemerintah—dalam hal ini Departemen Perdagangan RI—telah memetakan apa saja yang terkategori dalam ekonomi kreatif. Maka tersebutlah 14 kelompok, yaitu: periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan.

Membandingkan dengan kelompok industri kreatif di beberapa negara—seperti: Inggris, Selandia Baru, Australia, Singapura, Taiwan, Hongkong, Finlandia, Spanyol, dan Jerman—hanya Spanyol yang eksplisit menyebut ”fine arts: painting and sculpture” bagian dari strategi ekonomi kreatifnya. Indonesia memasukkan seni murni (fine arts) ke dalam kelompok pasar seni dan barang antik dengan penjelasan dan fakta-fakta pendukung yang terasa kurang memadai.

Dalam sejarah seni rupa modern, seni murni dipahami sebagai lukisan dan patung saja, sedangkan desain dianggap sebagai seni terapan (applied arts). Kini praksis seni rupa kontemporer tidak mendikotomikan seni murni atau seni terapan, melainkan melebur keduanya bersama genre seni visual lainnya. Jika dicermati, sebagian besar dari keempat belas kelompok ekonomi kreatif itu beririsan dengan ranah seni visual.

Apa yang disebut karya lukisan dan patung dalam strategi ekonomi kreatif Indonesia tak memadai. Keduanya dianggap sebagai barang (seni) biasa. Kategori pasar seni dan barang antik dijabarkan sebagai: Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet, meliputi: barang-barang musik, percetakan, kerajinan, automobile dan film.

Paradoks kategoris itu mengeksklusikan karya seni lukis atau patung yang nilai tukarnya bisa sangat melejit dari biaya produksi atau materialnya. Harga-harga karya seni rupa modern atau kontemporer dari seniman Indonesia—terkhusus lukisan—di balai-balai lelang kenamaan Asia amat mencengangkan. Angkanya berkisar dari ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah.

Tidak diikutkannya pemangku kepentingan yang kompeten dalam penyusunan definisi kategoris karya seni tadi melahirkan rumusan yang kurang tepat. Studi lapangan hanya menggali informasi dari BPS, kalangan periklanan, konsultan, industri musik-rekaman, seni pertunjukan, penyiaran, dan media. Asosiasi Pecinta Seni Indonesia (ASPI) atau Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia (AGSI) tidak dilibatkan. Keduanya mewadahi para kolektor seni rupa dan galeris Indonesia.

Indikator Industri Kreatif
Dalam suatu kajian, pemerintah menyebutkan, sumbangan industri kreatif pada total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 7,74% pada 2002-2010. Ini merupakan peringkat ke-6 dari total PDB nasional.

Kelompok fesyen, kerajinan dan periklanan sebagai penyumbang terbesar dalam industri kreatif Tanah Air. Sumbangan kelompok pasar seni dan barang antik belum signifikan. Dari sisi ketenagakerjaan, kelompok ini pun tidak banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini bisa dimaklumi karena tenaga kerjanya didominasi oleh pekerja-pekerja kreatif dan dengan keahlian khusus.

Selain itu, barang-barang dalam kelompok pasar seni dan barang antik—khusus dalam diskusi ini adalah karya seni rupa—tidak diproduksi di dalam perusahaan-perusahaan dalam perspektif atau skala industrial. Nyaris semua karya seni rupa diproduksi secara privat dan eksklusif oleh para seniman di studio-studionya sendiri. Studio mereka bukan seperti lazimnya perusahaan yang terstruktur.

Di Indonesia belum tampak kecenderungan senirupawan yang memproduksi karyanya secara industrial seperti, ambil contoh, seniman Takashi Murakami di Jepang. Dari yang sedikit, keramikus F Widayanto termasuk seniman yang memproduksi karyanya secara massal.

Tantangan Seni Rupa
Informasi karya-karya seni rupa modern atau kontemporer Indonesia, termasuk nilai-nilai ekonomisnya, belum memasyarakat. Hanya kalangan medan sosial seni (art world) tertentu yang dapat mengaksesnya.

Infrastruktur seni rupa Indonesia pun minim perhatian pemerintah. Jelas, kebijakan pemerintah tentang potensi ekonomi kreatif seni rupa tidak maksimal. Absennya atau sedikitnya apresiasi pemerintah, tentu, berakibat kurang baik terhadap citra dan potensi kesenirupaan Indonesia.

Ke depan, para pemangku kepentingan dan pemerintah mesti menyatukan visinya agar ranah seni rupa—khususnya seni rupa kontemporer—bisa memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan PDB nasional. Pemerintah mesti fokus pada pembangunan infrastruktur dan kelembagaan—secara ideal ataupun pragmatis—agar tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenirupaan memadai sehingga kesejahteraan publik pendukungnya pun meningkat.

Pelaku kesenirupaan jangan bersikutat di praktik penciptaan seni belaka, namun patut berserius menyumbang gagasan kebudayaan yang bisa memengaruhi kebijakan pemerintah terhadap hajat hidup rakyatnya. Idealnya, senirupawan mesti cerdas secara estetik dan sekaligus pemikir kebudayaan yang tangguh.

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Sang Pamomong-Suara Merdeka, Minggu: 29 Januari 2012.]

Sunday, January 29, 2012

FOTOGRAFI: PERCOBAAN FILOSOFIS

[Photo: Lee Jeffries /
http://lightbox.time.com/2012/01/26/portraits-of-the-homeless-by-lee-jeffries/#1]


Betapapun canggihnya, kamera tetap sebagai peranti (biasa) belaka jika penggunanya tak piawai. Pendapat lain menyebutkan, tak perlu kamera atau pengguna canggih, yang terpenting pada hasil jepretannya. Foto baik tetaplah baik, tak soal entah berasal dari kamera sederhana atau kampiun fotografer.

Benar, foto baik tak harus berasal dari kamera super. Banyak peristiwa penting diabadikan dengan kamera sederhana dan oleh orang awam pula. Virginia Schau memenangi Hadiah Pulitzer 1954 berbekal Kodak Brownie, kamera saku pertama di dunia. Foto jawara itu dihasilkan Schau yang baru sekali itu memotret. Belasan tahun lalu seorang tukang foto keliling berhasil mengabadikan terbakarnya jembatan Tempel (Yogyakarta). Foto keduanya contoh sahih tentang asersi foto baik itu seperti apa.

Belakangan kamera dan lensanya berkembang kian canggih. Citraan (image) yang dihasilkan pun makin sempurna. Namun, secara teknis, tentu tak bisa disamakan hasil jepretan kamera prosumer (kamera saku), misalnya, dengan kamera lensa refleks tunggal (SLR, single lens reflex).

Singkatnya, makin canggih suatu kamera dan aksesorisnya, kian baik pula citraan yang dihasilkannya. Kamera “pintar” memudahkan kerja fotografer. Maka, kamera sebagai alat sangat menentukan hasil dan cara seseorang memotret. Dalam analisis perilaku, menggunakan kamera prosumer atau SLR, juga terbedakan.

Wacana Fotografi
Seseorang yang memotret melalui lubang bidik (viewfinder) serasa “menggenggam” dunia atau hamparan realitas di hadapannya. Dunia itu leluasa dikonstruksinya. Dengan mengatur posisi obyek atau memilih dan memilah tanda-tanda, pemotret mempraktikkan pengetahuan (atau kekuasaan, seturut Foucault) yang dimilikinya. Pemotret bebas menidakkan (negasi) atau menyetujui realitas yang terekam. Jadi, pemotret berjarak dengan realitas atau obyek-terpotret.

Menurut Foucault, pengetahuan tidak lagi membebaskan dan menjadi mode pengawasan, peraturan, dan disiplin (Madan Sarup, 2007). Tindakan memotret adalah praktik pengawasan atau obyektivikasi atas subyek (orang lain, the other) atau realitas terbidik. Bahwa laku seseorang yang sedang memotret itu tak terwakilkan (individualistik), terikat secara spasio-temporal, sarat subyektivitas, justru menguatkan asumsi memotret ialah tindakan deterministik. Di sini beroperasi wacana kekuasaan. ”Melihat” dalam fotografi adalah praksis kuasa subyek-pemotret terhadap apa yang dipotretnya.

Memotret adalah perluasan eksistensial pemotret meski kehadirannya implisit (samar-samar) dalam foto. Dengan memotret ada bukti kehadiran dalam ranah spasio-temporal. Sering jejak-jejak eksistensial ini lebih berharga, awet, dan perseptual ketimbang eksistensi subyek-pemotretnya sendiri. Jadi, selembar foto ialah fenomen kehadiran eksistensialistik: Saya ada dan mengada bersama di dalam foto.

Pada bagian lain Sarup (ibid) menjelaskan, kekuasaan disipliner ialah sistem pengawasan yang dibatinkan sehingga, secara otomatis, tiap orang menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Model ini memiliki kesamaan dengan konsep superego Freud sebagai pengawas internal keinginan tak sadar. Foucault mengacu pada penjara model panoptikon.

Akan tetapi, pada hemat saya, Foucault alpa satu hal. Orang atau individu bebas—bukan mereka yang terpenjara atau narapidana—tak serta-merta takluk pada ”tatapan” yang menghukum atau mendisiplinkan itu. Contohnya, fotomodel yang berpose di depan fotografer (dan kameranya) bisa dianggap sebagai individu bebas. Fotomodel berkuasa atas tubuh-eksistensialnya sendiri guna berpose seturut kata hatinya.

Individu bebas diandaikan sebagai subyek yang sadar, rasional dan otonom. Ia senantiasa mempertahankan kebebasannya dengan cara menidakkan sosok lain. Tindakan demikian membuatnya tetap punya kuasa. Dari itu, seorang fotomodel punya peluang terbuka untuk, sebaliknya, mengobyektivikasi subyek-pemotret. Alhasil, subyek-pemotret berubah menjadi obyek-yang-ditatap oleh sang model.

Fenomena fotomodel itu bisa dijelaskan melalui filsafat eksistensialisme Sartre. Baginya, kehadiran Orang Lain (Autrui)—terwakilkan melalui sorot mata, le regard—adalah suatu ancaman eksistensialistik. Sartre tersohor dengan aforisme “Neraka adalah orang lain”.

Kritik Fotografi
Fotografi memproduksi kuasa pengetahuan terhadap obyek-terekam. Artinya, subyek-pemotret mempersepsikan dunia atau realitas semena-mena, sesuai kehendaknya, sehingga tindakan memotret tak lain suatu wacana atau narasi historis personal. Kemudian, selaras dengan tafsir yang berkembang, makna foto senantiasa mengalir terus dan tak akan pernah bermuara pada titik muasalnya.

Masalahnya, bisakah fotografi melakukan kritik terhadap ideologi dominan masyarakat. Juga, mungkinkah suatu penelusuran eksistensial subyektif melalui atau di dalam diskursus fotografi. Harapannya, agar subyek hadir dengan seluruh keunikan personalitasnya—yakni subyek yang sadar, rasional dan otonom.

Alih-alih, barangkali sudah takdirnya, kamera menjerat subyek-pemotret dalam seluruh kecanggihan teknologinya. Apa pun intensi, gagasan, olah visual, sampai dengan metode eksekusi sebuah foto, tetap saja pemotret terperangkap dalam konstruk materialitas kamera. Manusia tunduk pada kamera sebagai alat, lengkap dengan prosedur kerja atau teknologinya.

Inilah paradoks mentalitas fotografi: bersamanya subyek mengada sekaligus terperangkap di dalamnya. Dus, wacana fotografi ternyata mengusung rasionalitasnya yang spesifik. Akankah sia-sia upaya manusia mencari Ada-nya melalui fotografi?

TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka—Sang Pamomong, Jumat: 6 Januari 2012.]

Sunday, January 15, 2012

MENGAWAL MURAL

[Works of Banksy]

Apakah kota perlu dikonstruksi menjadi suatu wilayah hunian-bisnis ideal sesuai harapan pemangku kepentingan? Ataukah kota dibiarkan tumbuh alami, tanpa rancang-bangun absolut? Begitu pula, apakah kehidupan seni kota memerlukan campur tangan eksternal agar bertumbuh-kembang? Ataukah rezim seni kota dilepas-bebas saja untuk menentukan nasibnya sendiri?

Kota tak boleh dibiarkan tumbuh mengonak-duri. Kota mesti dipersiapkan matang-matang: infra dan suprastrukturnya. Di dalamnya, seni mesti dipandu dan didukung daya hidupnya. Seni yang dipandu bukan berarti ditekuk gagasan atau ekspresivitasnya, melainkan dilapangkan kreativitasnya. Lebih dari itu, nyaris di seantero negara maju dan bertamadun, adab seni selalu disokong oleh negara dan kalangan filantropi. Disubsidi pula secara finansial.

Ada cabang seni yang, secara finansial, tak mampu menghidupi dirinya sendiri. Ada juga ragam seni yang cuma hidup dan dihidupi oleh dan di dalam komunitas terbatas. Langgam seni atau komunitas yang bekerja untuk edukasi publik, misalnya, hidup terseok-seok. Karenanya, berbagai bentuk sokongan—dari spirit hingga keuangan—perlu digelontorkan demi kelangsungan eksistensi seni, apa pun jenisnya.

Masalahnya, orang sering bertanya, untuk apa kehadiran seni, meski tanpa seni kehidupan pun berlangsung baik-baik saja. Inilah paradoksnya, seniman dan keseniannya adalah sejenis status, yakni status simbolik yang mendapatkan remunerasi tinggi dalam masyarakat sipil yang berbudaya.

Lalu, apakah mural atau grafiti, corat-coret yang dianggap mengotori wajah kota, terhitung ekspresi kebudayaan? Ya. Masyarakat beradab, yang menghargai pluralitas dan multikultur, niscaya membolehkan ekspresi seni urban itu punya hak hidup pula. Seni jalanan (street art) adalah subkultur di tengah kultur dominan yang acap tak ramah atau, bahkan, menindas.

Rezim seni kota jangan dibiarkan meniti eksistensinya sendiri dan, seperti yang kerap terjadi, lekas pula terkubur kiprahnya. Maka, tiap keping gagasan yang hendak menggairahkan seni kota patut diapresiasi. Gagasan Prof Eko Budihardjo, tentang muralisasi dinding pagar bangunan umum di Semarang (”Karya Seni Kota Semarang”, Suara Merdeka, Sabtu, 31/12/2011), perlu ditimbang bukan hanya dari pelaksanaannya, melainkan harus dicermati juga ideologi seni mural dan aspek estetiknya.

Eko Budihardjo berangan-angan, pada 2012 ada gerakan massal melukis seluruh dinding pagar bangunan umum di kota Semarang. Ia mencontohkan Stadion Jatidiri. Jika seluruh dinding yang mengelilingi lapangan sepak bola dilukis, barangkali bisa meraih penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).

Pada hemat saya, konsep massalisasi mural dan hasrat pencetakan rekor Muri adalah ide instan yang, sangat mungkin, tidak menghasilkan karya maksimal. Cara ini juga bukan metode baik untuk menumbuhkan ruang kreatif bagi jenis seni rupa jalanan mural-grafiti. Penghargaan mesti diupayakan dari hasil kerja yang terukur, bukan dari sejenis proyek muralisasi tembok semacam itu.

Kanalisasi Mural-Grafiti
Yang harus dilakukan, buka seluas-luasnya ruang kreatif untuk mural-grafiti atau genre seni rupa lainnya. Setakat ini pemerintah kota Semarang terasa abai pada perkembangan dan potensi seni rupa yang dimiliki kota ini.

Khusus tentang seni rupa jalanan, harus dicatat, meski praktik mural-grafiti acap dianggap mengotori wajah kota, sejatinya genre seni ini punya nilai, filosofi dan parameter estetik khusus. Para penggiatnya mesti diberi kanal agar gejolak jiwa urban mereka terwadahi secara benar.

Belum terlambat bila pemerintah kota memperhatikan kehidupan seni rupa kota. Sebenarnya produk estetik seni rupa mampu memperindah wajah kota. Hunian pun menjadi lebih humanis. Karya patung atau instalasi, misalnya, bisa melengkapi taman-taman kota atau area publik lain. Mural atau grafiti—demi tujuan praktis—niscaya bisa memperindah tembok bangunan atau gedung yang telantar.

Namun, mesti dicermati, ruang ekspresi mural-grafiti patut dikawal agar raut kota tak semena-mena dijejali banalitas sampah visual. Semarang pantas belajar dari pengalaman Yogyakarta: pelajari kreativitas seni mural-grafiti itu, termasuk ekses-eksesnya.

Masalahnya, bagaimana pemerintah dan senirupawan bersinergi mewujudkan kota yang indah lagi beradab. Pemerintah mesti cerdas bertindak. Kebijakan yang ditempuh tak boleh instan atau berupa proyek sesaat. Program terstruktur, berjangka panjang, sangat berarti menumbuhkan ruang kreatif seni rupa kota. Usul saya, adakan seminar dan temu senirupawan kota demi mewujudkan kota sebagai hunian yang estetis dan humanis.

Pada akhirnya seniman dan kehidupan seninya bakal menemu ruang hidup yang ideal. Publik pun akan bergelimang dengan karya dan kegiatan seni kota yang memperkaya batin. Dari sini, bila gagasan semisal muralisasi tadi dilaksanakan, ia punya legitimasi ideologis dan estetiknya.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Dikirimkan ke kapling Wacana Lokal—Suara Merdeka, Rabu: 4 Januari 2012.]