Sunday, November 2, 2008

Salihara

Exhibition "Dari Penjara ke Pigura" at Komunitas Salihara,
Oct. 17 to Dec. 6, 2008. [Photo: Damar Ardi]

Seni juga perlu buat merk sebuah kelas, bendera sebuah gengsi.
Goenawan Mohamad

SAYA terkesiap, setengah tak percaya pada kenyataan di hadapan saya. Di depan saya adalah satu bangunan megah dengan karakteristik cita rasa urban perkotaan kelas menengah-atas. Itulah Komunitas Salihara.

Jumat petang (17/10), setelah seharian perjalanan Semarang—Jakarta yang melelahkan, saya sampai di pekarangan Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Situs kesenian baru itu, konon, dibangun dengan biaya tiga puluh enam milyar rupiah.

Tak syak, Komunitas Salihara adalah fasilitas kesenian lengkap—teater, galeri, kedai makan-minum, toko buku, dan wisma seniman—swasta pertama di Indonesia yang digarap serius dan sepenuh-penuhnya cinta. Tegasnya, cinta pada sesuatu yang bernama kesenian yang—mengutip Goenawan Mohamad dalam sambutannya pada peresmian Komunitas Salihara, Jumat (8/8)—“tiap kali merayakan hal yang seakan-akan buat pertama kalinya kita temui di dunia, kita pergoki tak tersangka-sangka”.

Kesenian, tentu saja, berasal dari sesuatu yang disebut kreativitas. “Kreativitas akan selamanya membutuhkan dan membuahkan kemerdekaan jiwa,” kata GM—panggilan akrab Goenawan Mohamad, “Itulah yang kita warisi sejak Agustus 1945. Untuk masa kini dan masa depan bangsa ini, itulah yang kita selalu akan pelihara dan kembangkan.”

Pada bagian lain GM menegaskan, bahwa di Komunitas Salihara itu kemerdekaan akan dijaga dan dipelihara, sehingga setiap orang akan bebas dari belenggu pemikiran dan prasangka.

Singkat kata: kesenian, kreativitas, kemerdekaan (jiwa dan raga) adalah hal-hal yang niscaya perlu dipelihara, dikembangkan terus—kendati berbiaya mahal.

Untuk menandai keberadaannya, diadakanlah Festival Salihara yang berlangsung pada 17 Oktober—6 Desember 2008. Mengapa festival? Bagi GM, festival mengandung unsur kegembiraan dan kompetisi, intermezzo dan pergelaran yang serius—dan di dasar semua itu: pertemuan.

Festival Salihara mempertemukan berbagai kegiatan: pameran seni rupa, pentas teater-musik-tari, monolog, ensambel, opera kamar, teater pantomim, dan kuliah umum oleh Adonis—penyair Arab kelahiran Suriah. Pertemuan itu, tepatnya, antara kesenian dan para apresiannya.
***
Komunitas Salihara berdiri di atas tanah seluas 3.237 m² di Jalan Salihara 16. Ada tiga unit bangunan utama, yakni Teater Salihara, Galeri Salihara, dan gedung kantor serta wisma seniman. Kompleks itu dirancang oleh tiga orang arsitek: Adi Purnomo, Isandra Matin Ahmad, dan Marco Kusumawijaya.

Di bagian depan-kiri adalah coffee shop. Ruang berkaca di sebelah kanannya, dibelah oleh jalan masuk yang tak terlalu lebar, adalah butik yang juga menjajakan buku dan cendera mata. Jalan masuk yang bertangga-naik menuju ke galeri, sedangkan yang menurun-landai ke teater.

Teater Salihara adalah gedung teater model black box pertama di Indonesia yang cukup menampung hingga 252 penonton. Ruang teater itu kedap suara—dinding beton yang dilapisi dengan batu bata yang bersusun. Tata suara dan cahayanya memukau. Tempat duduk penonton bisa diubah-ubah, menyesuaikan diri pada kebutuhan tata panggung. Sedangkan atapnya difungsikan sebagai area teater terbuka.

Saya beruntung mencecap kemewahan Teater Salihara. Malam itu saya menikmati, dari awal hingga usai, pentas musik “Just another day…” dari Folk Jazz Titi Aksan and Friends. Amboi, tiap bebunyian menghampiri gendang telinga mulus-lembut tanpa distorsi.

Sedangkan Galeri Salihara itu, dengan semua kelengkapannya yang baik, menonjol oleh karena bentuk ruangnya yang oval—yang tidak punya ujung tidak punya pangkal. Kata arsitek Marco, “… (agar) seniman dapat leluasa memajang karyanya.”

Untuk pertama kalinya, di Galeri Salihara, diadakan pameran seni rupa “Dari Penjara ke Pigura” (17 Oktober—6 Desember) yang diikuti oleh tiga puluh senirupawan. Tim kurator menyodorkan gagasan kuratorial demi melihat kembali “kemerdekaan dan kebebasan dari sudut lain yang tak terduga”. Kurator memetik teks-teks pilihan, sebagai tematika kuratorial, yang berasal dari delapan tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia—R.A. Kartini, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Rohana Kuddus, Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan S.K, Trimurti.

Akan halnya senirupawan yang ikut berpameran, tim kurator tak menjelaskan alasan keterpilihan mereka—atas nama periodisasi atau genre, misalnya, atau berdasar keistimewaan superlatif lainnya. Sinyal kesamaannya hanya pada karya-karya yang nyaris seluruhnya bersifat figurasi.
***
Kita tahu, sebelumnya GM dan beberapa sastrawan, intelektual, seniman dan wartawan mendirikan Komunitas Utan Kayu (KUK), 1994. KUK berdiri tak berapa lama setelah majalah Tempo dibredel. Komunitas ini terdiri dari Institut Studi Arus Informasi, Galeri Lontar, Teater Utan Kayu, Kantor Berita Radio 68H, dan Jaringan Islam Liberal.

Secara terus-menerus KUK mengadakan pertunjukan kesenian, pameran seni rupa, ceramah dan diskusi, serta penerbitan. Oleh karena intensitas, internasionalisasi, dan bobotnya—dalam riwayat perjalanannya—tak bisa dipungkiri kemudian KUK terkesan sebagai menara gading atau lembaga hegemonik. Tak ayal, lahir gerakan atau aspirasi tandingan oleh beberapa seniman, meski serampangan, menentang KUK.

Sekarang pengelola KUK memindahkan seluruh aktivitas dan memperluasnya ke Komunitas Salihara. Di sana akan dihadirkan “... pelbagai kesenian yang menyajikan kesegaran dan kebaruan dalam bentuk dan gagasan,” kata Tony Prabowo, salah satu dari delapan kurator Komunitas Salihara. Semuanya bertumpu pada “keragaman” yang tak memisahkan antara yang kontemporer, garda depan, tradisional atau yang populer. Itu semua untuk menjawab kebutuhan dan apresiasi khalayak seni yang, konon, terus meningkat.

Sebagai suatu ruang pertemuan kultural, pada hemat saya, Komunitas Salihara pantas diapresiasi. Ini penanda penting dalam suatu tatanan masyarakat urban, yang kian canggih, yang membutuhkan semacam oase—tempat bersejuk diri, tetirah, atau pun kontemplasi. Juga, suatu locus tempat gagasan-gagasan saling diuarkan dan dicerap serta semangat—kreativitas dan kemerdekaan—digantungkan. Bukan suatu kemewahan bila Komunitas Salihara memenuhi kriteria itu semua.

Dengan semua kecanggihan infrastrukturnya dan kompetensi seluruh pengelolanya, kita semua tak berharap: kesenian yang hadir atau gagasan yang meruang di Komunitas Salihara adalah sesuatu yang disebut “kitsch” atau “no pain”. Meski tak terhindarkan—niscaya—kesenian yang dihadirkan di ruang-ruang berpendingin itu sesuatu yang telah “terkemas”.

Akan halnya kesenian “kitsch” itu, tak lain, jenis yang “sering diberi tepuk tangan” dan “tanpa kepedihan merenung dan bertanya lagi”. Petikan-petikan ini dari satu esai Catatan Pinggir “Kitsch” yang ditulis oleh GM pada tarikh 1985.

Saya akhiri esai semenjana ini dengan ajakan untuk merenungkan apa yang pernah diresahkan oleh GM, tiga windu lampau, 1984. “Seni juga perlu buat merk sebuah kelas, bendera sebuah gengsi”—Pertanyaannya: kelas yang mana dan gengsi untuk apa. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 2/11/2008]

2 comments:

Andina Dwifatma said...

pak bagus, blog bapak aku link ke blog aku yaa

Tubagus P. Svarajati said...

andina, silakan jika bermanfaat.