Wednesday, September 26, 2007
Bahasa Visual
Photography: Tubagus P. Svarajati
KATA telah kehilangan makna asalinya. Semakin lama kata diperalat hanya untuk tujuan manipulasi dan agitasi. Kata adalah alat komunikasi yang telah terpelintir. Kata, lantas, bukan lagi penghubung atau medium berkomunikasi yang sahih.
Lihatlah hasutan yang berseliweran di sekitar kita. Pilihlah saya sebagai Presiden RI ke-6! Padahal orang mafhum, dia durjana koruptor besar Indonesia. Tentu seorang pencelaka tak laik duduk di kursi kepresidenan. Belanja sekarang juga dan hemat 50%! Jika harga suatu barang yang sebenarnya dikorting sampai separuhnya, tidakkah penjualnya merugi? Ini contoh kalimat yang membodohi khalayak. Dan kita berada di dalam situasi khaos kebahasaan.
Orang kehilangan pegangan diri saat hendak menentukan sikap. Dengan cara apakah atau dengan medium bahasa apa orang akan pulih kesadarannya (dan kediriannya) ketika berinteraksi dengan sesamanya?
Pada zaman prasejarah manusia menorehkan jejak eksistensinya, antara lain, dengan cara menggambar tanda-tanda magis di tempat-tempat tertentu. Entah di hamparan tanah pekarangannya, bebatuan atau di dinding goa, seperti di Altamira (Spanyol) dan Lascaux (Prancis). Dua ribu tahun sebelum Masehi, orang Mesir kuno menciptakan hieroglif; satu bentuk gambar juga.
Gambar-gambar itu, akhirnya, bermetamorfosa menjadi kata. Lantas menjadi bahasa yang terstruktur. Tatkala wujud fisik kata kemudian kehilangan energi estetiknya, maka lahirlah goresan kata yang indah secara visual, yakni kaligrafi.
Kaligrafi (bahasa Yunani: grafein=tulisan, kallos=indah) berkembang menjadi seni gambar yang sophisticated di Tiongkok. Sastrawan dan kaum terpelajar tidaklah lengkap kesastrawanan dan keterpelajarannya jikalau tidak menguasai kaligrafi. Islam pun mengenal tradisi menulis indah itu. Jadi, kaligrafi sesungguhnya adalah picture language, bahasa visual.
Huruf-huruf modern, yang kita kenal selama ini, sebenarnya juga sebentuk bahasa gambar. Sekarang bahasa gambar dalam representasinya yang paling canggih dan modern ialah: fotografi.
Andreas Feininger, veteran fotografer majalah LIFE, di tahun 50-an, menandaskan, bahwa fotografi mampu memenuhi wahyunya untuk meningkatkan pemahaman universal di kalangan bangsa-bangsa di dunia. Karena medium fotografi adalah bahasa yang mudah dimengerti dan mengandung kebenaran di dalamnya.
Namun, apakah fotografi niscaya memproduksi kebenaran an sich? Fotografi macam apakah yang mengusung kebenaran dan meninggikan prinsip humanisme universal? Bukankah fotografi juga melahirkan kebenaran manipulatif jika hanya menyodorkan estetika semu?***
[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Buletin PAF Bandung, 004/Oktober/03]
Monday, September 24, 2007
Paradoks Modernisme
Photo: Goenadi Haryanto
Window: Fokker F100, parkir di muka jendela kamarku, dipotret dengan D100. Kaca jendela berembun dan merupakan double insulated glass, sehingga bunyi mesin jet pesawat terbang, hampir tak terdengar, padahal jaraknya kurang dari 50 meter. (Goenadi Haryanto)
Window: Fokker F100, parkir di muka jendela kamarku, dipotret dengan D100. Kaca jendela berembun dan merupakan double insulated glass, sehingga bunyi mesin jet pesawat terbang, hampir tak terdengar, padahal jaraknya kurang dari 50 meter. (Goenadi Haryanto)
TEKS di atas menyertai sebuah foto kamar hotel. Ada jendela dengan korden di kiri-kanannya, sofa kosong di sebelah kiri, meja kecil di bawah jendela dengan dua gelas berisi air minum dan koran, tampak terpotong satu lagi sofa di sudut kanan foto. Tiang lampu tegak di sudut kiri bidang. Di jendela tampak jelas Fokker 100 itu.
Sebuah pesawat terbang, penanda modernitas, yang mempersingkat jarak dan ruang, diam tak bergerak di depan mata. Pesawat itu hanya di sebalik kaca satu kamar hotel di dekat sebuah bandara, lambang pertemuan kultur multi-faset. Sebegitu dekat distansinya, namun juga tak terjangkau oleh indera perasa. Manusia tercerabut dari dunianya sendiri, terlepas dari simbol dan wujud karyanya yang mencitrakan kedigdayaan satu bangsa yang beradab. Di dalam sini (kamar) dan di luar sana (bandara) ternyata ada batas, ada sekat membentang antara alam mikrokosmos dan makrokosmos.
Manusia berkelana di seluruh belahan dunia menunjukkan suatu penandaan: penaklukan atas jagat raya ini; bahwa di situlah tertera adanya civilization (keberadaban). Tetapi, itu juga menegaskan suatu pengingkaran atas ketakberdayaannya melawan alam mayapada.
Bukankah di semua penjuru mata angin manapun langkahnya berayun, toh, akhirnya ia menemui kesunyian dan kesendirian tatkala sedang berproses mencari dan menjadi (to be being); di manakah gerangan keperkasaan itu.
Sebuah pesawat memperpendek skala dan mengantarkan manusia hanya kepada destinasi untuk menyapa kediriannya belaka. Ataukah sebuah perjalanan dengan pesawat jet sekadar demi sebuah perjalanan itu sendiri? Ataukah hakikat kemanusiaan ditentukan demi dan atas nama keniscayaan untuk berkomunikasi, antara manusia dan manusia lainnya, sehingga sebuah perjalanan mengantarkan manusia menyapa mesra sesamanya? Ataukah selayaknya komunikasi itu patut diterjemahkan sebagai keberadaban itu sendiri?
Ketika modernisme menandai kemajuan tapak budaya manusia, ternyata manusia makin terpenjarakan oleh buah tangannya sendiri. Aku bersendiri dan selalu memutuskan sendiri dalam kesendirian keduniaanku. Di sebalik jendela kamar hotel itu parkir sebuah ikon pemendek-jarak-waktu yang kian membuatku teralienasi.
Sebuah paradoks: modernisme semakin memenjarakan kedirianku dan duniaku (mikrokosmos) terhadap dunia di luar sana (makrokosmos).***
Sebuah pesawat terbang, penanda modernitas, yang mempersingkat jarak dan ruang, diam tak bergerak di depan mata. Pesawat itu hanya di sebalik kaca satu kamar hotel di dekat sebuah bandara, lambang pertemuan kultur multi-faset. Sebegitu dekat distansinya, namun juga tak terjangkau oleh indera perasa. Manusia tercerabut dari dunianya sendiri, terlepas dari simbol dan wujud karyanya yang mencitrakan kedigdayaan satu bangsa yang beradab. Di dalam sini (kamar) dan di luar sana (bandara) ternyata ada batas, ada sekat membentang antara alam mikrokosmos dan makrokosmos.
Manusia berkelana di seluruh belahan dunia menunjukkan suatu penandaan: penaklukan atas jagat raya ini; bahwa di situlah tertera adanya civilization (keberadaban). Tetapi, itu juga menegaskan suatu pengingkaran atas ketakberdayaannya melawan alam mayapada.
Bukankah di semua penjuru mata angin manapun langkahnya berayun, toh, akhirnya ia menemui kesunyian dan kesendirian tatkala sedang berproses mencari dan menjadi (to be being); di manakah gerangan keperkasaan itu.
Sebuah pesawat memperpendek skala dan mengantarkan manusia hanya kepada destinasi untuk menyapa kediriannya belaka. Ataukah sebuah perjalanan dengan pesawat jet sekadar demi sebuah perjalanan itu sendiri? Ataukah hakikat kemanusiaan ditentukan demi dan atas nama keniscayaan untuk berkomunikasi, antara manusia dan manusia lainnya, sehingga sebuah perjalanan mengantarkan manusia menyapa mesra sesamanya? Ataukah selayaknya komunikasi itu patut diterjemahkan sebagai keberadaban itu sendiri?
Ketika modernisme menandai kemajuan tapak budaya manusia, ternyata manusia makin terpenjarakan oleh buah tangannya sendiri. Aku bersendiri dan selalu memutuskan sendiri dalam kesendirian keduniaanku. Di sebalik jendela kamar hotel itu parkir sebuah ikon pemendek-jarak-waktu yang kian membuatku teralienasi.
Sebuah paradoks: modernisme semakin memenjarakan kedirianku dan duniaku (mikrokosmos) terhadap dunia di luar sana (makrokosmos).***
[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Buletin PAF Bandung, Juni 2003]
Subscribe to:
Posts (Atom)