SEKONYONG-KONYONG semua orang adalah fotografer. Inilah masa ketika tindakan memotret cuma sebatas, ibaratnya, aksi bersenda-gurau. Dalam situasi tanpa ujung-pangkal, tanpa direncanakan, manasuka, itulah lahir imaji-imaji dadakan, visualitas yang mrucut.
Adagium setiap orang adalah fotografer—di era fotografi digital—merujuk pada kalangan yang memotret dengan cara wagu: berlagak selaik James Bond memegang pistol, bergaya ala detektif melayu, atau sederet lagi pose ambigu. Di tangan mereka kamera digital adalah perluasan tubuh libidinal, tanpa passion, atau tubuh yang bergetar tanpa kontrol. Tubuh yang melarut dan berkubang dalam mesin hasrat.
Kamera bukan lagi sebagai personifikasi diri-subyek, melainkan sekadar alat untuk memuaskan banalitas hasrat temporer. Ia mirip dildo demi laku masturbasi. Imaji digitalis—dari tubuh-kamera non-ideologis—yang diproduksinya adalah santir subyektivitas yang terkoyak. Barangkali kelimun fotografer demikian adalah pribadi-pribadi narsistik-skizofrenik. Mereka suka, bahkan kecanduan, memirsa atau memamah citraan dirinya sendiri. Citra diri, yang menjadi barang tontonan, itu lantas diunggah di Internet yang segera saja menjadi gemunung sampah visual.
Maka, fotografi sekadar sampiran untuk sesuatu di luar dirinya sendiri. Foto tidak hadir demi nilai-nilai historis-dokumentatif atau penanda eksistensialitas, melainkan demi kesenangan (pleasure), produksi-konsumsi tanda, dan menjadi konstruk (kuasi)modernitas. Tindakan memotret menjadi tujuan, antara lain, demi memburu kesenangan narsistik.
Sebenarnya tindakan memotret—pada wacana fotografi—adalah suatu tanggung jawab personal, keputusan eksistensial. Tatkala jari telunjuk menekan tombol rana (shutter), di situlah seluruh eksistensialitas fotografer dipertaruhkan. Itulah historisitas kulminatif seorang pemotret.
Pada fotografi analog, eksistensialitas pemotret lebih dalam termaknai. Ia tidak cuma memotret, menangkap (to capture) momen-peristiwa, namun memproses film hingga mencetak fotonya. Jelas, praktik fotografi analog bukan hal instan. Fotografi analog membutuhkan persiapan-kesiapan khusus dan menyandang rasionalitas tertentu. Ia juga wahana pencarian jatidiri dan ruang kontemplasi.
Urutannya dimulai dari tindakan memotret. Di sini pemotret bergulat dengan dunia atau realitas-riil. Meski berada di dalam realitas itu, pemotret senantiasa berjarak atau melakukan penjarakan terhadapnya. Pemotret mengalami dan sekaligus menolak realitas-riil. Inilah momen fenomenologis yang dialami secara individualistik dan otonom. Dan tatkala realitas terbekukan menjadi imaji foto, relasi distantif antara pemotret-foto tak lantas menciut. Pemotret bahkan menjadi pemandang—berada di “luar”—terhadap foto itu.
Pemotret yang “mengalami-menolak” realitas itu, pada urutan berikutnya, harus menunggu dalam keraguan, ketidakpastian, dan bahkan keputusasaan: Apakah imaji fotografisnya terekam benar di potongan-potongan film. Juga, apakah tindakan memotretnya, ekspresi menjadi-mengada, akan sesuai harapannya. Harap-harap cemas ini menyiratkan, subyek pemotret tak punya kuasa absolut atas tindakannya sendiri. Subyek terlempar ke dalam momen penantian penuh kesepian, dalam kesendiriannya yang dalam. Subyek terkapar dalam absurditas.
Subyek yang gemetar, subyek yang gamang itu tak serta-merta menemu dirinya kembali tatkala imaji fotografis (=realitas representasional) muncul dalam selembar film. Ia masih butuh waktu untuk memujudkan gambaran riilnya sampai sang pemotret menuju ke kamar gelap (darkroom). Di dalam sana, dalam temaram ruang dan hawa kecut, pemotret kembali terjerat dalam situasi ketakpastian, bergulat dan berburu dalam waktu limitatif.
Totalitas pemotret diuji di kamar gelap. Dia sadar, memasuki kamar gelap ibarat terjun dalam ruang kosong-gelap penuh kejutan sekaligus khaostik. Namun, di dalamnya ada empati, kesabaran, dan kesetiaan. Semua itu berkelindan dengan cita rasa estetik dan intelektualitas. Kepribadian, profesionalisme, berbaur dengan rasa tanggung jawab. Di dalam kamar gelap, teralienasi dari dunia-di-luar, pemotret terkunci dengan keputusannya sendiri.
Di sinilah relasi dialogal antara pemotret dan realitas representasional—terwakili oleh film negatif—mengalami kepenuhannya dengan bantuan mesin enlarger. Ia mengontrol cahaya: mengurangi, menambahi, atau mengoreksi intensitas terang-gelap imaji film. Bayangan gelap, super cerah, nada tengah, tonal atau gradasi dikendalikan dengan saksama. Pemotret menyeleksi anasir-anasir citraan, membuat keputusan, dan merealisasikan imajinasinya. Kerap segala daya usahanya menemu keberhasilan atau, sebaliknya, terbelit dalam anyaman kekecewaan.
Pemotret bertiwikrama dengan kertas foto (Anda masih ingat kertas foto Kodak, Ilford, Fuji atau Chenfu?) yang tercahayai. Di dalam kotak-kotak plastik berisi larutan pengembang (developer) kertas-foto-tercahayai itu menemukan formatnya. Perlahan-lahan, dalam temaram sinar infra merah, seperti hantu, imaji pun menyeruak dari baskom yang airnya bergerak-gerak. Kertas foto itu menggenapi dirinya menjadi citraan tertentu: realitas representasional. Dan Susan Sontag (On Photography, Picador: 1977) menyebut realitas dalam foto adalah “realitas yang teruji, terevaluasi, dan patuh untuk difoto”. Menurutku: realitas yang terinterupsi.
Walhasil, selembar foto mengalami perjalanan dan metamorfosa yang panjang. Fotografi analog, ibaratnya, mewakili pergulatan manusia dalam memandang realitas dan subyektivitasnya.
Dengan menyebut analog, seakan ini menyaran pada sesuatu yang-riil, teraba, intim, dan manusiawi. Bandingkan dengan citraan digital yang instan, mudah dibuat-dihapus, dalam stratum titik-titik piksel. Tidakkah citraan digitalis menyodorkan sifat tak kekal, kurang manusiawi, dan penuh rekayasa? Meski harus diakui, fotografi digital menawarkan kemudahan, kenyamanan, irit dan terkesan ramah lingkungan.
Agaknya era fotografi analog telah berada di ujung titiannya. Richard Nicholson, fotografer, mengabadikan hari-hari terakhir studio cetak foto analog di London. Pada 2006 masih ada 214 studio. Empat tahun kemudian, tatkala ia mengakhiri proyeknya, tersisa 5 studio saja. Kondisi di Indonesia sama saja: studio-studio cuci-cetak foto telah bangkrut.
Matinya fotografi analog juga berarti matinya sesuatu yang disebut sang “master”, yang-orisinal. Tak ada lagi “film-master” atau “bidikan satu-satunya”. Dalam pandangan Walter Benjamin (1936), adanya yang-orisinal adalah prasyarat otentisitas.
Berbareng dengan matinya fotografi analog, lenyapnya yang-orisinal, sirnanya otentisitas, maka raib pula pergulatan subyektivitas dalam wacana fotografi. Agaknya begitu.
TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke harian Kompas, Selasa: 08/02/2011.]