[Photo: Lee Jeffries /
http://lightbox.time.com/2012/01/26/portraits-of-the-homeless-by-lee-jeffries/#1]
http://lightbox.time.com/2012/01/26/portraits-of-the-homeless-by-lee-jeffries/#1]
Betapapun canggihnya, kamera tetap sebagai peranti (biasa) belaka jika penggunanya tak piawai. Pendapat lain menyebutkan, tak perlu kamera atau pengguna canggih, yang terpenting pada hasil jepretannya. Foto baik tetaplah baik, tak soal entah berasal dari kamera sederhana atau kampiun fotografer.
Benar, foto baik tak harus berasal dari kamera super. Banyak peristiwa penting diabadikan dengan kamera sederhana dan oleh orang awam pula. Virginia Schau memenangi Hadiah Pulitzer 1954 berbekal Kodak Brownie, kamera saku pertama di dunia. Foto jawara itu dihasilkan Schau yang baru sekali itu memotret. Belasan tahun lalu seorang tukang foto keliling berhasil mengabadikan terbakarnya jembatan Tempel (Yogyakarta). Foto keduanya contoh sahih tentang asersi foto baik itu seperti apa.
Belakangan kamera dan lensanya berkembang kian canggih. Citraan (image) yang dihasilkan pun makin sempurna. Namun, secara teknis, tentu tak bisa disamakan hasil jepretan kamera prosumer (kamera saku), misalnya, dengan kamera lensa refleks tunggal (SLR, single lens reflex).
Singkatnya, makin canggih suatu kamera dan aksesorisnya, kian baik pula citraan yang dihasilkannya. Kamera “pintar” memudahkan kerja fotografer. Maka, kamera sebagai alat sangat menentukan hasil dan cara seseorang memotret. Dalam analisis perilaku, menggunakan kamera prosumer atau SLR, juga terbedakan.
Wacana Fotografi
Seseorang yang memotret melalui lubang bidik (viewfinder) serasa “menggenggam” dunia atau hamparan realitas di hadapannya. Dunia itu leluasa dikonstruksinya. Dengan mengatur posisi obyek atau memilih dan memilah tanda-tanda, pemotret mempraktikkan pengetahuan (atau kekuasaan, seturut Foucault) yang dimilikinya. Pemotret bebas menidakkan (negasi) atau menyetujui realitas yang terekam. Jadi, pemotret berjarak dengan realitas atau obyek-terpotret.
Menurut Foucault, pengetahuan tidak lagi membebaskan dan menjadi mode pengawasan, peraturan, dan disiplin (Madan Sarup, 2007). Tindakan memotret adalah praktik pengawasan atau obyektivikasi atas subyek (orang lain, the other) atau realitas terbidik. Bahwa laku seseorang yang sedang memotret itu tak terwakilkan (individualistik), terikat secara spasio-temporal, sarat subyektivitas, justru menguatkan asumsi memotret ialah tindakan deterministik. Di sini beroperasi wacana kekuasaan. ”Melihat” dalam fotografi adalah praksis kuasa subyek-pemotret terhadap apa yang dipotretnya.
Memotret adalah perluasan eksistensial pemotret meski kehadirannya implisit (samar-samar) dalam foto. Dengan memotret ada bukti kehadiran dalam ranah spasio-temporal. Sering jejak-jejak eksistensial ini lebih berharga, awet, dan perseptual ketimbang eksistensi subyek-pemotretnya sendiri. Jadi, selembar foto ialah fenomen kehadiran eksistensialistik: Saya ada dan mengada bersama di dalam foto.
Pada bagian lain Sarup (ibid) menjelaskan, kekuasaan disipliner ialah sistem pengawasan yang dibatinkan sehingga, secara otomatis, tiap orang menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Model ini memiliki kesamaan dengan konsep superego Freud sebagai pengawas internal keinginan tak sadar. Foucault mengacu pada penjara model panoptikon.
Akan tetapi, pada hemat saya, Foucault alpa satu hal. Orang atau individu bebas—bukan mereka yang terpenjara atau narapidana—tak serta-merta takluk pada ”tatapan” yang menghukum atau mendisiplinkan itu. Contohnya, fotomodel yang berpose di depan fotografer (dan kameranya) bisa dianggap sebagai individu bebas. Fotomodel berkuasa atas tubuh-eksistensialnya sendiri guna berpose seturut kata hatinya.
Individu bebas diandaikan sebagai subyek yang sadar, rasional dan otonom. Ia senantiasa mempertahankan kebebasannya dengan cara menidakkan sosok lain. Tindakan demikian membuatnya tetap punya kuasa. Dari itu, seorang fotomodel punya peluang terbuka untuk, sebaliknya, mengobyektivikasi subyek-pemotret. Alhasil, subyek-pemotret berubah menjadi obyek-yang-ditatap oleh sang model.
Fenomena fotomodel itu bisa dijelaskan melalui filsafat eksistensialisme Sartre. Baginya, kehadiran Orang Lain (Autrui)—terwakilkan melalui sorot mata, le regard—adalah suatu ancaman eksistensialistik. Sartre tersohor dengan aforisme “Neraka adalah orang lain”.
Kritik Fotografi
Fotografi memproduksi kuasa pengetahuan terhadap obyek-terekam. Artinya, subyek-pemotret mempersepsikan dunia atau realitas semena-mena, sesuai kehendaknya, sehingga tindakan memotret tak lain suatu wacana atau narasi historis personal. Kemudian, selaras dengan tafsir yang berkembang, makna foto senantiasa mengalir terus dan tak akan pernah bermuara pada titik muasalnya.
Masalahnya, bisakah fotografi melakukan kritik terhadap ideologi dominan masyarakat. Juga, mungkinkah suatu penelusuran eksistensial subyektif melalui atau di dalam diskursus fotografi. Harapannya, agar subyek hadir dengan seluruh keunikan personalitasnya—yakni subyek yang sadar, rasional dan otonom.
Alih-alih, barangkali sudah takdirnya, kamera menjerat subyek-pemotret dalam seluruh kecanggihan teknologinya. Apa pun intensi, gagasan, olah visual, sampai dengan metode eksekusi sebuah foto, tetap saja pemotret terperangkap dalam konstruk materialitas kamera. Manusia tunduk pada kamera sebagai alat, lengkap dengan prosedur kerja atau teknologinya.
Inilah paradoks mentalitas fotografi: bersamanya subyek mengada sekaligus terperangkap di dalamnya. Dus, wacana fotografi ternyata mengusung rasionalitasnya yang spesifik. Akankah sia-sia upaya manusia mencari Ada-nya melalui fotografi?
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus seni rupa, tinggal di Semarang
[CATATAN: Esai dikirimkan ke Suara Merdeka—Sang Pamomong, Jumat: 6 Januari 2012.]
No comments:
Post a Comment