SENI performans atau seni rupa pertunjukan (performance art) adalah ekspresi seni efemeral. Dimensi ruang-waktu dan aksi dihayati bersamaan. Laku para senimannya berlangsung dalam dan berkelindan dengan sekuens waktu linear. Begitu pertunjukan berakhir, maka usai dan melenyap pula seni yang tersuguhkan.
Lazimnya seni yang berbasis ruang (“di sini”) dan waktu (“kini”) ini tanpa pola atau skenario yang terencana. Praktiknya bisa berlangsung seadanya, di tempat terbuka, di tengah kelimun, dan di sebarang waktu. Aksinya sering melibatkan penonton atau khalayak. Cara ini dipercayai mencairkan resepsi atas diskursus atau ekspresi seni yang biasanya terkesan abstrak atau esoteris.
Malangnya, acapkali aksi atau wujud pertunjukannya tak mudah dipahami oleh khalayak. Ungkapannya bisa terbilang gila-gilaan, seperti mengurung diri berbulan-bulan dalam suatu sel sampai dengan melukai diri sendiri. Namun, banyak pula aksi performans yang puitik.
Dua dekade silam, di Yogyakarta, seniman Eddie Hara dan pasangannya, sehari penuh saling merantai diri dan melakukan aktivitas harian secara tandem. Di tempat lain, Tehching Hsieh, seniman diaspora kelahiran Taiwan, mengurung dirinya dalam sel selama setahun tanpa berbuat apa pun (One Year Performances, New York, 1978—1979). Para seniman itu menghayati ruang-waktu dalam kebersamaan atau kesendirian yang ekstrem.
Dalam seni performans, tubuh bukan sekadar elemen, melainkan bentuk dan ekspresi seni itu sendiri. Bukan tubuh personal, soliter, melainkan bernilai sosial-politik pula. Tegasnya, tubuh yang terlibat. Para senimannya mengkomunikasikan gagasan atau pesannya melalui tubuhnya.
Seni performans adalah bagian dari praktik seni kontemporer yang berkembang luas di belahan dunia mana pun. Ia dipahami sebagai eksperimentasi antara tubuh, materi, dan ruang-waktu. Seni multi-dimensional ini kerap melibatkan disiplin atau praksis kesenian lain.
Banalitas Kejahatan
Dalam “koridor” yang mirip, ekstremitas penghayatan atas ruang-waktu dan ketubuhan pada seni performans ditiru oleh para pelaku bom bunuh diri. Mereka menganggap tubuh dan lokus peledakan bom adalah arena ideologis, kancah peperangan, tempat pesan dialamatkan. Makin masif ledakannya, makin banyak korbannya, menandakan tindakan teror itu sukses besar. Untuk itu, skala aksi mesti direncanakan saksama.
Pada seni performans, seiring usainya aksi pelakonnya maka yang tertinggal di memori pemandang hanyalah jejak-jejaknya. Sebagian tandanya berbentuk media rekaman atau fotografi. Dalam banyak kesempatan, praktik seni ini tidak berorientasi pada hasil akhir, tetapi menonjolkan jalinan proses atau nilai-nilai filosofisnya.
Sedangkan pada aksi bom bunuh diri, selain kengerian yang melekat di benak, destruksi yang ditimbulkannya adalah tanda-tanda yang diniscayakan. Jadi, pesan dan hasil akhir bom bunuh diri punya dampak lebih kuat ketimbang seni performans apa pun. Serpihan tulang, usus yang memburai, atau kepala yang terpenggal dan anyir darah adalah fragmen-fragmen kulminatif maujud “seni” itu. Inilah theater of horror.
Hampir seragam, bom bunuh diri senantiasa bermuatan pesan politik. Sering pula aksi ini dikira wujud perlawanan terhadap suatu rezim atau ideologi tertentu. Ada anggapan, tindakan irasional itu dilakukan karena para pelakunya gagal mengkomunikasikan ide-idenya. Sebaliknya, bisa jadi aksi itu adalah salah satu media atau cara berkomunikasi itu sendiri. Jika benar, yang perlu dikaji ialah, mengapa langkah teror yang membinasakan ini yang dipilih.
Apakah dasar pemikiran seseorang melakukan teror bom bunuh diri? Apakah praksis komunikasi dialogal, di tengah-tengah globalisasi dan kosmopolitanisme dunia, tak mungkin dilakukan? Apakah hidup damai berdampingan, dengan semua warna kulit atau bianglala ideologi, bukan realitas yang membahagiakan? Mungkinkan aksi teror ini adalah bentuk penolakan atas jalannya sejarah, modernitas atau sekularisasi? Jika legitimasi teror termaktub dalam Kitab Suci mana pun, apakah serentak ada kuasa terberi bagi manusia untuk mancabut hak hidup makhluk lain?
Bom bunuh diri adalah negativitas horor yang mencuat dari kegelapan akal sehat. Pelakunya bukan orang tak waras. Secara radikal, seakan-akan ia tengah menolak mortalitas eksistensialnya (“Sohib, saya sudah di surga!” serunya.) sembari menindas kemerdekaan yang lain. Giovanna Borradori (2005), berdasarkan pada pemikiran Hannah Arendt, mengatakan, “... esensi teror bukanlah pemusnahan secara fisik siapa pun yang dianggap berbeda, melainkan pencabutan perbedaan di dalam orang, yaitu pencabutan individualitas serta kemampuannya untuk bertindak secara otonom.”
Pada seni performans, bentuk atau ekspresi “fenomena artistik” itu transformatif, multifaset, seraya memperkaya kosa kebudayaan manusia. Sebaliknya, bom bunuh diri adalah alegori seni performans yang mengusung banalitas kejahatan (istilah Arendt, banality of evil). Darinya menyebar aroma kematian, bukan aurora kehidupan.
Sampai di sini, akal sehat kita tertantang: apakah otonomi kebebasan niscaya meringkus moralitas atau keberadaban manusia.
—Tubagus P. Svarajati
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Selasa 21/07/2009.]
No comments:
Post a Comment