Saturday, September 5, 2009
Kota, Petani, Jerami
SAYA bayangkan, dalam masa repolusi, kota membuncah oleh tanda yang hiruk-pikuk—bukan oleh riuh suka-cita, melainkan gemuruh oleh kepalan tangan (“tangan-tangan baja yang keras menghentam”), parang, atau bambu runcing.
Pada masa yang tak jauh-jauh, Surabaya adalah kota “pasti kepada harapan” yang “gembira kepada kerja” dengan “malamnya malam bercinta”. Akan tetapi, di kota itu ada catatan: “mogok pertama buruh kereta api zeven provincien”. Di sana pula banyak petani tersungkur: “merekalah petani yang dirampas tanahnya”.
Agam Wispi, penyair dengan semburan kata-kata repolusi yang bertenaga, tak terlena oleh romantisme revolusioner picisan. Ia bertanya terus, “sudahkah tanah bagi petani?” Ia mengingat terus, “depan kantor tuan bupati tersungkur seorang petani karena tanah, karena tanah”.
Dan seorang pelukis menggambarkan petani dengan amsal onggokan jerami kering, yang rapuh, yang mudah dimusnahkan, terbakar, dan menjadi abu. Kita mafhum, pelukis itu—adalah Joko Pramono yang dikenal sebagai Jopram—lahir dari rahim petani. Hingga sekarang bapak-ibunya adalah tetap petani—tipikal “petani-petani yang dirampok panennya”. Artinya, mereka ialah petani yang dibayang-bayangi oleh kegagalan panen, dihantui rasa was-was karena setiap saat padi yang siap dipanen pun serentak siap digusur: di atasnya berdiri tanda-tanda menyerupai suatu kota satelit.
Tragika petani cerminan mitologi Sisyphus—meski acapkali panen gagal, tak beroleh hasil, didera rasa lapar toh asa tak turut lunglai: cangkul, cangkul terus. Ibarat bertani adalah percumbuan abadi dengan sang nasib. Kelaparan atau kesakitan cuma tanda di sekujur badan, di sudut-sudut kota, yang rumpang-rumpang.
Onggokan jerami adalah tubuh yang merana oleh kuasa tak berhingga. Anak petani Surabaya itu menggambarkan kesaksiannya.
:repolusi belum kelar, bung!
—Tubagus P. Svarajati
[CATATAN: Saya diundang menulis untuk pameran seni rupa “Perang, Kata dan Rupa” dalam rangkaian Festival Salihara, Jakarta, 16 Juli—15 Agustus 2009. Pameran diikuti oleh 13 senirupawan. Saya menulis untuk seniman Jopram yang memamerkan lukisan “Sudut Kota” dan “Lubang Tubuh”.]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment