SEORANG tokoh yang telah mangkat hendak dihidupkan lagi. “Mari, kita ‘salute’ kepada Raden Saleh!” seru seseorang. Wacana itu menggelinding, akhirnya.
Maka sekonyong-konyong, belakangan ini, dunia seni rupa Semarang serempak koor takzim pada nama besar itu. Padahal, dalam kurun yang panjang, sosok itu cuma berkait dengan satu taman (budaya!) yang merana nasibnya. Dan selama itu pula khalayak tidak menaruh peduli.
Tidak jelas apa signifikansi dan kontribusi Rd. Saleh pada sejarah kreatif kota ini. Pun sebaliknya, tidak pernah ada kreasi seniman lokal yang tumbuh dari gagasan atau karya-karya gigantik Rd. Saleh. Priyayi itu cuma lahir di sini dan kemudian tenar di Eropa. Ini fakta historis.
Lantas, gerangan apakah yang melatari pencatutan namanya? Membaca kiprah atau melihat karyanya pun barangkali belum kelakon. Relevankah hendak membuat acara ini-itu atau merancang piala ini-itu yang diotak-atik agar pas dengan sosok pesohor itu?
Sepertinya banyak orang yang berharap bahwa kebesaran masa lampau mampu meneteskan kemuliaan di sini, kini. Duhai!
Acapkali kita cuma pintar menggagas – apa saja! – tanpa kuasa merealisasikannya. Sudah banyak ide perhelatan (seni rupa) besar lahir dan menguap begitu saja. Pernah ada hasrat menggelorakan seni rupa di seantero kota secara besar-besaran. Ada pula digulirkan kompetisi mural di suatu kawasan. Keduanya, kita tahu, tidak terlaksana. Tentu para pencetusnya punya segudang alasan mengapa ide-ide itu luruh. Kita maklumi saja.
Lebih afdal sekiranya kita menyemai ide-ide yang kecil-sederhana, namun elegan, dan dengan begitu mudah diterapkan. Sebab, kita mafhum benar, infrastruktur seni (rupa) kota ini belum berotot. Penggiat seninya juga kurang militan. Semangat filantropi pun belum tumbuh benar. Apalagi jika menyinggung masalah ketercukupan dana. Jadi, small is reasonable.
Barangkali tidak ada yang salah mengenai mimpi-mimpi yang menjulang. Siapa tahu, kemasyhuran bersedia mampir dan duplikat Rd. Saleh pun muncul. Namun, tentu saja, kita tidak perlu menjiplak perilaku snob sang flamboyan itu.
Ketika itu Rd. Saleh, yang bergaul di kalangan bangsawan, hidup berfoya-foya. Dia seolah hendak menyamai derajat para jetset Eropa. Lantas, seperti bisa diduga, dia bangkrut.
Rd. Saleh dimakamkan di Bogor. Entahlah di mana persisnya. Barangkali ada di antara kita pernah menziarahinya. Saya tidak. Maaf.
Maka sekonyong-konyong, belakangan ini, dunia seni rupa Semarang serempak koor takzim pada nama besar itu. Padahal, dalam kurun yang panjang, sosok itu cuma berkait dengan satu taman (budaya!) yang merana nasibnya. Dan selama itu pula khalayak tidak menaruh peduli.
Tidak jelas apa signifikansi dan kontribusi Rd. Saleh pada sejarah kreatif kota ini. Pun sebaliknya, tidak pernah ada kreasi seniman lokal yang tumbuh dari gagasan atau karya-karya gigantik Rd. Saleh. Priyayi itu cuma lahir di sini dan kemudian tenar di Eropa. Ini fakta historis.
Lantas, gerangan apakah yang melatari pencatutan namanya? Membaca kiprah atau melihat karyanya pun barangkali belum kelakon. Relevankah hendak membuat acara ini-itu atau merancang piala ini-itu yang diotak-atik agar pas dengan sosok pesohor itu?
Sepertinya banyak orang yang berharap bahwa kebesaran masa lampau mampu meneteskan kemuliaan di sini, kini. Duhai!
Acapkali kita cuma pintar menggagas – apa saja! – tanpa kuasa merealisasikannya. Sudah banyak ide perhelatan (seni rupa) besar lahir dan menguap begitu saja. Pernah ada hasrat menggelorakan seni rupa di seantero kota secara besar-besaran. Ada pula digulirkan kompetisi mural di suatu kawasan. Keduanya, kita tahu, tidak terlaksana. Tentu para pencetusnya punya segudang alasan mengapa ide-ide itu luruh. Kita maklumi saja.
Lebih afdal sekiranya kita menyemai ide-ide yang kecil-sederhana, namun elegan, dan dengan begitu mudah diterapkan. Sebab, kita mafhum benar, infrastruktur seni (rupa) kota ini belum berotot. Penggiat seninya juga kurang militan. Semangat filantropi pun belum tumbuh benar. Apalagi jika menyinggung masalah ketercukupan dana. Jadi, small is reasonable.
Barangkali tidak ada yang salah mengenai mimpi-mimpi yang menjulang. Siapa tahu, kemasyhuran bersedia mampir dan duplikat Rd. Saleh pun muncul. Namun, tentu saja, kita tidak perlu menjiplak perilaku snob sang flamboyan itu.
Ketika itu Rd. Saleh, yang bergaul di kalangan bangsawan, hidup berfoya-foya. Dia seolah hendak menyamai derajat para jetset Eropa. Lantas, seperti bisa diduga, dia bangkrut.
Rd. Saleh dimakamkan di Bogor. Entahlah di mana persisnya. Barangkali ada di antara kita pernah menziarahinya. Saya tidak. Maaf.
[Catatan: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Rabu (21/3/07). Hingga sekarang tidak terlihat kegiatan seni rupa mengatasnamakan Rd Saleh di Semarang. Sang patron keburu wafat dan aktivisnya berserak entah ke mana.]
No comments:
Post a Comment