Sunday, June 5, 2011

KOSA SENI RUPA YANG TERJANGKAU


Judul: Diksi Rupa, Kumpulan Istilah dan Gerakan Seni Rupa
Penulis: Mikke Susanto
Penerbit: DictiArt Lab Yogyakarta & Jagad Art Space Bali
Cetakan: I, April 2011
Tebal: vii + 464 halaman


Kiranya inilah buku seni rupa yang sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan—dasar, menengah, dan tinggi—di Indonesia. Semacam kamus, ensiklopedia ringkas atau glosari kesenirupaan ini juga memperkaya khasanah diskursus dan praksis seni visual di Tanah Air.

Diksi Rupa ini ditulis oleh Mikke Susanto. Ia seorang kurator seni rupa dan pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Mikke memperbarui sekaligus meluaskan cakupan isi buku Diksi Rupa edisi pertama (tebal 123 halaman) yang yang ditulis dan diterbitkannya pada 2002. Menurut dia, butuh waktu sekitar tujuh tahun untuk menggemukkannya jadi setebal 464 halaman.

Di dalam buku ini termuat lebih dari 2800 entri yang mencakup istilah dan gerakan seni rupa. Mereka berasal dari kebudayaan Arab, Bali, Batak, Jawa, Belanda, Cina, Inggris, Prancis, Jerman, Yunani, India, Italia, Jepang, Latin, Mesir, Persia, Portugal, Rusia, Sansekerta, dan Spanyol. Pada umumnya tiap entri disebutkan asal katanya. Entri dalam bahasa Inggris yang berasal dari kata asing lain (Latin, misalnya) akan diterangkan muasalnya pula. Entri yang bertanda panah di belakangnya berarti merujuk pada entri yang mengikuti tanda itu. Dengan dua cara itu—penjelasan asal kata dan rujukan entri—pembaca dimudahkan dan diluaskan pemahamannya.

Selain istilah seni rupa ”modern” pada umumnya (patung, lukisan, desain), buku ini juga memuat pengertian seni rupa ”kontemporer” (antara lain: komik, mural/grafiti, digital, instalasi, performans, video), arsitektur, fotografi, wayang, batik, keris, keramik, tekstil dan beberapa seni rupa tradisional lain.

Termasuk dituliskan juga ragam aliran/gaya seni, gerakan, pemikiran dan tokoh-tokohnya, sampai dengan kelompok atau lembaga seni terkemuka. Dengan begitu Diksi Rupa juga merupakan buku sejarah seni rupa mini. Meski sekilas, pembaca akan paham perkembangan seni rupa Indonesia dan mondial.

Mengenai sejarah seni rupa Indonesia tercatat penjelasan tentang, antara lain, Keimin Bunka Shidosho, Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), Seniman Indonesia Muda (SIM), Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Sanggar Bumi Tarung, Sanggar Dewata Indonesia (SDI), Taring Padi, Kelompok Seni Rupa Jendela, sampai dengan Sentak. Entah mengapa MES-56 tidak tercantum. Faktanya kelompok seniman fotografi itu cukup fenomenal.

Tersebut juga Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang gegap-gempita pada 1973. Dicetak lengkap pula isi dan penanda tangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) tertanggal 17 Agustus 1963.

Buku ini juga mencatat lembaga seni yang dianggap penting, seperti Rumah Seni Cemeti, Ruangrupa, dan Common Room. Indonesia Visual Art Archive (IVAA), satu-satunya lembaga dokumentasi seni rupa kontemporer di Indonesia, juga ada di dalamnya.

Seni lukis tradisional Bali mendapat tempat khusus. Disebutkan secara lengkap berbagai gaya lukisan—seperti: Kamasan, Young Artists, Pengosekan, Ubud, Keliki, dan sebagainya—berikut tokoh-tokoh utamanya. Malah ditulis pula suatu gaya/aliran Galang Kangin yang dicetuskan oleh Thomas Freitag meski relatif baru. Namun, entah apa alasannya, lukisan realistik yang dihasilkan oleh para seniman tradisi di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, tak dianggap sebagai suatu aliran.

Informasi tentang batik dan keris cukup lengkap kiranya. Sumbernya pun jelas. Gambar-gambarnya termasuk banyak. Selain itu, nyaris di tiap halaman buku ada ilustrasi atau contoh gambar dari entri yang diterangkan. Sayangnya, penyusun buku ini tak disiplin menyebutkan sumber sah asal-usul ilustrasinya. Pun akan lebih menarik bila gambar dan ilustrasi diperbanyak lagi.

Sepertinya masih banyak istilah atau informasi (khususnya kesenirupaan Indonesia) yang belum tercatat. Jika ada entri galeri, seyogianya diterangkan pula “rumah seni” yang telah lazim dalam art world Tanah Air. Begitu juga “komunitas” yang kini terasa lebih populer ketimbang “sanggar”. Philip Morris Art Award dan penyelenggaranya (Yayasan Seni Rupa Indonesia) mestinya layak dibukukan atas kontribusinya yang penting.

Dalam hal fotografi, antara lain, “window lighting”, “Rembrand’s Light” atau “Depth of Field” (DoF) tak terekam. Ketiganya istilah yang sangat populer dan penting. Untuk seni media baru, entri “digital” sebaiknya diterangkan sebelum menjelaskan derivatnya. Jika ada “bokuseki” (kaligrafi Jepang), seharusnya pula ada “shu fa” (kaligrafi China). Agaknya “barongsai” pun luput disebut, padahal sudah ada entri “barong” dan “singo barong”. Terkait dengan filmografi, barangkali “blue film” atawa “BF” patut diperhitungkan juga.

Bagaimanapun, buku ini sangat penting bagi pendidik, mahasiswa, seniman, pekerja dan pecinta seni, serta masyarakat yang meminati kesenirupaan. Ini buku sejenis dan satu-satunya dalam bahasa Indonesia. (
Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 05/06/2011.]

4 comments:

Evitasdesign said...

blognya simpel tapi artikelnya bermutu!.... kereeen. numpang share boleh ya. perkembangan desain grafis maju dengan cepat, dengan teknologi mesin cetak yang sangat mutahir.
industri desain grafis seperti desain cover, desain brosur, dan jasa desain kayanya akan lebih banyak dibandingkan tahun-tahun kemarin.

Tubagus P. Svarajati said...

Evitadesign, terima kasih atas apresiasinya untuk blog ini dan semoga bermanfaat.

kakkumis said...

blognya sangat bagus. sangat banyak pengetahuan baru yang saya dapat.

saya juga mau tanya dimana bisa saya dapatkan buku "DIKSIRUPA" ?
tlp : 085299617024

Terima kasih sebelumnya

Tubagus P. Svarajati said...

Penulis DiksiRupa, Mikke Susanto, bisa dihubungi di: dan_mikke@yahoo.com.

Semoga bermanfaat.