ISTILAH teologi—dalam wacana teologi pembebasan Amerika Latin—berarti “iman dalam tantangan sejarah perjuangan untuk pembebasan”. Sedangkan pembebasan diartikan sebagai “bebas dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik, atau alienasi kultural, atau kemiskinan dan ketidakadilan” (Francis Wahono Nitiprawiro, 2008).
Tegasnya, teologi pembebasan bukan cuma praksis religiositas eskatologis, melainkan upaya nyata memerangi penindasan dan ketidakadilan yang menimpa rakyat miskin. Lantas, apa yang dimaksud dengan “seni (sebagai sarana) pembebasan”?
Adalah seorang imam jesuit—Antonius Danang Bramasti, kepala paroki Girisonta, Ungaran—yang mencetuskan istilah atau pemahaman (baru) tersebut. Romo Danang adalah gembala Tuhan yang gemar menggambar. Secara personal, dalam tempo tertentu, praktik meditasi dilakukannya melalui dan dengan cara menggambar. Dalam hal ini dia melakukannya dengan tangan kiri meski dia bukan seorang kidal. Wujud nyata meditasinya adalah karya gambar (drawing) atau lukisan.
Seiring arus waktu, sejalan dengan keimanan Kristiani, romo Danang berniat mengaplikasikan kesenirupaan sebagai karya pastoralnya. Hasratnya tersambungkan oleh realitas, di wilayah kerjanya, sejumlah besar pabrik terbengkelai dan lingkungannya pun terdegradasi.
Romo Danang melukiskan realitas memilukan itu—reruntuhan pabrik dan lingkungannya—ke atas kanvas. Pertama-tama realitas empirik itu dipotretnya dan lantas dilukisnya. Jadi, lukisannya tak lain visualisasi impresinya atas citraan fotografis. Secara kasat semua karya lukisnya terkesan impresif: paduan warna-warni primer, ikonisitas yang samar, dan non-figuratif. Pada ujungnya, lukisan-lukisan itu dipamerkan untuk publik (misal: pameran “Asa di Tengah Kehancuran” di Unika Soegijapranata Semarang, 23—28/8).
Mangkraknya banyak pabrik, yang menyebabkan rusaknya topografi tanah agraria setempat, adalah bukti gagalnya industrialisasi di desa Harjosari, Bawen, Ungaran. Utopia kemakmuran—via kerajaan industri garmen, tekstil, dan sebagainya—sirna berbareng dengan ambruknya perekonomian Indonesia yang diterjang krisis moneter, 1998. Semenjak itu—puncaknya setahun belakangan—ribuan buruh kehilangan pekerjaannya dan serentak mereka jatuh miskin.
Seni Pembebasan: Apa dan Siapa
Sejarah kebudayaan modern Indonesia—dalam hal ini kesenilukisan—mencatat wacana “realisme sosialis”. Adalah pelukis S Sudjojono—pada 1930-an—yang getol melansir isu “kesenian ialah jiwa ketok”. Baginya, seni lukis “harus keluar dari dalam hidup kita sehari-hari”.
Kesenian S Sudjojono—dan termasuk pelukis Hendra Gunawan, Affandi, Harijadi, Suromo, Basuki Resobowo—berpijak pada gelora nasionalisme dan kerakyatan. Bisa dipahami mengingat mereka terlibat pada bara revolusi Indonesia. Dalam bahasan kritikus Jim Supangkat (pengantar dalam S Sudjojono, 2000), kekuatan lokal yang tercermin pada realisme Sudjojono merupakan estetik yang moralistik.
Pada 1950, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI)—berdiri dan mengawal jargon seni realisme sosialis pula. Pedoman geraknya disebut Satu Lima Satu (1-5-1). Satu yang pertama “politik sebagai panglima” dan satu yang terakhir “cara kerja turun ke bawah”. Oleh Hersri Setiawan (dalam Antariksa, 2005) pelaksanaan Turba (turun ke bawah) itu dijabarkan dengan “Tiga Sama” yaitu: bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. Artinya, seniman harus merasakan jiwa dan perasaan terdalam rakyat kebanyakan sehingga bisa diungkapkan secara tepat.
Maka, paham realisme sosialis niscaya menaruh perhatian—dan berpihak—pada problematika kerakyatan. Kesenian yang dihasilkan mestilah menyuarakan dunia dalam kaum pekerja, rakyat jelata: buruh, petani, atau mereka yang termarginalkan.
Sampai di sini, kita dapatkan beberapa pertanyaan. Apakah “seni pembebasan” sama sebangun dengan realisme sosialis dalam konteks praksis kebudayaan sosialistik ala Lekra? Apakah “seni pembebasan” menawarkan cara, metode, atau matriks terukur demi tujuan “pembebasan”? Apakah “pembebasan” itu bersifat individual atau kolektif-komunal dan bebas dari apa?
Barangkali gagasan “seni pembebasan” tersebut masih perlu dielaborasi. Mesti dicari benang merah antara gagasan, teoretik, dan praktik dengan anasir-anasir dan komunitas yang hendak dilayani. Ini mengandaikan ide “seni pembebasan” bukan untuk pencerahan personal belaka, melainkan demi kolektif-komunal (wujud “turun ke bawah”).
Pada hemat saya, jika gagasan “seni pembebasan” dianggap sebagai praksis pembebasan teologis—sebagai konsekuensi logis dari praksis teologi pembebasan yang hendak menghalau penindasan dan ketidakadilan—maka sudah semestinya locus theologicus-nya ialah masyarakat atau komunitas yang termarginalkan. Benarkah ini yang dimaksud?
Sudah banyak contoh bagaimana seni rupa digunakan sebagai wahana pencerahan (enlightenment) atau penyembuhan (healing). Bila “seni pembebasan” seperti ini, tentu saja, bukan wacana baru.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa
Bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai diterbitkan di Kompas, Selasa: 28/09/2010.]
No comments:
Post a Comment