GEORGE ORWELL—pengarang novel “1984” (Nineteen Eighty Four)—dalam satu esainya mengatakan, ia menulis karena terpicu oleh hasrat membuncah untuk “membuat tulisan politik menjadi (semacam) seni”. Barangkali itulah problematiknya.
Antara “tulisan politik” dan “seni” itu terbentang diskrepansi. Kiranya gagasan itu mudah tergelincir. Bukankah teramat gampang praksis seni dimanipulasi sekadar sebagai sampiran politik. Dengan kata lain, yang berlaku ialah praktik politik kesenian, bukan wacana seni sebagai produk kebudayaan.
Novel “1984” terbit di tarikh 1949 tatkala dunia porak poranda oleh PD II dan totalitarianisme adalah momok ganas. Karya Orwell lain yang juga menarik ialah fabel Animal Farm—kritik atau teori sosial Orwell atas Marxisme.
Orwell termasuk tipe pengarang yang sukses membuat “tulisan politik menjadi (semacam) seni”. Namun kita mafhum, politik kesenian akan meminggirkan kesenian sebagai produk estetik dan kultural. Padahal seni—sebagai ekspresi humanitas dan bagian dari kultur masyarakatnya—dimungkinkan menjadi santir reflektif bagaimana masyarakat berkembang atau mengalami kediriannya dalam ruang-waktu tertentu.
Walhasil, seni bersifat transenden-ontologis bagi publik pendukungnya. Atau, dengan kata lain, masyarakat bisa merasakan dan mempunyai pengalaman bersama yang-estetik, yakni wujud seni dalam ekspresi dan tindakan yang memungkinkan subyek menemukan pencerahan (enlightenment). Yang-estetik sebagai langkah pencarian terus-menerus, bukan tujuan (telos).
Sebaliknya, politik kesenian merayakan aksesoris dan remah-remah eksterior sebagai pemikat. Dalam ranah ini kesenian tak lebih cuma gelagat artifisialitas. Masyarakat dijejali dan sekadar memamah kesenian sebagai gula-gula, sebagai kebendaan, dan menepis kemungkinan karya seni mengekspresikan atau mengartikulasikan transendensi.
Politisasi kesenian, dalam bentuknya yang banal, mengemas karya atau peristiwa kesenian, sedemikian rupa, menjadi komoditas transaksional dalam segala manifestasinya. Antara lain seni cuma bernilai jual, bukan berdaya guna. Kerap seni seperti ini juga dikemas sebagai praktik populis dan demokratis (?). Pada ujungnya, politisasi kesenian bertujuan menggugah hasrat konsumen untuk mereguk pengalaman (kuasi-)seni secara masif.
Dalam politik kesenian, demi meluaskan pengaruh, disebarkanlah adagium bahwa semua orang adalah seniman, semua orang bisa menghasilkan karya seni. Untuk sebagian kalangan mantra ini manjur. Meski harus dipahami, adagium “Every human being is an artist” oleh Joseph Beuys lebih dimaksudkan seni sebagai alat perjuangan sosial, sebagai kekuatan evolusioner-revolusioner.
Celakanya, ada saja (calon) seniman yang memamah dan mendaur-ulang pendapat itu sebagai sihir ampuh dan, lantas, memproduksi karya semena-mena. Mereka tepis gagasan bernas dan abai pada capaian estetik prima. Dikiranya, “setiap orang adalah seniman” menghalalkan karya-karya semenjana. Gerombolan anak muda ini mesti ingat: Sejarah seni dunia hanya merekam ide banal atau karya manasuka sebagai catatan kaki. Yang menjadi taruhan ialah: Entah ide jenial, entah karya estetis, atau gabungan keduanya yang dituliskan selalu dengan tinta emas.
Bagaimana posisi masyarakat dalam diskursus “setiap orang adalah seniman”? Apakah otomatis mereka juga bisa menghasilkan karya seni? Pantaskah mereka dipedayai oleh asumsi terpangkas yang tidak bersesuai dengan konteks sejarah saat wacana itu muncul?
Agaknya keliru tafsir itu mendapat impetusnya dari gagasan Roland Barthes (dan sengaja dipelintir oleh segelintir pekerja seni yang doyan politicking?). Pakar semiotika strukturalis itu menyodorkan raibnya otoritas monolog seniman—atau kreator—dan melonggarkan persepsi pembaca atas suatu hasil karya seni. Berangkat dari sini masyarakat dianggap pantas dan ditabalkan sebagai “seniman” pula.
Masalahnya, bagaimana memposisikan mereka—para calon seniman atau yang gemar berlagu sebagai seniman—yang cuma punya gagasan pas-pasan dan hasrat memproduksi karya (kuasi-)seni agar didaulat pula sebagai Seniman (Ingatlah: Seniman dengan “S”.)?
Pada mereka kiranya tak perlu diberi aplaus gemuruh. Bukankah mereka juga tak pernah memunculkan tanda-tanda keseriusan dalam hal diskursus mau pun berkarya? Ciri-cirinya jelas: Tak ada keberanian atau elan unjuk diri personal, lebih suka hanya bergerombol melolong-lolong, atau melansir gertak sambal melalui konstruk teks fiktif. Mereka bak remaja ingusan cheerleaders: Para penyorak di pinggir medan seni yang (lebih) serius.
Setakat ini, di era penetrasi media teknologi informasi, para pekerja seni leluasa mengintroduksikan agendanya. Publik yang tak awas mudah terkelabui oleh perangkap konstruks teks, desain poster atau foto yang sarat tipuan. Padahal, jika disimak, kerap inisiasi kesenian yang terjadi—secara kualitatif—tidak berbanding lurus dengan signifikansi informasi yang diuarkan. Penggelembungan isu itu dilakukan dengan teknik rilis media tertentu. Hal ini rasanya telah mewabah dan menjadi modus berkesenian di beberapa wilayah dan kalangan. Bisakah hal ini disebut sebagai suatu praktik pembohongan publik?
Sebenarnya tak ada yang salah dalam wacana politik kesenian. Ini perkara lazim mengingat praktik mediasi karya atau peristiwa kesenian acap bersentuhan dengan hal-hal di luar dirinya sendiri. Kendati begitu, mesti diingat, dalam bidang kehidupan apa pun, etika-moral mesti dijadikan pegangan bertindak. Pelaku dan pekerja seni mesti maklum, masyarakat umum butuh edukasi dan perluasan subyektivitas yang mencerdaskan, bukan suguhan patgulipat “seni-kekuasaan” yang banal dan amoral.
Sudah saatnya para (calon) seniman dan pekerja seni—dengan penekanan pada praktik seni rupa di Semarang—memproduksi karya estetik, peristiwa atau aksi seni yang memikat. Intensitasnya pun mesti lebih ditingkatkan. Alasannya jelas: Kontestasi seni rupa kontemporer Tanah Air, apalagi di tingkat mondial, membutuhkan gagasan, diskursus sampai dengan produk artistika puncak. Tentu saja itu semua mesti didasari etos-elan berkesenian yang total-kuat dan mengenyahkan tipu-muslihat beracun.
Tak semestinya medan sosial seni kita dibuai dengan gagasan dan karya artistik yang tanggung atau, bahkan, tak senonoh secara estetik. Akan halnya media-pers, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, mesti bersikap kritis-wajar. Media-pers jangan tergiur oleh skala, melainkan menaruh hormat pada kualitas kekaryaan atau peristiwa seni yang diliputnya. Singkatnya, jangan sampai publik terkelabui oleh karya, praktik atau berita seni hiperbolis.
Politik kesenian mestilah merangsang masyarakat girang terlibat di dalam dunia seni dan mengalami yang-estetik demi kehidupan yang lebih berkualitas. Tentu yang dibutuhkan bukan seni artifisial atawa seni asem kecut.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat: 11/02/2011.]
Antara “tulisan politik” dan “seni” itu terbentang diskrepansi. Kiranya gagasan itu mudah tergelincir. Bukankah teramat gampang praksis seni dimanipulasi sekadar sebagai sampiran politik. Dengan kata lain, yang berlaku ialah praktik politik kesenian, bukan wacana seni sebagai produk kebudayaan.
Novel “1984” terbit di tarikh 1949 tatkala dunia porak poranda oleh PD II dan totalitarianisme adalah momok ganas. Karya Orwell lain yang juga menarik ialah fabel Animal Farm—kritik atau teori sosial Orwell atas Marxisme.
Orwell termasuk tipe pengarang yang sukses membuat “tulisan politik menjadi (semacam) seni”. Namun kita mafhum, politik kesenian akan meminggirkan kesenian sebagai produk estetik dan kultural. Padahal seni—sebagai ekspresi humanitas dan bagian dari kultur masyarakatnya—dimungkinkan menjadi santir reflektif bagaimana masyarakat berkembang atau mengalami kediriannya dalam ruang-waktu tertentu.
Walhasil, seni bersifat transenden-ontologis bagi publik pendukungnya. Atau, dengan kata lain, masyarakat bisa merasakan dan mempunyai pengalaman bersama yang-estetik, yakni wujud seni dalam ekspresi dan tindakan yang memungkinkan subyek menemukan pencerahan (enlightenment). Yang-estetik sebagai langkah pencarian terus-menerus, bukan tujuan (telos).
Sebaliknya, politik kesenian merayakan aksesoris dan remah-remah eksterior sebagai pemikat. Dalam ranah ini kesenian tak lebih cuma gelagat artifisialitas. Masyarakat dijejali dan sekadar memamah kesenian sebagai gula-gula, sebagai kebendaan, dan menepis kemungkinan karya seni mengekspresikan atau mengartikulasikan transendensi.
Politisasi kesenian, dalam bentuknya yang banal, mengemas karya atau peristiwa kesenian, sedemikian rupa, menjadi komoditas transaksional dalam segala manifestasinya. Antara lain seni cuma bernilai jual, bukan berdaya guna. Kerap seni seperti ini juga dikemas sebagai praktik populis dan demokratis (?). Pada ujungnya, politisasi kesenian bertujuan menggugah hasrat konsumen untuk mereguk pengalaman (kuasi-)seni secara masif.
Dalam politik kesenian, demi meluaskan pengaruh, disebarkanlah adagium bahwa semua orang adalah seniman, semua orang bisa menghasilkan karya seni. Untuk sebagian kalangan mantra ini manjur. Meski harus dipahami, adagium “Every human being is an artist” oleh Joseph Beuys lebih dimaksudkan seni sebagai alat perjuangan sosial, sebagai kekuatan evolusioner-revolusioner.
Celakanya, ada saja (calon) seniman yang memamah dan mendaur-ulang pendapat itu sebagai sihir ampuh dan, lantas, memproduksi karya semena-mena. Mereka tepis gagasan bernas dan abai pada capaian estetik prima. Dikiranya, “setiap orang adalah seniman” menghalalkan karya-karya semenjana. Gerombolan anak muda ini mesti ingat: Sejarah seni dunia hanya merekam ide banal atau karya manasuka sebagai catatan kaki. Yang menjadi taruhan ialah: Entah ide jenial, entah karya estetis, atau gabungan keduanya yang dituliskan selalu dengan tinta emas.
Bagaimana posisi masyarakat dalam diskursus “setiap orang adalah seniman”? Apakah otomatis mereka juga bisa menghasilkan karya seni? Pantaskah mereka dipedayai oleh asumsi terpangkas yang tidak bersesuai dengan konteks sejarah saat wacana itu muncul?
Agaknya keliru tafsir itu mendapat impetusnya dari gagasan Roland Barthes (dan sengaja dipelintir oleh segelintir pekerja seni yang doyan politicking?). Pakar semiotika strukturalis itu menyodorkan raibnya otoritas monolog seniman—atau kreator—dan melonggarkan persepsi pembaca atas suatu hasil karya seni. Berangkat dari sini masyarakat dianggap pantas dan ditabalkan sebagai “seniman” pula.
Masalahnya, bagaimana memposisikan mereka—para calon seniman atau yang gemar berlagu sebagai seniman—yang cuma punya gagasan pas-pasan dan hasrat memproduksi karya (kuasi-)seni agar didaulat pula sebagai Seniman (Ingatlah: Seniman dengan “S”.)?
Pada mereka kiranya tak perlu diberi aplaus gemuruh. Bukankah mereka juga tak pernah memunculkan tanda-tanda keseriusan dalam hal diskursus mau pun berkarya? Ciri-cirinya jelas: Tak ada keberanian atau elan unjuk diri personal, lebih suka hanya bergerombol melolong-lolong, atau melansir gertak sambal melalui konstruk teks fiktif. Mereka bak remaja ingusan cheerleaders: Para penyorak di pinggir medan seni yang (lebih) serius.
Setakat ini, di era penetrasi media teknologi informasi, para pekerja seni leluasa mengintroduksikan agendanya. Publik yang tak awas mudah terkelabui oleh perangkap konstruks teks, desain poster atau foto yang sarat tipuan. Padahal, jika disimak, kerap inisiasi kesenian yang terjadi—secara kualitatif—tidak berbanding lurus dengan signifikansi informasi yang diuarkan. Penggelembungan isu itu dilakukan dengan teknik rilis media tertentu. Hal ini rasanya telah mewabah dan menjadi modus berkesenian di beberapa wilayah dan kalangan. Bisakah hal ini disebut sebagai suatu praktik pembohongan publik?
Sebenarnya tak ada yang salah dalam wacana politik kesenian. Ini perkara lazim mengingat praktik mediasi karya atau peristiwa kesenian acap bersentuhan dengan hal-hal di luar dirinya sendiri. Kendati begitu, mesti diingat, dalam bidang kehidupan apa pun, etika-moral mesti dijadikan pegangan bertindak. Pelaku dan pekerja seni mesti maklum, masyarakat umum butuh edukasi dan perluasan subyektivitas yang mencerdaskan, bukan suguhan patgulipat “seni-kekuasaan” yang banal dan amoral.
Sudah saatnya para (calon) seniman dan pekerja seni—dengan penekanan pada praktik seni rupa di Semarang—memproduksi karya estetik, peristiwa atau aksi seni yang memikat. Intensitasnya pun mesti lebih ditingkatkan. Alasannya jelas: Kontestasi seni rupa kontemporer Tanah Air, apalagi di tingkat mondial, membutuhkan gagasan, diskursus sampai dengan produk artistika puncak. Tentu saja itu semua mesti didasari etos-elan berkesenian yang total-kuat dan mengenyahkan tipu-muslihat beracun.
Tak semestinya medan sosial seni kita dibuai dengan gagasan dan karya artistik yang tanggung atau, bahkan, tak senonoh secara estetik. Akan halnya media-pers, dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, mesti bersikap kritis-wajar. Media-pers jangan tergiur oleh skala, melainkan menaruh hormat pada kualitas kekaryaan atau peristiwa seni yang diliputnya. Singkatnya, jangan sampai publik terkelabui oleh karya, praktik atau berita seni hiperbolis.
Politik kesenian mestilah merangsang masyarakat girang terlibat di dalam dunia seni dan mengalami yang-estetik demi kehidupan yang lebih berkualitas. Tentu yang dibutuhkan bukan seni artifisial atawa seni asem kecut.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat: 11/02/2011.]
No comments:
Post a Comment