[Sumber foto: http://www.thedailybeast.com/newsweek/2012/01/15/damien-hirst-s-spot-paintings-take-over-the-world.html]
KONSEP ekonomi kreatif ialah konsep ekonomi di era ekonomi baru—pada dasarnya berbasis ide dan pengetahuan—yang memaksimalkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu dalam kegiatan produksi-distribusi produk-produk ekonominya.
Sebagian pakar beranggapan, ekonomi kreatif mesti berhubungan dengan aspek budaya. Tegasnya, industri kreatif berfokus pada produksi-distribusi benda kultural, layanan dan kekayaan intelektual.
Pemerintah—dalam hal ini Departemen Perdagangan RI—telah memetakan apa saja yang terkategori dalam ekonomi kreatif. Maka tersebutlah 14 kelompok, yaitu: periklanan; arsitektur; pasar seni dan barang antik; kerajinan; desain; fesyen; film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan.
Membandingkan dengan kelompok industri kreatif di beberapa negara—seperti: Inggris, Selandia Baru, Australia, Singapura, Taiwan, Hongkong, Finlandia, Spanyol, dan Jerman—hanya Spanyol yang eksplisit menyebut ”fine arts: painting and sculpture” bagian dari strategi ekonomi kreatifnya. Indonesia memasukkan seni murni (fine arts) ke dalam kelompok pasar seni dan barang antik dengan penjelasan dan fakta-fakta pendukung yang terasa kurang memadai.
Dalam sejarah seni rupa modern, seni murni dipahami sebagai lukisan dan patung saja, sedangkan desain dianggap sebagai seni terapan (applied arts). Kini praksis seni rupa kontemporer tidak mendikotomikan seni murni atau seni terapan, melainkan melebur keduanya bersama genre seni visual lainnya. Jika dicermati, sebagian besar dari keempat belas kelompok ekonomi kreatif itu beririsan dengan ranah seni visual.
Apa yang disebut karya lukisan dan patung dalam strategi ekonomi kreatif Indonesia tak memadai. Keduanya dianggap sebagai barang (seni) biasa. Kategori pasar seni dan barang antik dijabarkan sebagai: Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet, meliputi: barang-barang musik, percetakan, kerajinan, automobile dan film.
Paradoks kategoris itu mengeksklusikan karya seni lukis atau patung yang nilai tukarnya bisa sangat melejit dari biaya produksi atau materialnya. Harga-harga karya seni rupa modern atau kontemporer dari seniman Indonesia—terkhusus lukisan—di balai-balai lelang kenamaan Asia amat mencengangkan. Angkanya berkisar dari ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah.
Tidak diikutkannya pemangku kepentingan yang kompeten dalam penyusunan definisi kategoris karya seni tadi melahirkan rumusan yang kurang tepat. Studi lapangan hanya menggali informasi dari BPS, kalangan periklanan, konsultan, industri musik-rekaman, seni pertunjukan, penyiaran, dan media. Asosiasi Pecinta Seni Indonesia (ASPI) atau Asosiasi Galeri Senirupa Indonesia (AGSI) tidak dilibatkan. Keduanya mewadahi para kolektor seni rupa dan galeris Indonesia.
Indikator Industri Kreatif
Dalam suatu kajian, pemerintah menyebutkan, sumbangan industri kreatif pada total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar 7,74% pada 2002-2010. Ini merupakan peringkat ke-6 dari total PDB nasional.
Kelompok fesyen, kerajinan dan periklanan sebagai penyumbang terbesar dalam industri kreatif Tanah Air. Sumbangan kelompok pasar seni dan barang antik belum signifikan. Dari sisi ketenagakerjaan, kelompok ini pun tidak banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini bisa dimaklumi karena tenaga kerjanya didominasi oleh pekerja-pekerja kreatif dan dengan keahlian khusus.
Selain itu, barang-barang dalam kelompok pasar seni dan barang antik—khusus dalam diskusi ini adalah karya seni rupa—tidak diproduksi di dalam perusahaan-perusahaan dalam perspektif atau skala industrial. Nyaris semua karya seni rupa diproduksi secara privat dan eksklusif oleh para seniman di studio-studionya sendiri. Studio mereka bukan seperti lazimnya perusahaan yang terstruktur.
Di Indonesia belum tampak kecenderungan senirupawan yang memproduksi karyanya secara industrial seperti, ambil contoh, seniman Takashi Murakami di Jepang. Dari yang sedikit, keramikus F Widayanto termasuk seniman yang memproduksi karyanya secara massal.
Tantangan Seni Rupa
Informasi karya-karya seni rupa modern atau kontemporer Indonesia, termasuk nilai-nilai ekonomisnya, belum memasyarakat. Hanya kalangan medan sosial seni (art world) tertentu yang dapat mengaksesnya.
Infrastruktur seni rupa Indonesia pun minim perhatian pemerintah. Jelas, kebijakan pemerintah tentang potensi ekonomi kreatif seni rupa tidak maksimal. Absennya atau sedikitnya apresiasi pemerintah, tentu, berakibat kurang baik terhadap citra dan potensi kesenirupaan Indonesia.
Ke depan, para pemangku kepentingan dan pemerintah mesti menyatukan visinya agar ranah seni rupa—khususnya seni rupa kontemporer—bisa memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan PDB nasional. Pemerintah mesti fokus pada pembangunan infrastruktur dan kelembagaan—secara ideal ataupun pragmatis—agar tingkat apresiasi masyarakat terhadap kesenirupaan memadai sehingga kesejahteraan publik pendukungnya pun meningkat.
Pelaku kesenirupaan jangan bersikutat di praktik penciptaan seni belaka, namun patut berserius menyumbang gagasan kebudayaan yang bisa memengaruhi kebijakan pemerintah terhadap hajat hidup rakyatnya. Idealnya, senirupawan mesti cerdas secara estetik dan sekaligus pemikir kebudayaan yang tangguh.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Sang Pamomong-Suara Merdeka, Minggu: 29 Januari 2012.]