DITENGARAI, kini liputan jurnalistik seni-budaya di koran dan televisi terpinggirkan alias minim sekali. Salah satu alasannya, media tak punya wartawan khusus seni-budaya. Karena itu media lebih mengutamakan berita olahraga, politik dan ekonomi.
Fakta tersebut muncul dari Pelatihan Liputan Seni dan Budaya oleh Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jateng di Gedung Pers Jateng, Semarang, belum lama ini. Mengapa liputan seni-budaya seperti terkucilkan? Setidaknya ada tiga sebab, yaitu liputan seni-budaya dianggap sulit, dipandang kering dan tidak prospektif, serta dipersepsi sebagai liputan tidak penting.
Kenyataannya, sebagai ibukota provinsi, Semarang sering menggelar agenda seni-budaya berskala nasional atau internasional. Ada yang menyarankan, agar tulisan menarik wartawan harus lebih aktif menggali informasi melalui wawancara kepada pelaku seni atau penyelenggaranya.
Pada dasarnya wartawan bertugas melaporkan suatu peristiwa. Ia menuliskan berita tentang kejadian apa pun berpedoman pada asas jurnalisme dasar, yakni 5W+1H. Informasi tambahan bisa didapat dari wawancara, amatan, dan studi kepustakaan. Dengan prinsip ini, seyogianya tak ada hambatan berarti bagi wartawan meliput dan menuliskan peristiwa seni-budaya.
Masalahnya jadi lain jika penulisan berita akan diwujudkan sebagai laporan mendalam (depth reporting). Untuk itu wartawan harus berbekal, antara lain, pengetahuan khusus, dasar teori dan sarat literatur.
Fakta Dasar
Risalah di media menggunakan ragam bahasa jurnalistik. Prinsip pokoknya, hemat dan jelas. Bahasa mesti digunakan secara mangkus-sangkil. Sependek amatan saya, masih ada penulis atau wartawan melayas pedoman itu. Tulisan tidak fokus, abai pada asas gramatika, dan di sana-sini terdapat kekeliruan ejaan. Yang lebih memasygulkan, kerap artikel menjauhi logika perbahasaan.
Apa sebab penguasaan kebahasaan kita tumpul? Sekolah-sekolah di Indonesia hanya mengajarkan ilmu linguistik, bukan kemahiran berbahasa (tulis dan wicara). Banyak orang kerepotan merangkai pokok-pokok pikiran dalam susunan kalimat runtun-logis dengan diksi yang tepat. Kekurangan itu terbawa terus hingga bermasyarakat. Menulis menjadi aktivitas eksklusif, padahal menulis nyata-nyata suatu ketrampilan berbahasa.
Agaknya hambatan terbesar (calon) penulis ada pada penguasaan teknis kebahasaan. Sering bentuk atau struktur karangan mereka tak jelas. Memilih judul atau menyusun kalimat pembuka (lead) pun masih terkendala.
Tulisan hasil liputan seni apa pun—termasuk esai kritik seni—niscaya terdiri dari unsur deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan evaluasi (Mamannoor, 2002). Jadi, penulis menerangkan artifak atau peristiwa seni yang diamatinya, mengkaji aspek-aspek formalnya, menuliskan tafsirnya, dan terakhir memberikan pendapat, kritik, serta saran. Anasir-anasir itu tak harus urut.
Pada kritik seni, aspek analisis dan evaluasi diberi tekanan lebih besar. Kritikus yang “baik” niscaya mendedahkan analisis dan evaluasinya secara tajam dan mendasar. Liputan jurnalistik bisa meniadakan anasir penilaian.
Tantangan Penulis Seni
Mesti dicatat, wartawan bukanlah kritikus (seni). Bila tak cakap, wartawan seni-budaya jangan memaksa diri memberikan justifikasi. Kritik yang tanggung merugikan pembaca, menampar paras sendiri dan media yang memuatnya. Lebih dari dua dekade silam penyair Sutardji Calzoum Bachri (dalam “Isyarat”, 2007) telah mewanti-wanti hal seperti itu.
Jika wartawan hendak menjadi kritikus—secara kualitatif seperti termaksud dalam istilah itu—maka ia wajib melengkapi dirinya dengan pengetahuan dan keilmuan sesuai ragam seni yang ditelisiknya. Kritikus seni rupa, contohnya, sedikit banyak paham historiografi seni rupa nasional dan mondial, teori estetika, proses penciptaan atau kreasi seni, psikologi, sosiologi atau antropologi budaya, sampai pada sejarah kebudayaan secara umum.
Salah satu peranti analitik yang wajib dikuasai kritikus ialah semiotik dan hermeneutik. Semiotik—suatu teori linguistik (strukturalis)—digunakan sebagai alat bantu analisis karya seni yang diperlakukan sebagai teks. Sedangkan hermeneutik adalah disiplin ilmu yang berelasi dengan praktik atau metode penafsiran “konteks sosio-historis”. (Baca “Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya” oleh Benny H Hoed, Penerbit FIB UI Depok, 2008.)
Selain menguasai berbagai teori, penulis seni sebaiknya mendalami pokok studi, jenis atau genre seni sesuai dengan minatnya saja. Idealnya, ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah komunitasnya sehingga cakap menarasikan semangat zamannya (zeitgeist). Dalam konteks inilah mesti didorong lahirnya banyak penulis seni di Semarang.
Sayangnya, sejauh ini Semarang belum pernah melahirkan penulis atau teoretikus seni berwibawa, terutama di bidang seni rupa. Para akademikus pun jarang menerbitkan kajiannya. Akibatnya, dunia kreatif Semarang kurang dikenal dan nyaris tanpa penghargaan.
Bila tak kunjung ada penulis atau kritikus seni di Semarang, sebaiknya wartawan yang serius mendalami kajian seni bersedia mengisi lowongan posisi itu. Wartawan pasti bisa.
TUBAGUS P SVARAJATI
Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Senin 5/10/2009.]
1 comment:
Ah, tajam dan jitu sekali tulisan ini. Saya setuju sekali. Sebagai peminat budaya, meskipun awam, saya merasakan kondisi paceklik, kekeringan dan terus cenderung mendangkal dari bagian hulu menuju muara. Kesenian di hulu, budaya dan perilaku sosial di muaranya. Padahal kata orang, moncernya budaya kita menentukan kemajuan peradaban. Bukankah untuk menangkal penyakit sosial masyarakat kita yang belakangan ini doyan kekerasan adalah dengan membuka kemampatan ekspresi semiotika sosial menggunakan hasil karya para penulis seni.
Belum lagi dari sisi lain, betapa tertinggalnya kemampuan kita dalam mengimbangi intensitas difusi dan adopsi budaya kekerasan dari televisi sebagai inovasi yang lebih menarik.
Mungkin kita harus berinovasi juga pak ya?!
Post a Comment