RADEN SALAEH Syarif Bustaman disebut-sebut sebagai Bapak Seni Lukis (Modern) Indonesia. Ia adalah sosok bumiputera pertama yang mengenyam gemerlap art scene Eropa abad 19. Ada pula yang menyebutnya sebagai “orang Jawa kosmopolit pertama, manusia modern Indonesia pertama” (Werner Kraus, 2004). Menariknya, “orang Jawa kosmopolit pertama” itu lahir di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah.
Sarip Saleh adalah anak dari pasangan Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Raden Ayu Sarif Husen bin Alwi bin Awal (versi lain: Mas Ajeng Zarip Husen). Ketika bocah ia tinggal bersama dengan pamannya, Raden Adipati Surohadimenggolo, bupati Semarang. Tahun kelahirannya tak jelas, diperkirakan antara 1812 atau 1814. Ia mendapat pelajaran menggambar pertama kali dari Theodorus Bik. Namun, bakat besarnya ditemukan oleh Antoine Paijen, pelukis Belgia, yang di kemudian hari menjadi teman yang kebapakan di Jawa dan Eropa.
Antara lain atas jasa Paijen, pemuda Sarip Saleh, ketika itu berumur sekitar 16 tahun, diberangkatkan ke Belanda untuk belajar seni lukis. Di Den Haag anak muda itu belajar dari pelukis potret penting Cornelis Kruseman dan pelukis lanskap Andreas Schelfhout. Pemuda itu lantas menunjukkan perkembangan pesat dan memiliki ketrampilan melukis yang luar biasa.
Barangkali dikarenakan perbedaan kultur dan pandangan hidup, Raden Saleh tak sepenuhnya diterima oleh keluarga-keluarga terkemuka di Den Haag. Ia pun hidup sebagai seorang bohemian dan berfoya-foya; bahkan ia pernah tidak mampu membayar tagihan tukang jahitnya.
Rencananya, Raden Saleh akan dikirim pulang ke tanah jajahan, dimasukkan ke birokrasi kolonial dan dipekerjakan sebagai pelukis peta di luar Jawa. Pemuda ini memang berminat besar pada ilmu pengetahuan. Suatu kali ia pernah mengajukan ke Pemerintah Belanda untuk “melanjutkan pelajarannya di bidang matematika, survei tanah, mekanika”.
Di kemudian hari Raden Saleh terbukti memperlihatkan ketekunannya pada kajian antropologi budaya Jawa. Kepeloporannya di bidang paleontropologi diakui oleh para pakar E Dubois dan GHR Keonigswald. Tak banyak orang memperhatikan riwayatnya di ranah keilmuan ini. (Baca tulisan Harsja W Bachtiar “Raden Saleh: Bangsawan, Pelukis dan Ilmuwan” dalam Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu: 2009)
Sebagai inlander Raden Saleh terlalu pintar dan jelas itu bakal membahayakan pemerintahan kolonial. “Anak ini bisa bikin kacau jika memegang jabatan dalam birokrasi kolonial,” kata JC Baud yang mengawasi Raden Saleh selama di Belanda. Namun, oleh karena kepiawaiannya dalam hal seni lukis, Raja William III mengangkat Raden Saleh sebagai “Pelukis Sang Raja” atau Peintre de Son Majeste le Roi de Pay Bas (Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda).
Pada akhirnya Belanda mendorong agar Raden Saleh melakukan lawatan artistik ke negara Eropa lainnya. Artinya, kepulangannya ke Hindia Belanda ditunda. Tiba di Jerman, tepatnya di Dresden, kehidupan dan kecakapan Raden Saleh berkembang maksimal. Di sinilah Raden Saleh bertemu dengan Johan Clausen Dahl dan Caspar David Friedrich, yang mempengaruhinya sepanjang hayatnya. Dari merekalah Raden Saleh belajar seni lukis aliran Romantik. Ia pun sangat terpengaruh oleh gaya Eugene Delacroix, sang tokoh utama Romantisisme.
Anak Zaman Kolonialisme
Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengizinkan pemuda Jawa ini belajar ke Belanda? Alasannya tak jelas. Menurut Kraus, kemungkinan perjalanan inlander ini ke Eropa adalah bukti prinsip Pencerahan atau, bagi sebagian masyarakat Belanda, pendidikan Raden Saleh di Belanda dianggap sebagai sebuah eksperimen filosofis.
Dalam analisis JJ Rizal (2009), fenomena Raden Saleh saat itu harus ditempatkan dalam konteks zaman dan lingkungan pergaulannya. Ia adalah produk dan cocok dengan pola pertengahan abad 19 itu yang oleh Edward Said dicirikan sebagai “wabah Orientalia yang mempengaruhi setiap penyair, eseis, dan filsuf besar pada masa itu”.
Kolonialisme yang berwajah oriental niscaya menggambarkan tanah jajahan sebagai wilayah yang indah, adem-ayem dan menghanyutkan perasaan. Realitas yang terbekukan ini melahirkan konsep yang disebut “Mooi Indie”. Rizal menyebutkan, cara pandang khas itu adalah politic of seeing pemerintah kolonial Belanda. Langgam lukisan Raden Saleh juga mencerminkan paham (kuasi) keindahan seperti itu.
Rezim Orde Baru pun, dalam gaya yang mirip, menerapkan praktik politic of seeing kolonial terhadap, ambil contoh, Bali. Lama sekali “Pulau Seribu Pura” itu diperlakukan sebagai surga dunia terakhir yang eksotis, damai-tenteram, dan nihil konflik. Tujuannya jelas: demi menangguk devisa dari industri pariwisata. Terang-terangan Orde Baru meneruskan konstruk estetik pelancong budaya Barat—Rudolf Bonnet dkk—yang diwujudkan dalam perkumpulan seniman Pita Maha. Tegasnya, Orde Baru atau Pita Maha memainkan politik pencitraan terhadap suatu entitas budaya sesuai yang dimauinya.
Memandang Raden Saleh, dalam perspektif Eropa pertengahan abad 19, adalah santir sempurna dari produk kolonialisme Belanda di tanah jajahan. Ia pintar, eksotis-modis, penuh misteri, dan selaras dengan konsep “Mooi Indie”. Jelaslah, Raden Saleh memang anak zaman kolonialisme—tepatnya adalah anak emas pemerintah kolonial Belanda. “...Loyalitas, kepatuhan, serta rasa terimakasih kepada rajaku, pemerintah dan bangsa Belanda,” katanya. Pada suatu ia menegaskan hal tersebut tatkala menolak tuduhan turut mendalangi suatu pemberontakan di Tambun, Bekasi.
Raden Saleh, Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda, wafat pada 23 April 1880 di Buitenzorg (Bogor). Meski antek kolonialis, ia pantas dikenang sebagai seorang bumiputera, seniman dengan bakat dan karya-karya luar biasa, yang telah turut mengharumkan nama bangsanya. Tentang relasinya dengan Semarang? Ia memang lahir di sini. Itu saja. (Tubagus P. Svarajati)
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis 7/5/2009. Esai tidak terterbitkan.]
Sarip Saleh adalah anak dari pasangan Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Raden Ayu Sarif Husen bin Alwi bin Awal (versi lain: Mas Ajeng Zarip Husen). Ketika bocah ia tinggal bersama dengan pamannya, Raden Adipati Surohadimenggolo, bupati Semarang. Tahun kelahirannya tak jelas, diperkirakan antara 1812 atau 1814. Ia mendapat pelajaran menggambar pertama kali dari Theodorus Bik. Namun, bakat besarnya ditemukan oleh Antoine Paijen, pelukis Belgia, yang di kemudian hari menjadi teman yang kebapakan di Jawa dan Eropa.
Antara lain atas jasa Paijen, pemuda Sarip Saleh, ketika itu berumur sekitar 16 tahun, diberangkatkan ke Belanda untuk belajar seni lukis. Di Den Haag anak muda itu belajar dari pelukis potret penting Cornelis Kruseman dan pelukis lanskap Andreas Schelfhout. Pemuda itu lantas menunjukkan perkembangan pesat dan memiliki ketrampilan melukis yang luar biasa.
Barangkali dikarenakan perbedaan kultur dan pandangan hidup, Raden Saleh tak sepenuhnya diterima oleh keluarga-keluarga terkemuka di Den Haag. Ia pun hidup sebagai seorang bohemian dan berfoya-foya; bahkan ia pernah tidak mampu membayar tagihan tukang jahitnya.
Rencananya, Raden Saleh akan dikirim pulang ke tanah jajahan, dimasukkan ke birokrasi kolonial dan dipekerjakan sebagai pelukis peta di luar Jawa. Pemuda ini memang berminat besar pada ilmu pengetahuan. Suatu kali ia pernah mengajukan ke Pemerintah Belanda untuk “melanjutkan pelajarannya di bidang matematika, survei tanah, mekanika”.
Di kemudian hari Raden Saleh terbukti memperlihatkan ketekunannya pada kajian antropologi budaya Jawa. Kepeloporannya di bidang paleontropologi diakui oleh para pakar E Dubois dan GHR Keonigswald. Tak banyak orang memperhatikan riwayatnya di ranah keilmuan ini. (Baca tulisan Harsja W Bachtiar “Raden Saleh: Bangsawan, Pelukis dan Ilmuwan” dalam Raden Saleh Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme, Komunitas Bambu: 2009)
Sebagai inlander Raden Saleh terlalu pintar dan jelas itu bakal membahayakan pemerintahan kolonial. “Anak ini bisa bikin kacau jika memegang jabatan dalam birokrasi kolonial,” kata JC Baud yang mengawasi Raden Saleh selama di Belanda. Namun, oleh karena kepiawaiannya dalam hal seni lukis, Raja William III mengangkat Raden Saleh sebagai “Pelukis Sang Raja” atau Peintre de Son Majeste le Roi de Pay Bas (Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda).
Pada akhirnya Belanda mendorong agar Raden Saleh melakukan lawatan artistik ke negara Eropa lainnya. Artinya, kepulangannya ke Hindia Belanda ditunda. Tiba di Jerman, tepatnya di Dresden, kehidupan dan kecakapan Raden Saleh berkembang maksimal. Di sinilah Raden Saleh bertemu dengan Johan Clausen Dahl dan Caspar David Friedrich, yang mempengaruhinya sepanjang hayatnya. Dari merekalah Raden Saleh belajar seni lukis aliran Romantik. Ia pun sangat terpengaruh oleh gaya Eugene Delacroix, sang tokoh utama Romantisisme.
Anak Zaman Kolonialisme
Mengapa pemerintah kolonial Belanda mengizinkan pemuda Jawa ini belajar ke Belanda? Alasannya tak jelas. Menurut Kraus, kemungkinan perjalanan inlander ini ke Eropa adalah bukti prinsip Pencerahan atau, bagi sebagian masyarakat Belanda, pendidikan Raden Saleh di Belanda dianggap sebagai sebuah eksperimen filosofis.
Dalam analisis JJ Rizal (2009), fenomena Raden Saleh saat itu harus ditempatkan dalam konteks zaman dan lingkungan pergaulannya. Ia adalah produk dan cocok dengan pola pertengahan abad 19 itu yang oleh Edward Said dicirikan sebagai “wabah Orientalia yang mempengaruhi setiap penyair, eseis, dan filsuf besar pada masa itu”.
Kolonialisme yang berwajah oriental niscaya menggambarkan tanah jajahan sebagai wilayah yang indah, adem-ayem dan menghanyutkan perasaan. Realitas yang terbekukan ini melahirkan konsep yang disebut “Mooi Indie”. Rizal menyebutkan, cara pandang khas itu adalah politic of seeing pemerintah kolonial Belanda. Langgam lukisan Raden Saleh juga mencerminkan paham (kuasi) keindahan seperti itu.
Rezim Orde Baru pun, dalam gaya yang mirip, menerapkan praktik politic of seeing kolonial terhadap, ambil contoh, Bali. Lama sekali “Pulau Seribu Pura” itu diperlakukan sebagai surga dunia terakhir yang eksotis, damai-tenteram, dan nihil konflik. Tujuannya jelas: demi menangguk devisa dari industri pariwisata. Terang-terangan Orde Baru meneruskan konstruk estetik pelancong budaya Barat—Rudolf Bonnet dkk—yang diwujudkan dalam perkumpulan seniman Pita Maha. Tegasnya, Orde Baru atau Pita Maha memainkan politik pencitraan terhadap suatu entitas budaya sesuai yang dimauinya.
Memandang Raden Saleh, dalam perspektif Eropa pertengahan abad 19, adalah santir sempurna dari produk kolonialisme Belanda di tanah jajahan. Ia pintar, eksotis-modis, penuh misteri, dan selaras dengan konsep “Mooi Indie”. Jelaslah, Raden Saleh memang anak zaman kolonialisme—tepatnya adalah anak emas pemerintah kolonial Belanda. “...Loyalitas, kepatuhan, serta rasa terimakasih kepada rajaku, pemerintah dan bangsa Belanda,” katanya. Pada suatu ia menegaskan hal tersebut tatkala menolak tuduhan turut mendalangi suatu pemberontakan di Tambun, Bekasi.
Raden Saleh, Jurugambar dari Sri Paduka Kanjeng Raja Wollanda, wafat pada 23 April 1880 di Buitenzorg (Bogor). Meski antek kolonialis, ia pantas dikenang sebagai seorang bumiputera, seniman dengan bakat dan karya-karya luar biasa, yang telah turut mengharumkan nama bangsanya. Tentang relasinya dengan Semarang? Ia memang lahir di sini. Itu saja. (Tubagus P. Svarajati)
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis 7/5/2009. Esai tidak terterbitkan.]
1 comment:
wah saya suka catatan terakhirnya pak... hehehe, pengalaman yg sama...
Post a Comment