Resensi Buku
Judul:
Sang Ahli Gambar
Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono
Penulis:
Aminudin TH Siregar
Penerbit:
S Sudjojono Center dan Galeri Canna
Cetakan:
Pertama, Oktober 2010
Tebal:
410 halaman
HAMPIR bisa dipastikan, sejarah pemikiran seni rupa modern Indonesia berawal dari gagasan dan polemik yang diuarkan oleh S. Sudjojono. Dia dikenal sebagai figur di balik kebesaran—bahkan nyaris identik dengan—organisasi Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1930-an.
Buku “Sang Ahli Gambar Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono” ini mendudukkan Pak Djon—sapaan akrab—sebagai tokoh sentral dalam pergolakan pemikiran seni di Indonesia. Medan seni Indonesia mengenalnya, di luar kepala, sebagai pencetus istilah “Mooi Indie” dan kesenian sebagai “jiwa ketok”. Menurut Aminudin TH Siregar—penulis buku yang dosen ITB, kritikus dan kurator—“jiwa ketok” ini adalah kredo seni yang paling popular.
“Mooi Indie” adalah ekspresi sinisme S Sudjojono terhadap lukisan—utamanya karya pelukis kolonial Belanda atau Eropa—yang melulu menggambarkan keindahan optis. Baginya, lukisan semacam ini tidak mengungkapkan alam dan jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya. Yang digambarkan itu “bukanlah Timur”, melainkan “representasi tentang Timur” (h. 46). Para pelukis “orientalis” itu selalu menggambarkan alam Indonesia yang bertumpu pada trinitas “suci” pohon kelapa-gunung-sawah. Pada titik ini, pemikiran S Sudjojono melampaui Edward Said yang mewacanakan orientalisme dalam buku Orientalism, 1978.
Sedangkan “jiwa ketok” sebenarnya cara S Sudjojono mengingatkan seniman agar bekerja dengan “kebenaran”, bukan dengan “kebagusan” saja. Dia mewaspadai kelahiran pelukis-pelukis medioker yang menganggap “keterampilan teknis” tidak diperlukan. Pelukis semacam ini biasanya berlindung di balik retorika, kalau bukan teori atau filsafat. Para avonturir diingatkannya tentang craftmanship. Katanya, “Kalau teknik sudah dikuasai, dia mau melantur, terserah.” (h. 107).
S Sudjojono—kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, perkiraan 1913—ialah pemikir kesenian yang menonjol pada masanya. Pemikirannya, setidaknya, terbagi dalam dua pokok: “identitas” dan “modernitas” (h. 35).
Tanda-tanda kemodernan S Sudjojono, dalam konsepsi Foucault, bisa didekati melalui perspektif khusus, yaitu “cara bertanya terhadap suatu fenomena” dan “cara bertanya individu terhadap dirinya sendiri (self)”. Dalam bahasa lain, keduanya tentang “kesadaran sosiologis-historis” dan “kesadaran filosofis-etis” (h. 56).
Kesadaran filosofis-etis S Sudjojono dalam menyikapi modernitas bukan semata hal periodisasi atau kronologi sejarah, melainkan hendaknya dipahami sebagai “tugas”, suatu “etos”, suatu aktivitas individu untuk membedah atau mendiagnosis situasi terkini ((h. 57). Artinya, manusia modern harus berani bersikap terhadap kekinian yang ditunjukkan dengan hadirnya keterputusan atau discontinuity (h. 61). Kemodernan adalah kesadaran akan diskontinuitas waktu: jeda dengan tradisi dan munculnya rasa kebaruan (h. 64).
Dengan menelisik sisi identitas dan modernitas figur S Sudjojono, kita paham, penulis buku ini memberikan porsi besar pada kesadaran aku-seniman S Sudjojono dalam historisitas seni rupa modern Indonesia. Dia memang sosok yang gigih menolak “kolonialisme seni” dengan cara menghajar seni lukis “Mooi Indie”. Dalam istilah terakhir itu implisit terkandung paham nasionalisme. Secara hiperbolis penulis buku ini menganggap gambaran alam dalam lukisan-lukisan S Sudjojono mengarah ke “patriotisme” (?) sebagai refleksi kuatnya kesadaran nasionalisme sang Ahli Gambar itu (h. 378).
Dalam aspek diskontinuitas ruang-waktu historis S Sudjojono antusias “menuliskan” sejarah dan jatidiri seni lukis Indonesia. Tentang ini, terang belaka, tertulis dalam salah satu judul karangannya, yaitu “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa”.
Kritikus Trisno Sumardjo menjuluki S Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru dan seni lukisnya sebagai “Realisme S Sudjojono”. Penulis buku ini meyakini, “Realisme S Sudjojono” pada dasarnya adalah temuan, atau mungkin juga konsepsi seni yang khas, yang terikat oleh ruang-waktu spesifik, yang hanya bisa—dan pernah—lahir di ranah persoalan Indonesia (h. 380). Bagi S Sudjojono, “realisme” itu bukan mengarah ke “estetik”, melainkan menyasar ke soal “sosiologis” sebab diarahkan ke soal “kedudukan seni dan seniman” dalam lingkungan masyarakat (h. 380).
Buku ini sangat penting sebagai upaya menyusun historisitas seni rupa modern Indonesia yang berwibawa, khususnya terkait peran S Sudjojono. Tercetak pula lebih dari 250 gambar/sketsa yang sebagian besar belum pernah dipublikasikan. Oya, asal tahu, Pak Djon inilah yang mencipta kata “pelukis” dan “seniman” dalam khazanah bahasa Indonesia. (Tubagus P Svarajati)
[CATATAN: Ringkasan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 14/11/2010.]
Judul:
Sang Ahli Gambar
Sketsa, Gambar & Pemikiran S Sudjojono
Penulis:
Aminudin TH Siregar
Penerbit:
S Sudjojono Center dan Galeri Canna
Cetakan:
Pertama, Oktober 2010
Tebal:
410 halaman
HAMPIR bisa dipastikan, sejarah pemikiran seni rupa modern Indonesia berawal dari gagasan dan polemik yang diuarkan oleh S. Sudjojono. Dia dikenal sebagai figur di balik kebesaran—bahkan nyaris identik dengan—organisasi Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1930-an.
Buku “Sang Ahli Gambar Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono” ini mendudukkan Pak Djon—sapaan akrab—sebagai tokoh sentral dalam pergolakan pemikiran seni di Indonesia. Medan seni Indonesia mengenalnya, di luar kepala, sebagai pencetus istilah “Mooi Indie” dan kesenian sebagai “jiwa ketok”. Menurut Aminudin TH Siregar—penulis buku yang dosen ITB, kritikus dan kurator—“jiwa ketok” ini adalah kredo seni yang paling popular.
“Mooi Indie” adalah ekspresi sinisme S Sudjojono terhadap lukisan—utamanya karya pelukis kolonial Belanda atau Eropa—yang melulu menggambarkan keindahan optis. Baginya, lukisan semacam ini tidak mengungkapkan alam dan jiwa masyarakat Indonesia sebenarnya. Yang digambarkan itu “bukanlah Timur”, melainkan “representasi tentang Timur” (h. 46). Para pelukis “orientalis” itu selalu menggambarkan alam Indonesia yang bertumpu pada trinitas “suci” pohon kelapa-gunung-sawah. Pada titik ini, pemikiran S Sudjojono melampaui Edward Said yang mewacanakan orientalisme dalam buku Orientalism, 1978.
Sedangkan “jiwa ketok” sebenarnya cara S Sudjojono mengingatkan seniman agar bekerja dengan “kebenaran”, bukan dengan “kebagusan” saja. Dia mewaspadai kelahiran pelukis-pelukis medioker yang menganggap “keterampilan teknis” tidak diperlukan. Pelukis semacam ini biasanya berlindung di balik retorika, kalau bukan teori atau filsafat. Para avonturir diingatkannya tentang craftmanship. Katanya, “Kalau teknik sudah dikuasai, dia mau melantur, terserah.” (h. 107).
S Sudjojono—kelahiran Kisaran, Sumatera Utara, perkiraan 1913—ialah pemikir kesenian yang menonjol pada masanya. Pemikirannya, setidaknya, terbagi dalam dua pokok: “identitas” dan “modernitas” (h. 35).
Tanda-tanda kemodernan S Sudjojono, dalam konsepsi Foucault, bisa didekati melalui perspektif khusus, yaitu “cara bertanya terhadap suatu fenomena” dan “cara bertanya individu terhadap dirinya sendiri (self)”. Dalam bahasa lain, keduanya tentang “kesadaran sosiologis-historis” dan “kesadaran filosofis-etis” (h. 56).
Kesadaran filosofis-etis S Sudjojono dalam menyikapi modernitas bukan semata hal periodisasi atau kronologi sejarah, melainkan hendaknya dipahami sebagai “tugas”, suatu “etos”, suatu aktivitas individu untuk membedah atau mendiagnosis situasi terkini ((h. 57). Artinya, manusia modern harus berani bersikap terhadap kekinian yang ditunjukkan dengan hadirnya keterputusan atau discontinuity (h. 61). Kemodernan adalah kesadaran akan diskontinuitas waktu: jeda dengan tradisi dan munculnya rasa kebaruan (h. 64).
Dengan menelisik sisi identitas dan modernitas figur S Sudjojono, kita paham, penulis buku ini memberikan porsi besar pada kesadaran aku-seniman S Sudjojono dalam historisitas seni rupa modern Indonesia. Dia memang sosok yang gigih menolak “kolonialisme seni” dengan cara menghajar seni lukis “Mooi Indie”. Dalam istilah terakhir itu implisit terkandung paham nasionalisme. Secara hiperbolis penulis buku ini menganggap gambaran alam dalam lukisan-lukisan S Sudjojono mengarah ke “patriotisme” (?) sebagai refleksi kuatnya kesadaran nasionalisme sang Ahli Gambar itu (h. 378).
Dalam aspek diskontinuitas ruang-waktu historis S Sudjojono antusias “menuliskan” sejarah dan jatidiri seni lukis Indonesia. Tentang ini, terang belaka, tertulis dalam salah satu judul karangannya, yaitu “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa”.
Kritikus Trisno Sumardjo menjuluki S Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru dan seni lukisnya sebagai “Realisme S Sudjojono”. Penulis buku ini meyakini, “Realisme S Sudjojono” pada dasarnya adalah temuan, atau mungkin juga konsepsi seni yang khas, yang terikat oleh ruang-waktu spesifik, yang hanya bisa—dan pernah—lahir di ranah persoalan Indonesia (h. 380). Bagi S Sudjojono, “realisme” itu bukan mengarah ke “estetik”, melainkan menyasar ke soal “sosiologis” sebab diarahkan ke soal “kedudukan seni dan seniman” dalam lingkungan masyarakat (h. 380).
Buku ini sangat penting sebagai upaya menyusun historisitas seni rupa modern Indonesia yang berwibawa, khususnya terkait peran S Sudjojono. Tercetak pula lebih dari 250 gambar/sketsa yang sebagian besar belum pernah dipublikasikan. Oya, asal tahu, Pak Djon inilah yang mencipta kata “pelukis” dan “seniman” dalam khazanah bahasa Indonesia. (Tubagus P Svarajati)
[CATATAN: Ringkasan buku ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 14/11/2010.]
No comments:
Post a Comment