GALERI adalah ruang untuk memajang karya seni rupa. Beberapa museum (khusus seni rupa) pun punya fungsi sama. Singkat kata, keduanya bagian dari infrastruktur seni rupa modern. Seiring dengan perkembangan diskursus dan praktik seni rupa kontemporer peran galeri atau museum mendapatkan tandingannya.
Sekarang wacana atau praktik seni visual tak harus berlangsung di galeri atau museum seni rupa. Kecenderungan ini bahkan telah lama dipraktikkan di negara-negara Barat. Di sana, sejak 1960-an, sebagian seniman memanfaatkan gudang atau bangunan bekas pabrik untuk menggelar ekshibisi. Indonesia belakangan meniru hal tersebut. Jogja National Museum menempati bangunan bekas Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di Gampingan, Yogyakarta.
Akhir-akhir ini di Semarang terlihat gelagat sebagian seniman (muda) atau kelompok senirupawan (baru) mengadakan pameran di sebarang tempat. Mereka unjuk kebolehan di lobi hotel, mal, kedai minum (cafĂ©), balai pertemuan, rumah kos, atau situs-situs informal lain. Sekali ada seniman yang menggunakan jalanan sebagai arena pamernya. Seniman grafiti atau mural (siapakah mereka dan berapa jumlahnya?) terang-terangan memanfaatkan areal kosong kota, terutama tembok-tembok bangunan yang “terbengkelai”, untuk berekspresi.
Gelagat lain, mulai tumbuh simbiose atau kolaborasi antarkesenian. Seni visual disandingkan dalam satu situs bersama dengan musik underground, misalnya. Praktik intertekstualitas tersebut, jika diseriusi, barangkali akan memberikan atmosfer segar pada praktik seni urban di Semarang pada masa depan.
Kecenderungan “baru” demikian dipicu oleh banyak hal. Alasan terutama, praktik itu dianggap sebagai sikap penolakan atas rezim, sistem atau infrastruktur yang ada. Selain itu, demi pendidikan kepada publik, diseminasi gagasan lebih luas, atau melebarkan cakupan pasar karya seninya adalah alasan berikutnya. Tentang berpameran di lobi hotel atau mal, contohnya, jelas-jelas didasari asumsi komersial.
Singkatnya, migrasi lokasi pameran tersebut didaulat sebagai perluasan kreatif para seniman. Sebaliknya, jarang ada seniman mau mengaku bahwa mereka tertolak di situs pamer “mapan” lantaran tersandung pertimbangan kualitatifnya. Ini memang argumentasi yang berisiko.
Ruang-Liyan Teatrikal
Berpindahnya ekspresi atau praktik seni ke ruang baru terbilang menarik. Bisa jadi dominasi atau otoritas ruang seni “konvensional” mulai berkurang. Agaknya seniman mencoba berkelit dari jerat ideologis ruang-ruang lama tersebut dan, sebaliknya, menciptakan ruang “teatrikal” bagi diri dan karyanya. Ruang dan keruangan menjadi panggung eksistensial sekaligus domain signifikasi “baru”.
Kalau diandaikan ruang konvensional bersifat maskulin, maka ruang-ruang di luarnya—sebutlah sebagai “ruang-liyan”—menunjukkan aura feminin. Amsal “feminitas” tersebut barangkali akan melahirkan sikap atau praktik seni yang lebih akrab terhadap publik umum.
Akan halnya tempat-tempat pamer kecil (adakah “ruang besar” itu?) di Semarang, niscaya perlu menegaskan sikap dan tata kelolanya. Tak mungkin lagi, dalam diskursus dan praktik seni visual kontemporer yang melesat-pesat, ruang pamer cuma dikelola seadanya. Paling banter, sebagai suatu remunerasi, kehadiran sebarang ruang itu cukup dianggap sebagai dinamika kehidupan seni visual kota.
Sementara itu, kita mafhum, spasialitas bukan hanya merujuk pada ruang fisik atau konkret, melainkan mengarah pula pada wacana keruangan yang abstrak. Ruang spasial bukan bangunan gedung belaka, tetapi termasuk ruang cyber yang hadir-serempak (omnipresent). Harus diakui, tak terdengar ada senirupawan Semarang bergelut di ranah seni-maya (cyber-art).
Migrasi Estetik dan Wacana
Tempat (place) dan ruang (space) berbeda konsepsinya. Yang pertama menyaran pada adanya perjumpaan langsung, sedangkan yang kedua mengarah pada relasi mereka yang tidak hadir (absent others). Singkatnya, tempat pameran (baru) layak dipandang sebagai ruang signifikasi resiprokal di antara seniman, karya, dan apresian.
Dinyatakan oleh Greenberg, Ferguson dan Nairne (1999), bahwa “Pameran ialah situs utama pertukaran dalam politik kesenian, tempat pemaknaan dikonstruksi, dilanggengkan atau terkadang didekonstruksi pula.” Pada ranah ini seniman mesti mampu mendekati, menata, dan mengkonstatasi “ruang-liyan” itu sebagai ruang bersalut kreativitas atau wacana yang selaras dengan praktik keseniannya. Yang kerap terjadi, praktik artikulasi seni di sana sekadar migrasi ruang tanpa arti. Tegasnya, tak terlihat tata laksana atau konstruk keruangan “baru”.
Mesti diingat, pameran seni (visual) bukan sekadar etalase, tetapi pertemuan tanda-tanda simbolik dengan semua kompleksitas signifikasinya. Jadi, ruang pamer adalah tempat praktik produksi-konsumsi dan pertukaran aktif pemaknaan. Proses dialektik lebih penting ketimbang menggapai finalitas konklusi.
Seharusnya migrasi ruang pamer seni visual di Semarang serempak menyuguhkan arus besar praktik seni berikut latar produksinya. Bermigrasi bukan karena inferioritas, namun sebagai pertaruhan gagasan, estetik, dan wacana. Bisakah?
TUBAGUS P SVARAJATI,
Penulis seni rupa, tinggal di Semarang
[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Senin, 12 Oktober 2009.]
Sekarang wacana atau praktik seni visual tak harus berlangsung di galeri atau museum seni rupa. Kecenderungan ini bahkan telah lama dipraktikkan di negara-negara Barat. Di sana, sejak 1960-an, sebagian seniman memanfaatkan gudang atau bangunan bekas pabrik untuk menggelar ekshibisi. Indonesia belakangan meniru hal tersebut. Jogja National Museum menempati bangunan bekas Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di Gampingan, Yogyakarta.
Akhir-akhir ini di Semarang terlihat gelagat sebagian seniman (muda) atau kelompok senirupawan (baru) mengadakan pameran di sebarang tempat. Mereka unjuk kebolehan di lobi hotel, mal, kedai minum (cafĂ©), balai pertemuan, rumah kos, atau situs-situs informal lain. Sekali ada seniman yang menggunakan jalanan sebagai arena pamernya. Seniman grafiti atau mural (siapakah mereka dan berapa jumlahnya?) terang-terangan memanfaatkan areal kosong kota, terutama tembok-tembok bangunan yang “terbengkelai”, untuk berekspresi.
Gelagat lain, mulai tumbuh simbiose atau kolaborasi antarkesenian. Seni visual disandingkan dalam satu situs bersama dengan musik underground, misalnya. Praktik intertekstualitas tersebut, jika diseriusi, barangkali akan memberikan atmosfer segar pada praktik seni urban di Semarang pada masa depan.
Kecenderungan “baru” demikian dipicu oleh banyak hal. Alasan terutama, praktik itu dianggap sebagai sikap penolakan atas rezim, sistem atau infrastruktur yang ada. Selain itu, demi pendidikan kepada publik, diseminasi gagasan lebih luas, atau melebarkan cakupan pasar karya seninya adalah alasan berikutnya. Tentang berpameran di lobi hotel atau mal, contohnya, jelas-jelas didasari asumsi komersial.
Singkatnya, migrasi lokasi pameran tersebut didaulat sebagai perluasan kreatif para seniman. Sebaliknya, jarang ada seniman mau mengaku bahwa mereka tertolak di situs pamer “mapan” lantaran tersandung pertimbangan kualitatifnya. Ini memang argumentasi yang berisiko.
Ruang-Liyan Teatrikal
Berpindahnya ekspresi atau praktik seni ke ruang baru terbilang menarik. Bisa jadi dominasi atau otoritas ruang seni “konvensional” mulai berkurang. Agaknya seniman mencoba berkelit dari jerat ideologis ruang-ruang lama tersebut dan, sebaliknya, menciptakan ruang “teatrikal” bagi diri dan karyanya. Ruang dan keruangan menjadi panggung eksistensial sekaligus domain signifikasi “baru”.
Kalau diandaikan ruang konvensional bersifat maskulin, maka ruang-ruang di luarnya—sebutlah sebagai “ruang-liyan”—menunjukkan aura feminin. Amsal “feminitas” tersebut barangkali akan melahirkan sikap atau praktik seni yang lebih akrab terhadap publik umum.
Akan halnya tempat-tempat pamer kecil (adakah “ruang besar” itu?) di Semarang, niscaya perlu menegaskan sikap dan tata kelolanya. Tak mungkin lagi, dalam diskursus dan praktik seni visual kontemporer yang melesat-pesat, ruang pamer cuma dikelola seadanya. Paling banter, sebagai suatu remunerasi, kehadiran sebarang ruang itu cukup dianggap sebagai dinamika kehidupan seni visual kota.
Sementara itu, kita mafhum, spasialitas bukan hanya merujuk pada ruang fisik atau konkret, melainkan mengarah pula pada wacana keruangan yang abstrak. Ruang spasial bukan bangunan gedung belaka, tetapi termasuk ruang cyber yang hadir-serempak (omnipresent). Harus diakui, tak terdengar ada senirupawan Semarang bergelut di ranah seni-maya (cyber-art).
Migrasi Estetik dan Wacana
Tempat (place) dan ruang (space) berbeda konsepsinya. Yang pertama menyaran pada adanya perjumpaan langsung, sedangkan yang kedua mengarah pada relasi mereka yang tidak hadir (absent others). Singkatnya, tempat pameran (baru) layak dipandang sebagai ruang signifikasi resiprokal di antara seniman, karya, dan apresian.
Dinyatakan oleh Greenberg, Ferguson dan Nairne (1999), bahwa “Pameran ialah situs utama pertukaran dalam politik kesenian, tempat pemaknaan dikonstruksi, dilanggengkan atau terkadang didekonstruksi pula.” Pada ranah ini seniman mesti mampu mendekati, menata, dan mengkonstatasi “ruang-liyan” itu sebagai ruang bersalut kreativitas atau wacana yang selaras dengan praktik keseniannya. Yang kerap terjadi, praktik artikulasi seni di sana sekadar migrasi ruang tanpa arti. Tegasnya, tak terlihat tata laksana atau konstruk keruangan “baru”.
Mesti diingat, pameran seni (visual) bukan sekadar etalase, tetapi pertemuan tanda-tanda simbolik dengan semua kompleksitas signifikasinya. Jadi, ruang pamer adalah tempat praktik produksi-konsumsi dan pertukaran aktif pemaknaan. Proses dialektik lebih penting ketimbang menggapai finalitas konklusi.
Seharusnya migrasi ruang pamer seni visual di Semarang serempak menyuguhkan arus besar praktik seni berikut latar produksinya. Bermigrasi bukan karena inferioritas, namun sebagai pertaruhan gagasan, estetik, dan wacana. Bisakah?
TUBAGUS P SVARAJATI,
Penulis seni rupa, tinggal di Semarang
[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Senin, 12 Oktober 2009.]