Monday, December 3, 2007

Mural: Turisme dan Strategi Kebudayaan

unknown work from unknown artist found from the net

[PENGANTAR: Saya pernah mengajukan Proposal tentang muralisasi di Pecinan Semarang kepada pengurus Yayasan Cengho danKopi Semawis, menemui Kepala Dinas Pariwisata Kodia Semarang, memberikan data kepada beberapa kolega. Secara umum sambutannya baik. Namun, hingga hari ini tidak ada realisasinya. Orang hanya bilang baik tanpa mau berbuat, meski cuma sesuatu.]

SENI LUKIS luar ruang, yang umumnya menggambari tembok-tembok kosong, itu disebut mural. Ini ekspresi seni yang populis, mudah dicerna, dan ‘cara mudah-murah’ meng-estetisasi ruang-ruang publik yang mangkrak. Mengapa tidak dipraktikkan di Pecinan Semarang sebagai strategi kultural pengembangan wilayah dalam perspektif turisme?

Tak bisa disangkal, bahwa Pecinan Semarang adalah sebuah kawasan eksklusif. Kekhususan itu akan punya nilai tambah jika seluruh masyarakat penyanggahnya, dengan sadar dan terus-menerus, mengenalkan kesadaran kebermasyarakatan yang cair. Salah satu jalan yang sudah ditempuh ialah dibukanya kawasan itu sebagai daerah tujuan wisata.

Meski dampaknya tak selalu positif dan bisa melebar di luar perencanaan, turisme mampu menaikkan kesadaran menenggang (tepa salira) di antara warga kota, menghargai pluralisme, dan terbuka atas fenomena multikulturalisme. Gejala ini perlu diluaskan pada apresiasi atas ekspresi seni mural yang digarap secara serius, terencana, dan terkoordinasi.

Arti penting mural bukan saja sebagai sebuah karya seni atau modus seniman mengenalkan konsepsi berkeseniannya kepada publik, namun ia perlu disikapi sebagai bagian dari strategi tawar-menawar – secara politis dan kultural – akan hak dan partisipasi satu komunitas atas pengelolaan tata ruangnya sendiri. Artinya, para stake-holders mengambil peran aktif di hadapan penguasa kota (sebagai pengatur kebijakan).

Siapa para pemangku kepentingan kawasan Pecinan itu? Tidak lain adalah penduduk setempat dan siapa saja yang selama ini bermukim dan beraktivitas secara sosial, ekonomi, dan kultural di sana. Jika dilebarkan, maka masyarakat penyanggah itu termasuk birokrat, cerdik-cendekia, dan keseluruhan masyarakat Semarang secara umum.

Strategi Kebudayaan
Dengan gagasan yang jernih, tujuan yang jelas, dan target yang realistis, muralisasi di Pecinan akan mampu mendatangkan hasil yang terukur. Partisipasi komunitas ini bagian dari community-based tourism.

Sejatinya, seni mural adalah seni publik yang mudah meraih partisipasi luas. Artinya, proyek mural benar-benar mampu melibatkan publik awam dalam praktik dan realisasinya. Yang tak kalah penting, publik secara sadar dan terarah menandai lingkungannya dengan gagasan dan karyanya sendiri secara riil. Kondisi ini tidak lain adalah suatu kesadaran mengkonstruksi arah kebudayaan suatu kawasan oleh para pemangku kepentingannya.

Visualitas dan tematika mural sangat bervariasi. Keduanya juga bisa dieksekusi dengan bermacam-macam teknik. Pilihan tematika dan visualitasnya bisa digagas oleh para pakar kesenirupaan, seniman, dan masyarakat penyanggah Pecinan itu sendiri sepanjang tidak keluar dari koridor tata ruang perkotaan Semarang secara umum.

Dari segi bentuk dan ukurannya yang gigantik, mural jelas mudah mengundang apresiasi dan atensi publik yang besar. Sudah tentu kehadiran kelimun (masses) itu akan melahirkan kebanggaan bagi entitas penghuninya serta mendatangkan keuntungan finansial tidak sedikit. Dan ini suatu tolok ukur yang cukup berharga dalam industri turisme.

Pecinan Semarang dengan homogenitas dan karakteristik khususnya memungkinkan praktik muralisasi bisa berlangsung sukses dan terkontrol. Lorong-lorong yang panjang dengan tembok-tembok yang meninggi bagaikan kanvas bagi angan-angan masyarakat Pecinan tak terkecuali. Jangan biarkan bidang-bidang itu dikotori oleh praktik coreng-moreng vandalisme saja.

Dengan persiapan yang matang dan terarah tak sulit memetakan dan menyalurkan kebutuhan psikologis dan hasrat estetik para penyanggah kawasan itu. Sebab, nilai keindahan visual mural itu mampu menjadi kanal pelepas tegangan psikologis penduduknya. Dalam skala lebih luas, lingkungan Pecinan akan semakin tertata, bersih, dan nyaman.

Muralisasi ini niscaya berhasil jika para pihak mau bekerja sinergis dan mengkompromikan berbagai kepentingan yang ada. Apalagi jika didukung oleh data riset, meski hanya dalam skala kecil.

Hindarkan kesemena-menaan gagasan hendak melakukan praktik muralisasi di seluruh kawasan Pecinan – bahkan di ruang-ruang publik di sepenjuru kota – tanpa dilandasi pemikiran yang serius. Acapkali gagasan itu juga tidak punya kedalaman tentang apa itu mural – plus semua konsekuensinya – secara memadai.

Tantangan Bersama
Mengenalkan seni mural di Pecinan Semarang layak pula dipandang sebagai suatu tantangan kreatif nan positif – utamanya – bagi seniman lokal. Mampukah para seniman turun gunung mengenalkan konsepsi berkeseniannya yang berbasis komunitas. Publik tentu ingin melihat kreativitas mereka tidak terbatas hanya memproduksi karya-karya elitis yang cuma bersemayam di ruang-ruang privat.

Melalui proyek muralisasi ini seniman turut andil menentukan arah perkembangan kotanya sendiri. Sudah saatnya para perupa Semarang hadir dengan gagasan dan praktik berkeseniannya yang orisinal, sehingga layak mencitrakan diri sebagai seniman garda depan.

Pakar-pakar ketatakotaan digugah untuk merancang kawasan Pecinan sebagai sumbu pertemuan masyarakat madani yang merdeka dan kreatif. Dalam konteks gagasan muralisasi itu, dituntut suatu pilihan tematika dan visualitas yang pantas diaplikasikan di kawasan termaksud.

Jangan sampai muralisasi itu menyasar tidak pada tujuannya, sebab bagaimanapun seni mural itu memerlukan perlakuan tertentu agar mampu memberikan kontribusi estetik pada lingkungan, kenyamanan psikologis, dan bisa dinikmati dalam jangka lama. Siapa tahu, seni mural di sana menjadi monumen ingatan kolektif warganya.

Yang tak kalah penting, bisakah (sebagian besar) para penghuni Pecinan, yang telanjur menyandang citraan minor sebagai homo economicus, mengubah diri sebagai homo esteticus pula. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Esei ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis (16/11/2006)]

No comments: