DALAM pentas global, seni-budaya berperan sebagai pembeda sekaligus identitas. Seni-budaya tradisi ialah ekspresi kehidupan, nilai-nilai dan adat kebiasaan yang dilakoni dan dipraktikkan terus-menerus oleh kolektif manusia. Di sanalah kearifan lokal dan roh bangsa bersemayam.
Ekspresi seni-budaya, antara lain, berupa kekayaan seni arsitektural, tari, gambar, sastra, filsafat, nilai-nilai atau pranata adat. Pada artefak-artefak budaya inilah bangsa Indonesia bisa menimba dan memperkuat (lagi) karakternya. Indonesia punya khasanah seni-budaya tradisi beragam. Jumlahnya pun banyak dan tersebar di seantero daerah. Seni-budaya tradisi ini tak lekang digali dan direkreasi agar selaras dengan konteks zamannya.
Ambil contoh susastra klasik Sulawesi, I La Galigo. Sutradara asal Amerika Serikat, Robert Wilson, menata ulang dan memberi sentuhan artistik khusus pada I La Galigo sesuai kebutuhan estetik masyarakat global (baca: Barat). Di tangannya kisahan itu mewujud sebagai teater visual kontemporer kelas dunia.
Wilson menunjukkan, dekonstruksi seni-budaya tradisi wajib dilakukan jika hendak diluaskan signifikasi dan konstituennya. Pembacaan ulang bukan penyelewengan, melainkan pengayaan terhadap sastra kanonik tersebut. I La Galigo kian bersinar, kearifannya makin diserap oleh masyarakat luas. Di tempat kelahirannya, karya sastrawi itu bisa saja dihidupkan sesuai atau direinterpretasi ke tradisi muasalnya.
Pada galibnya seni-budaya tradisi terbuka dibaca ulang. Budaya bukan artefak statis melainkan hasil olah rasa-karsa manusia yang dinamis. Dengan adaptasi seperlunya, raut budaya lokal bakal berkembang sehingga sesuai harapan masyarakat modern. Singkatnya, dibutuhkan cara pandang baru mengapresiasi seni-budaya tradisi. Pada seni tradisi pun ada kreativitas meski dalam kadar dan intensitas berbeda di setiap zaman atau kolektif manusia.
Namun, sebagian seni-budaya tradisi seyogianya tetap diperlakukan sebagai perekat komunitas, yakni seni-budaya yang sarat dengan energi spiritualitas dan atau nilai-nilai moral pendukungnya. Tradisi demikian tak seharusnya direkayasa demi tujuan praktis atau profan saja.
Andai kreativitas jelas ada dalam berbagai seni tradisi, kendati tekanannya beragam, seni kontemporer justru merayakannya terang-terangan. Memungut, membentuk ulang, menjiplak atau mencuri kode-kode terdahulu menjadi bentukan baru adalah bagian dari "kreativitas". Konsep daur ulang (apropriasi) ini salah satu ciri posmodernisme yang, antara lain, menafikan paradigma universal dan tatanan monolitik. Ia pun tak bersemangat melahirkan ide, bentuk, atau ekspresi seni avant-garde seperti disyaratkan oleh Modernisme.
Reinterpretasi Budaya
Bagaimana kondisi praktik produksi artistik atau wacana seni visual di Semarang? Pada praksis seni rupa kontemporer, ranah yang saya cermati, senirupawan seperti lalai atau menafikan potensi tradisi dan historisitas kotanya. Jika pun ada yang mengangkat isu sejarah kota, itu cuma sebatas kulit luar.
Sebenarnya kota pesisir ini sarat dengan sejarah atau nilai-nilai yang bisa dijadikan sumber kreativitas, gagasan atau pun produksi artistik. Kultur Semarang terbentuk dari bastarisasi budaya lokal, China, Arab, dan Eropa. Hingga kini kultur hibrid itu terlihat jelas pada artefak arsitektural, kuliner, bahasa, sampai dengan pola permukimannya. Tegasnya, paduan budaya yang masih hidup dan diakrabi sehari-hari oleh masyarakat pendukungnya.
Dengan menengok pada seni-budaya tradisi artinya seniman diharapkan mengolah gagasan, wacana atau estetika kontekstual (Masih ingat pada diskursus Sastra Kontekstual yang ramai pada 1970-an?). Seniman ditantang, sebagai misal, untuk mengolah problematik sosiokultural atau pun politik lingkungan.
Jika seniman hanya menggunakan bahasa ungkap biasa atau tipikal, seperti yang dipraktikkan oleh kalangan luas pada umumnya, praksis seni rupa kota ini barangkali tak segera meraih atensi maksimal. Sebab, pertarungan wacana dan politik kebudayaan global (baca: Barat) senantiasa meminggirkan wilayah-wilayah yang dianggap tak punya sejarah seni modern. Boleh dibilang Semarang, atau sebagian besar kota-kota lain di Indonesia, dalam konteks sejarah seni mondial selaik "wilayah bertabir" (unseen zone).
Juga, ada ketersendatan arus alih informasi dari "Selatan" ke "Utara". Sebaliknya, modernisasi (baca: internasionalisasi) merasuk dari negara-negara industri modern, terutama Eropa dan Amerika, ke kawasan "Selatan". Akibatnya, seni-budaya kontemporer Indonesia (termasuk Semarang) tak diakrabi oleh masyarakat Barat.
Sebagai wacana tanding, unsur lokalitas atau seni-budaya tradisi baik diangkat dan dijadikan sumber kreasi. Ia menjadi pembeda sekaligus identitas diri dan, secara komparatif, mudah meraih momentum serta atensi di tengah-tengah paham posmodernisme yang menghargai pluralitas. Karena itu, penting menimbang kembali kaidah, norma, atau nilai seni-budaya tradisi untuk diolah dan diekspresikan sebagai karya seni atau wacana kontemporer.
Masalahnya, bagaimana merekreasi anasir seni-budaya tradisi sehingga relevan pada ruang-waktu berbeda dan tetap punya daya pukau. Berfokus pada bentuk, isi, atau gabungan keduanya? Atau sekadar mementingkan cara ungkap alias kemasan?
TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Kamis 10/12/2009.]
No comments:
Post a Comment