at Rumah Seni Yaitu
PADA mulanya seni didedikasikan, tak terpisah dan inheren, sebagai benda pemujaan. Ia merupakan bagian dari praktik ritual purba, bernilai magis, dan pada perkembangan selanjutnya menjadi artifak religi. Namun, hal itu tak hanya terjadi dulu, manusia modern sekarang pun masih mempraktikkan pemberhalaan benda-benda seni seperti itu.
Dalam liturgi keagamaan modern, tak kurang-kurangnya masih diperlukan peranti pelengkap guna menggenapi keabsahan sebuah ritual dan kepercayaan tauhidnya. Tidak itu saja, dalam kehidupan sekuler, pengkultusan benda (yang diniscayakan sebagai artifak seni) juga terjadi dengan irama dan intensi yang tak kalah serunya. Lihat saja pada fenomena atau praktik mengkoleksi artifak seni rupa. Orang masih saja mengapresiasi artifak seni dengan cara yang sangat fetistik, yakni menghadirkan benda seni hanya untuk proses penikmatan dan kenikmatan pribadi. Artifak seni itu, akhirnya, cuma menjadi sarana pemuasan ambisi semata.
Tetapi, mengapa ritus pemujaan atas benda-benda seni masih berlangsung dengan segenap variannya? Apa latar sebuah artifak seni layak dijadikan objek hasrat atau benda fetistik?
Walter Benjamin (dalam risalah The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction) menandaskan, bahwa kehadiran eksistensial benda seni, dalam ruang dan waktu tertentu, yang menjadikannya unik dan berharga. Ia menjadi semakin bernilai ketika tanda eksistensial itu dikaitkan dengan kesejarahan pada saat artifak seni itu mengada atau dimunculkan. Lebih jauh, asas orisinalitas juga melekat pada artifak seni itu, sehingga pada gilirannya akan menghadirkan nilai-nilai otentisitas. Tak cukup dengan uraian itu, dan untuk semakin menegaskan, Benjamin mengatakan bahwa benda seni itu lantas punya otoritas.
Maka, lengkap sudah prasyarat praktik fetisisasi artifak seni: hadir pada ruang-waktu historis, spesifik dan satu-satunya, orisinal, serta otentik. Dan secara politis, tak bisa disangkal, artifak seni itu bersifat otoritatif.
Bukankah prasyarat itu juga melekat inheren pada proses dan praktik produksi artifak seni (rupa) pada era sekarang? Tidak bisa disangkal, salah satu alasan utama bagi praktik apresiasi (baca: mengkoleksi artifak seni) adalah benda seni dimaksud tunggal, unik, dan bernilai.
Namun, dalam risalah yang mashyur itu, Benjamin justru menyodorkan fenomena reproduksi mekanis pada praktik produksi artifak seni. Ini, tidak lain, pada akhirnya, Benjamin hendak mengatakan sirnanya ‘aura’ seni seturut gejala itu. Implikasinya ialah: apakah praktik pemberhalaan benda seni tetap berlangsung jika ia cuma hasil tiruan massal melalui mesin dan nirauratik pula?
Era Reproduksi: Fotografi
Pada dekade ketika fotografi dilahirkan serempak kegemparan menyeruak di mana-mana. Inilah masa ketika pemahaman orang akan realitas, ruang dan waktu dibenturkan pada persoalan representasi. Realitas-ruang-waktu yang fragmentatif dalam foto menghadirkan efek dan imajinasi ilusif. Meskipun, tidak bisa disangkal, eksistensialitas di sana menghadirkan persepsi dan resepsi yang penuh warna.
Kelahiran ruang – spasial dan signifikasi – tidak punya batasan yang jelas lagi. Muncullah ruang-ruang urban, domisili orang-orang semasa, yang berbaur-kelindan dengan sekaligus ruang modernitas. Di dalam fotografilah mereka bersemanyam.
Secara teknis, penemuan itu juga mengubah persepsi orang tentang asas ketunggalan dalam praktik produksi artifak seni. Oleh karena kemampuan merekam dan reproduksinya yang sempurna, fotografi juga melahirkan kejutan budaya yang luar biasa. Yang dicatat oleh fotografi bukan lagi sebatas membekukan satuan waktu-peristiwa, namun melampaui urutan waktu-peristiwa itu sendiri. Ia lahir sebagai dan dalam ranah modernitas. Karen Strassler (University of Michigan: 2003; disertasi belum diterbitkan) mendedahkan anggapan yang sama tentang modernitas dalam perspektif antropologis manusia Indonesia. Menurutnya, praktik kultural dokumentatif fotografi menjadi pintu masuk bagi manusia Indonesia untuk menjadi ‘modern’.
Fotografi pun turut mengubah tatanan moralitas masyarakat pada zamannya itu, yakni lahirnya pornografi secara masif. Orang semasa berlindung di balik adagium, bahwa citraan ketelanjangan – khususnya tubuh telanjang perempuan – adalah juga ekspresi seni.
Sebenarnya, yang lebih hakiki, yang lebih meninggalkan jejak pemikiran, ialah telaah tentang asas reproduksi mekanis di balik kelahiran fotografi itu. Dipandang dari sisi ini, maka praktik produksi dan mekanisme apresiasi artifak seni berubah total. Timbul kegamangan, adakah artifak hasil reproduksi mekanis adalah juga artifak seni dengan nilai-nilai intrinsik setara dengan konsepsi sebelumnya.
Kendati menimbulkan perdebatan panjang dan jauh, yang jelas, yang tidak mungkin diabaikan, ialah munculnya kesan desakralisasi auratik atas supremasi artifak seni. Justru dengan penggandaan itu, secara sosial, artifak seni mampu menerobos sisi penikmatan yang lebih jauh dari masyarakat penikmatnya. Reproduksi artifak seni itu lantas punya asas ekualitas dengan produk kebudayaan lainnya. Inilah sumbangan yang berharga dari fenomena reproduksi mekanis artifak seni: mengubah resepsi manusia atas seni yang terkesan sangat elitis.
Juga, dengan model penggandaan itu, maka lahirlah artifak-artifak seni dengan keunikan eksistensialnya masing-masing. Ia sekaligus diaktifkan dan dihadirkan lebih dekat kepada penikmatnya, meskipun seandainya artifak seni itu tercerabut dari domain tradisinya, yakni aura otoritatifnya. Fotografi, contohnya, dengan beragam tekniknya tidak saja mampu melahirkan ribuan karya reproduksi yang prima, namun juga bahkan sangat mungkin melebihi karya aslinya. Maka, ngotot pada cetakan yang otentik menjadi ‘make no sense’, tambah Benjamin.
Jauh sebelumnya, kelahiran metode grafika cukil kayu (woodcut), yang kemudian melahirkan asas penggandaan, juga menggedor konsep otentisitas artifak seni. Apalagi kemudian diikuti dengan kelahiran etsa dan litografi. Pada pentas produksi sastra, sudah lazim, penggandaan mekanistik malah semakin memarakkan seni hurufiah itu pada tataran yang populis. Namun, sejatinya, huru-hara baru benar-benar terjadi semenjak kelahiran teknik fotografi. Sebab, melalui fotografi inilah peran tangan seniman dieliminasi semudah mata orang mengerling.
Fotografi: Ambiguitas Peran
Bagaimanapun juga kemampuan fotografi merekam objek – realitas atau peristiwa – secara presisi menunjuk pada satu hal: ia sahih sebagai media rekam. Fakta eksistensial di sana hadir dengan kesepenuhan dan berbagai dimensionalitasnya. Otentisitas itu mengantarkan pemandang pada kasunyataan empirikal. Tetapi ia sekaligus juga melontarkan pemandang pada situasi teralienasi oleh karena citraan atau fragmen fotografis itu merujuk pada ruang-waktu yang berbeda. Ia ada, namun sudah berlalu. Ia ilusif sekaligus riil. Ia hanya mengada, hadir sekarang, dan di sini seiring dengan aliran kesadaran (stream of consciousness) pemandang.
Memori pemandanglah yang mengalirkan kemewaktuan dalam sebuah foto. Dan, memang, waktu adalah dimensi yang utama dalam fotografi (David Finn: 1994). Namun, elemen ruang-waktu eksistensial yang menyertai kelahiran artifak seni auratik, yang kemudian diberhalakan, itu tidak menjadi tolok ukur utama pada karya fotografi. Fotografi berjalan jauh menawarkan pergulatan filosofis atas pengetahuan kognitif manusia terhadap fenomena realitas-ruang-waktu. Praktik fotografi, dengan demikian, mendesakralisasi apa yang disebut sebagai artifak seni yang otoritatif itu.
Testamen era reproduksi mekanis yang melikuidasi seni auratik itu, pada sisi lain, sepenuhnya tidak mampu mengecoh kelimun (masses) untuk bertolak dari hasrat mengobjektivikasi artifak seni. Masih saja banyak berserak praktik fetistik semacam itu. Isunya kian melebar, antara lain, tidak hanya pada kebendaan an sich, namun juga mengarah pada mitosisasi citraan. Contoh, kelimun yang bertekuk-lutut di hadapan merek global. Di sini peran fotografi sangat signifikan dalam proses produksi citraan itu.
Kemunculan fotografi memang, pada awalnya, sukses mendesakralisasi konsepsi artifak seni. Namun, sungguh ironik, melalui semua kemampuan mekanisasi dan kedigdayaan teknologisnya, fotografi justru mempraktikkan fetisisasi; tak hanya benda, bahkan citraan.
TUBAGUS P. SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
Dalam liturgi keagamaan modern, tak kurang-kurangnya masih diperlukan peranti pelengkap guna menggenapi keabsahan sebuah ritual dan kepercayaan tauhidnya. Tidak itu saja, dalam kehidupan sekuler, pengkultusan benda (yang diniscayakan sebagai artifak seni) juga terjadi dengan irama dan intensi yang tak kalah serunya. Lihat saja pada fenomena atau praktik mengkoleksi artifak seni rupa. Orang masih saja mengapresiasi artifak seni dengan cara yang sangat fetistik, yakni menghadirkan benda seni hanya untuk proses penikmatan dan kenikmatan pribadi. Artifak seni itu, akhirnya, cuma menjadi sarana pemuasan ambisi semata.
Tetapi, mengapa ritus pemujaan atas benda-benda seni masih berlangsung dengan segenap variannya? Apa latar sebuah artifak seni layak dijadikan objek hasrat atau benda fetistik?
Walter Benjamin (dalam risalah The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction) menandaskan, bahwa kehadiran eksistensial benda seni, dalam ruang dan waktu tertentu, yang menjadikannya unik dan berharga. Ia menjadi semakin bernilai ketika tanda eksistensial itu dikaitkan dengan kesejarahan pada saat artifak seni itu mengada atau dimunculkan. Lebih jauh, asas orisinalitas juga melekat pada artifak seni itu, sehingga pada gilirannya akan menghadirkan nilai-nilai otentisitas. Tak cukup dengan uraian itu, dan untuk semakin menegaskan, Benjamin mengatakan bahwa benda seni itu lantas punya otoritas.
Maka, lengkap sudah prasyarat praktik fetisisasi artifak seni: hadir pada ruang-waktu historis, spesifik dan satu-satunya, orisinal, serta otentik. Dan secara politis, tak bisa disangkal, artifak seni itu bersifat otoritatif.
Bukankah prasyarat itu juga melekat inheren pada proses dan praktik produksi artifak seni (rupa) pada era sekarang? Tidak bisa disangkal, salah satu alasan utama bagi praktik apresiasi (baca: mengkoleksi artifak seni) adalah benda seni dimaksud tunggal, unik, dan bernilai.
Namun, dalam risalah yang mashyur itu, Benjamin justru menyodorkan fenomena reproduksi mekanis pada praktik produksi artifak seni. Ini, tidak lain, pada akhirnya, Benjamin hendak mengatakan sirnanya ‘aura’ seni seturut gejala itu. Implikasinya ialah: apakah praktik pemberhalaan benda seni tetap berlangsung jika ia cuma hasil tiruan massal melalui mesin dan nirauratik pula?
Era Reproduksi: Fotografi
Pada dekade ketika fotografi dilahirkan serempak kegemparan menyeruak di mana-mana. Inilah masa ketika pemahaman orang akan realitas, ruang dan waktu dibenturkan pada persoalan representasi. Realitas-ruang-waktu yang fragmentatif dalam foto menghadirkan efek dan imajinasi ilusif. Meskipun, tidak bisa disangkal, eksistensialitas di sana menghadirkan persepsi dan resepsi yang penuh warna.
Kelahiran ruang – spasial dan signifikasi – tidak punya batasan yang jelas lagi. Muncullah ruang-ruang urban, domisili orang-orang semasa, yang berbaur-kelindan dengan sekaligus ruang modernitas. Di dalam fotografilah mereka bersemanyam.
Secara teknis, penemuan itu juga mengubah persepsi orang tentang asas ketunggalan dalam praktik produksi artifak seni. Oleh karena kemampuan merekam dan reproduksinya yang sempurna, fotografi juga melahirkan kejutan budaya yang luar biasa. Yang dicatat oleh fotografi bukan lagi sebatas membekukan satuan waktu-peristiwa, namun melampaui urutan waktu-peristiwa itu sendiri. Ia lahir sebagai dan dalam ranah modernitas. Karen Strassler (University of Michigan: 2003; disertasi belum diterbitkan) mendedahkan anggapan yang sama tentang modernitas dalam perspektif antropologis manusia Indonesia. Menurutnya, praktik kultural dokumentatif fotografi menjadi pintu masuk bagi manusia Indonesia untuk menjadi ‘modern’.
Fotografi pun turut mengubah tatanan moralitas masyarakat pada zamannya itu, yakni lahirnya pornografi secara masif. Orang semasa berlindung di balik adagium, bahwa citraan ketelanjangan – khususnya tubuh telanjang perempuan – adalah juga ekspresi seni.
Sebenarnya, yang lebih hakiki, yang lebih meninggalkan jejak pemikiran, ialah telaah tentang asas reproduksi mekanis di balik kelahiran fotografi itu. Dipandang dari sisi ini, maka praktik produksi dan mekanisme apresiasi artifak seni berubah total. Timbul kegamangan, adakah artifak hasil reproduksi mekanis adalah juga artifak seni dengan nilai-nilai intrinsik setara dengan konsepsi sebelumnya.
Kendati menimbulkan perdebatan panjang dan jauh, yang jelas, yang tidak mungkin diabaikan, ialah munculnya kesan desakralisasi auratik atas supremasi artifak seni. Justru dengan penggandaan itu, secara sosial, artifak seni mampu menerobos sisi penikmatan yang lebih jauh dari masyarakat penikmatnya. Reproduksi artifak seni itu lantas punya asas ekualitas dengan produk kebudayaan lainnya. Inilah sumbangan yang berharga dari fenomena reproduksi mekanis artifak seni: mengubah resepsi manusia atas seni yang terkesan sangat elitis.
Juga, dengan model penggandaan itu, maka lahirlah artifak-artifak seni dengan keunikan eksistensialnya masing-masing. Ia sekaligus diaktifkan dan dihadirkan lebih dekat kepada penikmatnya, meskipun seandainya artifak seni itu tercerabut dari domain tradisinya, yakni aura otoritatifnya. Fotografi, contohnya, dengan beragam tekniknya tidak saja mampu melahirkan ribuan karya reproduksi yang prima, namun juga bahkan sangat mungkin melebihi karya aslinya. Maka, ngotot pada cetakan yang otentik menjadi ‘make no sense’, tambah Benjamin.
Jauh sebelumnya, kelahiran metode grafika cukil kayu (woodcut), yang kemudian melahirkan asas penggandaan, juga menggedor konsep otentisitas artifak seni. Apalagi kemudian diikuti dengan kelahiran etsa dan litografi. Pada pentas produksi sastra, sudah lazim, penggandaan mekanistik malah semakin memarakkan seni hurufiah itu pada tataran yang populis. Namun, sejatinya, huru-hara baru benar-benar terjadi semenjak kelahiran teknik fotografi. Sebab, melalui fotografi inilah peran tangan seniman dieliminasi semudah mata orang mengerling.
Fotografi: Ambiguitas Peran
Bagaimanapun juga kemampuan fotografi merekam objek – realitas atau peristiwa – secara presisi menunjuk pada satu hal: ia sahih sebagai media rekam. Fakta eksistensial di sana hadir dengan kesepenuhan dan berbagai dimensionalitasnya. Otentisitas itu mengantarkan pemandang pada kasunyataan empirikal. Tetapi ia sekaligus juga melontarkan pemandang pada situasi teralienasi oleh karena citraan atau fragmen fotografis itu merujuk pada ruang-waktu yang berbeda. Ia ada, namun sudah berlalu. Ia ilusif sekaligus riil. Ia hanya mengada, hadir sekarang, dan di sini seiring dengan aliran kesadaran (stream of consciousness) pemandang.
Memori pemandanglah yang mengalirkan kemewaktuan dalam sebuah foto. Dan, memang, waktu adalah dimensi yang utama dalam fotografi (David Finn: 1994). Namun, elemen ruang-waktu eksistensial yang menyertai kelahiran artifak seni auratik, yang kemudian diberhalakan, itu tidak menjadi tolok ukur utama pada karya fotografi. Fotografi berjalan jauh menawarkan pergulatan filosofis atas pengetahuan kognitif manusia terhadap fenomena realitas-ruang-waktu. Praktik fotografi, dengan demikian, mendesakralisasi apa yang disebut sebagai artifak seni yang otoritatif itu.
Testamen era reproduksi mekanis yang melikuidasi seni auratik itu, pada sisi lain, sepenuhnya tidak mampu mengecoh kelimun (masses) untuk bertolak dari hasrat mengobjektivikasi artifak seni. Masih saja banyak berserak praktik fetistik semacam itu. Isunya kian melebar, antara lain, tidak hanya pada kebendaan an sich, namun juga mengarah pada mitosisasi citraan. Contoh, kelimun yang bertekuk-lutut di hadapan merek global. Di sini peran fotografi sangat signifikan dalam proses produksi citraan itu.
Kemunculan fotografi memang, pada awalnya, sukses mendesakralisasi konsepsi artifak seni. Namun, sungguh ironik, melalui semua kemampuan mekanisasi dan kedigdayaan teknologisnya, fotografi justru mempraktikkan fetisisasi; tak hanya benda, bahkan citraan.
TUBAGUS P. SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
[CATATAN: Esei ini diterbitkan di Seputar Indonesia, Minggu (31/12/2006)]
No comments:
Post a Comment