Monday, October 1, 2012

Komunitas (Seni) Suka-Suka

Art work: Aris Yaitu, 2012

APA lacur, setakat ini grafik seni Semarang terpuruk di titik nadir. Sangkaan itu terkhusus mengena pada aktivisme seni rupa (kontemporer). Praktis seni rupa kota tumpul-mandul total, dua tahun belakangan.

Jika di sana-sini ada perhelatan sedikit—sering kali dengan asersi kulminatif oleh penggiatnya sendiri—tak berarti derajad seni rupa kota terangkat pula. Kegiatan tadi umumnya digulirkan oleh anak-anak muda—tergabung dalam pelbagai komunitas (konon!) kreatif. Gerombolan anak-anak muda itu meriung sembari berkarya bersama. Aktivitas mereka, biasanya, menggambar atawa menyeket. Kadang-kadang saja hasilnya dipamerkan.

Gelagat mereka memang terbilang ”baru”. Sayangnya, aktivisme mereka ibarat percik air di musim kemarau. Tetapi, paling tidak, kehadiran mereka menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah komunitas anak-anak muda mendominasi geliat seni urban-kontemporer kota akhir-akhir ini? Apakah mereka membawakan genre budaya tertentu sampai pada wacana estetika spesifik? Sejauh mana pengaruh mereka terhadap arah kesenirupaan kota dan apa sasarannya? Apakah ide perwadahan atau infrastruktur telah memberhala?

Mesti diakui, sementara sebagian senirupawan senior (baca: tua) bergeming-pasif, kelompok-kelompok anak muda mulai unjuk gigi. Umumnya mereka mahasiswa—dari berbagai perguruan tinggi dengan latar edukasi majemuk pula. Kegiatan mereka, antara lain, jalinan seni visual, fotografi, musik, sastra dan sedikit teater atau seni performans.

Dari ranah seni visual, menariknya, selalu lahir—secara laten—penggiat grafiti atau mural. Sialnya, dalam amatan saya, guratan mereka terbatas pada ekspresi romantik personal, belum menonjolkan gagasan keutamaan estetik, atau sosial-politik, dan karenanya tidak mencapai tataran ideologis. Akibatnya, seni luar ruang ini potensial menjadi sampah visual yang mencemari raut tata ruang kota. Ingatlah, dibutuhkan kecerdasan, strategi dan modus tertentu jika ingin mendalami seni yang sejatinya subversif ini.

Selain street art tadi, kerap pameran terbatas pada sketsa, ilustrasi, drawing, desain, atau pelbagai variannya. Di antara ekshibisi itu, satu-dua menampakkan upaya serius. Meski, lagi-lagi, jika disigi dari kacamata mondial—sekurang-kurangnya tingkat regional atau kota-kota ”pusat” seni Indonesia—citra artistikanya rada terbelakang. Dalam catatan saya, masalahnya terletak pada: pengenyahan aspek teknikalitas dan olah material yang berakhir pada runyamnya artistika. Di tingkat gagasan pun patut didiskusikan lebih intens. Yang kasat, banyak salah kaprah menggerogoti otak para calon senirupawan itu, yakni: seni rupa kontemporer dikira nirteknis, boleh aya-aya wae. Alamak!

Tapi, jangan-jangan saya salah duga atau terlalu bersemangat menilai kalangan anak-anak muda tersebut. Barangkali mereka tak lebih cuma gerombolan pemuda-pemudi periang, rileks menapaki masa depannya, tanpa ideologi estetika mendasar, atau bahkan rumusan berkesenian tertentu. Jika benar begitu, niscaya saya tak perlu risau-galau. Bukankah kita tak wajib menuntut capaian tinggi-tinggi dari mereka?

Sesuai tipologi di atas, contohnya, adalah komunitas Karamba Art Movement. Penggiatnya beberapa mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang. Kegiatan terakhirnya: menghela 70-an anak muda untuk menggambar bersama, berdiskusi (katanya!), dan ilustrasinya dipamerkan di suatu kafe di Sekaran, Gunung Pati, dekat kampus mereka, awal September ini. Saya teliti jejak-jejak karya mereka dan, dengan sesal-kesal harus diungkap, itulah sesuatu terkategori ilustrasi siswa sekolah wajib belajar 9 tahun. Yang mengenaskan, dalam suatu obrolan, Galih Pratama—salah satu eksponen Karamba—mengeluh, ”Saya sendiri bingung.”

Senyatanya keriuhan mereka santir budaya urban keblinger: suka-suka di kelimpahan waktu luang. Bahkan, saya sinyalir, aktivitas kesenggangan itu sengaja dibuat-buat, diberhalakan, dan (celaka!) dikonstruksi sebagai citra komunitas (seni) gaul.

Jika begitu, patut diragukan, peran atau kontribusi kegiatan (kuasi) seni sekalian anak-anak muda itu—para penggiat dan penikmatnya—terhadap struktur dan detak seni kota. Jika dicermati, kiprah mereka hanya berjejak di tapak periferi, bukan menohok jantung seni rupa kontemporer di republik ini. Alhasil, tak jelas pula apa yang diupayakan itu bisa bernilai, estetis maupun diskursif. Alih-alih, paling jauh, mereka ditengarai sebagai kumpulan penggembira belaka.

Lahirnya berbagai komunitas—dengan minat seni yang beragam—sejatinya patut disyukuri bakal memperluas kemungkinan kreatif. Asal saja eksistensi mereka tak cuma dalam ranah leisure time atau having fun. Perilaku hura-hura mesti segera ditanggalkan, digantikan oleh laku paradigmatik yang lebih serius.

Selain itu, setelah secara acak mengamati dan berdiskusi dengan beberapa kalangan, saya skeptis pada pola perwadahan atau ide infrastruktur yang, secara eksesif, sengaja diuar-uarkan selama ini. Bahwa secara politis-strategis semua kemungkinan ruang-budaya kota memang wajib ditata ulang, bahkan jika perlu direbut paksa untuk kemaslahatan masyarakat sipil, namun tak berarti ekspresivitasnya bisa seenaknya sendiri. Dalam konteks praktik produksi-konsumsi seni rupa kota, keliru bila gagasan senantiasa mengangkangi artistika, aktivisme melumat kajian diskursif, atau pemberhalaan pada anything goes. Seni yang cerdas niscaya terlahir dari seniman terasah, bukan para medioker atau penyorak-tepi-laga.

Saya cemas, raut seni rupa kontemporer kota, nyaris setelah satu dekade terakhir on track, memburuk. Elan senirupawan (tua) kita pun seakan terpuruk-terkubur dalam-dalam. Apa langkah yang mesti ditempuh agar seni rupa kota kembali semarak? Pola-pikir (mindset) harus diubah, praktik produksi seni dan eksposisi kian digalakkan, ide-ide diskursif-paradigmatik dibiakkan terus, atau sebaliknya jika hanya diam-membatu maka seni rupa kota pasti tewas, tanpa nisan, tanpa epitaf. Tak terkenang.

TUBAGUS P SVARAJATI,
Kritikus seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai dimuat di harian Suara Merdeka, Minggu: 23 September 2012.]

2 comments:

happiness is a blue chair said...

Wkwkwkwkwk,....enak kali aku baca tulisan mu ini bos,..kalimat di buka dengan kata “APA lacur, setakat ini grafik seni Semarang terpuruk di titik nadir”....,wahhh alamat gelap nih..kau ini menusuk sekali bos,..dari dulu aku perhatikan kamu ini selalu sinis,..skeptik dan membanting para seniman wanna be di semarang ini bos,kasianlah sedikit,..banyak yg telah mutung dikarenakan ulasan-ulasan mu ini yg mirip rezim text saja kau,memvonis sana sini dengan kejam tanpa kau beri ruang utk bernafas...bahkan seniman tua kau bilang makin terpuruk-terkubur dalam-dalam,jadi fosil dan gagal jadi duit kou bilang...bos ini sering-seringlah turba..lihat tuh di pasar seni Surabaya para pelukis semarang mendapat tempat terhormat,...itu lumayan bukti lho bos...terus pameran para dosen dan mahasiswa UNNES terus sambung menyambung di tengah sampai akhir tahun 2012 ini,atau pameran kecil di kafe sampangan yg udah edisi#2,atau daerah banyumanik.it was an visual art event also....bahkan art sem akan ada edisi lanjutannya lho,...apa ndak edan itu...
Bos ini bilang bahwa banyak kelompok seni yg hadir saat ini seperti kelompok outsiders,komunitas banyumanik, orat-oret,urban sketch up atau banyak kolektif mural dan graffiti di bilang hanya leisure time,orang-orang yg kelebihan waktu luang,hura-hura..komunitas haha hihi,tanpa bobot estetik yg jelas dan gagasan serta tehnik yg buruk,....cape deh....asal bos tau banyak dari kelompok itu terdiri dari lintas disiplin ilmu,..dari mahasiswa sampai dosen S2 senirupa lulusan ITB,dari professional sampai seniman full time,......di sela-sela kami men-sket lanskap kota kami juga menyisipkan obrolan-obrolan canggih lho,...senirupa kontemporer dalam negri sampai cina,...ndak buruk-buruk amat lah...jejaring kami juga lumayan lah,...ada yg sampe jerman lho bos...
Jangan lah bos ini berharap seni rupa semarang lama berkabung nya,...mimpi bos utk menikmati senirupa yg diskursif sebenarnya sudah tersaji tapi bos ini terlalu silau dengan yg di luar sehingga pandangan nya meleset jauh,..ini bukan fatamorgana lho,...

Salam saya utk aris yaitu ya,...

Tubagus P. Svarajati said...

Abaikan tulisan yang tidak cocok dengan selera Bung. Sebuah teks (=esai kritik seni jurnalistik) mesti disikapi dengan teks (=karya seni) pula. Pendapat saya tentu subyektif; seperti karya seni apa pun. Jadi, tak usah risau. Abaikan teks yang ngawur. Jangan ambil di hati.

Kontestasi di seni rupa Republik memang sangat kejam lho. Pada akhirnya hanya seniman tangguh yang bisa bertahan; yang sekadar numpang lewat, ya pasti terlewatkan.

Terima kasih atas kesediaannya berbagi pendapat.

Salam.