Monday, September 24, 2007

Paradoks Modernisme

Photo: Goenadi Haryanto







Window: Fokker F100, parkir di muka jendela kamarku, dipotret dengan D100. Kaca jendela berembun dan merupakan double insulated glass, sehingga bunyi mesin jet pesawat terbang, hampir tak terdengar, padahal jaraknya kurang dari 50 meter. (Goenadi Haryanto)

TEKS di atas menyertai sebuah foto kamar hotel. Ada jendela dengan korden di kiri-kanannya, sofa kosong di sebelah kiri, meja kecil di bawah jendela dengan dua gelas berisi air minum dan koran, tampak terpotong satu lagi sofa di sudut kanan foto. Tiang lampu tegak di sudut kiri bidang. Di jendela tampak jelas Fokker 100 itu.

Sebuah pesawat terbang, penanda modernitas, yang mempersingkat jarak dan ruang, diam tak bergerak di depan mata. Pesawat itu hanya di sebalik kaca satu kamar hotel di dekat sebuah bandara, lambang pertemuan kultur multi-faset. Sebegitu dekat distansinya, namun juga tak terjangkau oleh indera perasa. Manusia tercerabut dari dunianya sendiri, terlepas dari simbol dan wujud karyanya yang mencitrakan kedigdayaan satu bangsa yang beradab. Di dalam sini (kamar) dan di luar sana (bandara) ternyata ada batas, ada sekat membentang antara alam mikrokosmos dan makrokosmos.

Manusia berkelana di seluruh belahan dunia menunjukkan suatu penandaan: penaklukan atas jagat raya ini; bahwa di situlah tertera adanya civilization (keberadaban). Tetapi, itu juga menegaskan suatu pengingkaran atas ketakberdayaannya melawan alam mayapada.

Bukankah di semua penjuru mata angin manapun langkahnya berayun, toh, akhirnya ia menemui kesunyian dan kesendirian tatkala sedang berproses mencari dan menjadi (to be being); di manakah gerangan keperkasaan itu.

Sebuah pesawat memperpendek skala dan mengantarkan manusia hanya kepada destinasi untuk menyapa kediriannya belaka. Ataukah sebuah perjalanan dengan pesawat jet sekadar demi sebuah perjalanan itu sendiri? Ataukah hakikat kemanusiaan ditentukan demi dan atas nama keniscayaan untuk berkomunikasi, antara manusia dan manusia lainnya, sehingga sebuah perjalanan mengantarkan manusia menyapa mesra sesamanya? Ataukah selayaknya komunikasi itu patut diterjemahkan sebagai keberadaban itu sendiri?

Ketika modernisme menandai kemajuan tapak budaya manusia, ternyata manusia makin terpenjarakan oleh buah tangannya sendiri. Aku bersendiri dan selalu memutuskan sendiri dalam kesendirian keduniaanku. Di sebalik jendela kamar hotel itu parkir sebuah ikon pemendek-jarak-waktu yang kian membuatku teralienasi.

Sebuah paradoks: modernisme semakin memenjarakan kedirianku dan duniaku (mikrokosmos) terhadap dunia di luar sana (makrokosmos).***

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Buletin PAF Bandung, Juni 2003]

No comments: