IDEALNYA, dewan kesenian suatu kota tidak berlagak sebagai pelaksana proyek kesenian, melainkan sebagai lembaga strategis yang merancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota. Ia adalah lembaga ahli sebagai mitra konsultatif pemerintah sekaligus promotor dinamika kesenian-kebudayaan kota.
Dalam rasionalitas rezim Orde Baru, berbagai taman budaya dan dewan kesenian adalah agen idealisasi kebudayaan yang diimpikan. Praktik rezimentasi kesenian-kebudayaan ala Orde Baru pada ujungnya menjauhkan masyarakat dari problematika, dinamika, dan wacananya sendiri. Akibatnya, sebagian seniman dan masyarakat apriori atau tak acuh pada praktik kesenian-kebudayaan kotanya. Kondisi itu gampang ditemui di kota-kota di Indonesia, tak terkecuali di Semarang khususnya dan Jawa Tengah umumnya.
Agaknya berbagai taman budaya dan dewan kesenian itu, sebagai pendukung kekuasaan rezim, gagal (?) menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat kita. Meski terkesan punya wilayah, otoritas, termasuk program tersendiri, alih-alih mereka berelasi dengan realitas kesenian-kebudayaan yang hidup di masyarakatnya. Ironisnya, mereka disokong oleh pemerintah notabene dananya berasal dari uang rakyat.
Berkaca pada hal-hal itu, mesti diupayakan suatu konstruk masyarakat dan kebudayaan yang padu. Relasi keduanya bukanlah sesuatu yang berjalan dan bekerja secara otomatis. Masyarakat dan kebudayaan, sesuai dengan teori konstruksi sosial (Ignas Kleden, 2004), tidak hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis melainkan adalah buatan, konstruksi, dan produksi manusia sendiri.
Maka, sangat rasional jika kota-kota di Jawa Tengah—terutama yang telah mempunyai lembaga dewan kesenian—menyiapkan cetak biru kesenian-kebudayaannya secara realistik, namun futuristik. Usaha tersebut memang tak mudah mengingat kurang suburnya wacana atau dialektika kesenian dan mandulnya kritik kebudayaan kita selama ini.
Tanggung Jawab Baru
Masalahnya, siapa atau lembaga apa yang mampu memindai, memetakan, serta menjabarkan keistimewaan atau tantangan setiap daerah hingga dihasilkan pemahaman holistik dan pola kerja integral bagi berbagai praksis kesenian yang ada.
Masyarakat seniman dan pekerja seni (termasuk pemikir kebudayaan dan kritikus) harus mendesak aparat pemerintah agar bekerja lebih keras menginisiasi konstruk kebudayaan ideal yang diidamkan bersama. Juga, segenap pengurus lembaga seni “plat merah”—yang dikucuri dana rakyat via APBD—perlu disemangati agar mau terbuka, serius mengaji dan memetakan potensi kreatif kota, dan menolak berasyik-masyuk atau “berseni-seni” di tubuhnya sendiri.
Pada hemat saya, selain sebagai “think-tank” atau lembaga strategis perancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota, dewan kesenian juga berfungsi sebagai pusat data dan dokumentasi, serta mitra konsultatif (yang otoritatif) pemerintah.
Selain itu, dewan kesenian bisa berperan sebagai promotor, dinamisator atau fasilitator praktik kreatif seni kota. Namun, ia bukanlah leveransir atau legitimator praktik kuasi-seni. Juga, lembaga ini perlu mengembangkan diri sebagai wahana jejaring seni yang tangguh dan punya pengaruh luas.
Untuk merealisasikan fungsi-fungsi ideal tersebut, pengurus harus membenahi tujuan strategis, pola kerja, program sampai dengan—yang amat penting!—paradigma atau dasar filosofis konstruk kebudayaan kota yang dinamis. Masalahnya, apakah selama ini dewan kesenian telah atau mampu berperan secara ideal?
Kesan miring mesti ditepis, yakni: dewan kesenian sama-sebangun dengan organisasi atau kelompok kesenian lainnya, namun (beruntung) didanai oleh pemerintah. Jika dugaan ini terus berlanjut, tak syak, kelompok-kelompok seniman yang jauh lebih aktif, kreatif dan kompeten di bidangnya bakal menggugat kebijakan irasional itu.
Profesionalisme Pengelola
Yang perlu diberikan perhatian ekstra ialah siapa saja yang pantas mengelola dewan tersebut. Lazimnya lembaga semacam ini dikendalikan oleh kalangan seniman sendiri. Tak jarang unsur pertemanan atau koneksi turut campur yang, bisa jadi, menghambat laju organisasi. Praktik permisif mesti dihindarkan.
Pantaslah aspirasi seniman, pekerja seni, pemikir kebudayaan atau pemangku kepentingan umumnya—termasuk aspirasi birokrasi—diakomodasi dan dijalankan oleh pengurus dewan kesenian. Pimpinan yang dibutuhkan ialah manajer tangguh, bukan figur-figur improvisatif dengan kompetensi manajemen tanggung. Jelas, pengelolaan dewan adalah domain manajerial.
Dan dalam manajemen modern, adalah niscaya semua kegiatan dan keputusan dibuat transparan dan akuntabel. Sisi finansial, bagian yang potensial melahirkan syak-wasangka, mesti diaudit secara benar oleh akuntan publik. Sudahkah itu semua dilaksanakan?
Betapa penting kesenian-kebudayaan dalam pembangunan karakter bangsa, maka peran dewan kesenian sangatlah strategis. Harapannya, lembaga ini jangan beraksi sebagai organisasi seni partisan belaka.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa
Bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Rabu: 14/07/2010.]
Agaknya berbagai taman budaya dan dewan kesenian itu, sebagai pendukung kekuasaan rezim, gagal (?) menancapkan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat kita. Meski terkesan punya wilayah, otoritas, termasuk program tersendiri, alih-alih mereka berelasi dengan realitas kesenian-kebudayaan yang hidup di masyarakatnya. Ironisnya, mereka disokong oleh pemerintah notabene dananya berasal dari uang rakyat.
Berkaca pada hal-hal itu, mesti diupayakan suatu konstruk masyarakat dan kebudayaan yang padu. Relasi keduanya bukanlah sesuatu yang berjalan dan bekerja secara otomatis. Masyarakat dan kebudayaan, sesuai dengan teori konstruksi sosial (Ignas Kleden, 2004), tidak hadir secara alamiah dan tumbuh dari suatu esensinya yang ontologis melainkan adalah buatan, konstruksi, dan produksi manusia sendiri.
Maka, sangat rasional jika kota-kota di Jawa Tengah—terutama yang telah mempunyai lembaga dewan kesenian—menyiapkan cetak biru kesenian-kebudayaannya secara realistik, namun futuristik. Usaha tersebut memang tak mudah mengingat kurang suburnya wacana atau dialektika kesenian dan mandulnya kritik kebudayaan kita selama ini.
Tanggung Jawab Baru
Masalahnya, siapa atau lembaga apa yang mampu memindai, memetakan, serta menjabarkan keistimewaan atau tantangan setiap daerah hingga dihasilkan pemahaman holistik dan pola kerja integral bagi berbagai praksis kesenian yang ada.
Masyarakat seniman dan pekerja seni (termasuk pemikir kebudayaan dan kritikus) harus mendesak aparat pemerintah agar bekerja lebih keras menginisiasi konstruk kebudayaan ideal yang diidamkan bersama. Juga, segenap pengurus lembaga seni “plat merah”—yang dikucuri dana rakyat via APBD—perlu disemangati agar mau terbuka, serius mengaji dan memetakan potensi kreatif kota, dan menolak berasyik-masyuk atau “berseni-seni” di tubuhnya sendiri.
Pada hemat saya, selain sebagai “think-tank” atau lembaga strategis perancang cetak biru kesenian-kebudayaan kota, dewan kesenian juga berfungsi sebagai pusat data dan dokumentasi, serta mitra konsultatif (yang otoritatif) pemerintah.
Selain itu, dewan kesenian bisa berperan sebagai promotor, dinamisator atau fasilitator praktik kreatif seni kota. Namun, ia bukanlah leveransir atau legitimator praktik kuasi-seni. Juga, lembaga ini perlu mengembangkan diri sebagai wahana jejaring seni yang tangguh dan punya pengaruh luas.
Untuk merealisasikan fungsi-fungsi ideal tersebut, pengurus harus membenahi tujuan strategis, pola kerja, program sampai dengan—yang amat penting!—paradigma atau dasar filosofis konstruk kebudayaan kota yang dinamis. Masalahnya, apakah selama ini dewan kesenian telah atau mampu berperan secara ideal?
Kesan miring mesti ditepis, yakni: dewan kesenian sama-sebangun dengan organisasi atau kelompok kesenian lainnya, namun (beruntung) didanai oleh pemerintah. Jika dugaan ini terus berlanjut, tak syak, kelompok-kelompok seniman yang jauh lebih aktif, kreatif dan kompeten di bidangnya bakal menggugat kebijakan irasional itu.
Profesionalisme Pengelola
Yang perlu diberikan perhatian ekstra ialah siapa saja yang pantas mengelola dewan tersebut. Lazimnya lembaga semacam ini dikendalikan oleh kalangan seniman sendiri. Tak jarang unsur pertemanan atau koneksi turut campur yang, bisa jadi, menghambat laju organisasi. Praktik permisif mesti dihindarkan.
Pantaslah aspirasi seniman, pekerja seni, pemikir kebudayaan atau pemangku kepentingan umumnya—termasuk aspirasi birokrasi—diakomodasi dan dijalankan oleh pengurus dewan kesenian. Pimpinan yang dibutuhkan ialah manajer tangguh, bukan figur-figur improvisatif dengan kompetensi manajemen tanggung. Jelas, pengelolaan dewan adalah domain manajerial.
Dan dalam manajemen modern, adalah niscaya semua kegiatan dan keputusan dibuat transparan dan akuntabel. Sisi finansial, bagian yang potensial melahirkan syak-wasangka, mesti diaudit secara benar oleh akuntan publik. Sudahkah itu semua dilaksanakan?
Betapa penting kesenian-kebudayaan dalam pembangunan karakter bangsa, maka peran dewan kesenian sangatlah strategis. Harapannya, lembaga ini jangan beraksi sebagai organisasi seni partisan belaka.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa
Bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Rabu: 14/07/2010.]