Thursday, Dec. 12. (Photo: Budi Purwanto)
“... dari jaga tidurku, aku merekam apa yang ku temui,
dan berusaha membuang segala kepemihakanku”
— Eddy Hasby
dan berusaha membuang segala kepemihakanku”
— Eddy Hasby
FOTOGRAFI, semenjak kemunculannya, tak bisa lain ialah kepanjangan mata dari para kelas menengah flâneur—pesolek, istilah Rudolf Mrazek. Melalui mata merekalah, dalam banyak budaya modern, ‘dunia’ hadir dan dipaparkan di hadapan publik.
Sebenar-benarnya, para jurnalis foto adalah bagian dari anggota masyarakat kelas menengah itu. Akan tetapi, kita mafhum, anggapan itu—yang lebih terlihat sebagai harapan—seringkali meleset.
Pun pewarta foto bukanlah kepanjangan mata publik. Perannya bahkan seringkali hanya sebagai bagian kecil dari suatu kerja tim yang rumit dalam industri media—terutama media cetak. Maka mata seseorang fotografer, niscaya, ‘terkontaminasi’ oleh sekian banyak kepentingan—ekonomi, sosio-politik, kultural dan sebagainya.
Tegasnya, seseorang wartawan foto pada intinya telah berpihak sedari dia membidikkan kameranya, memilah, mengeksekusi realitas atau peristiwa hanya dalam bingkai-bingkai tertentu. Ambil contoh Eddy Hasby—pewarta foto Kompas. Dari kumpulan fotonya mengenai Timor Timur—buku The Long and Winding Road East Timor—publik bisa menilai seberapa jauh fotografer itu telah ‘berpihak’.
Oleh karena itu, “berusaha membuang segala kepemihakan” pantas dimaknai sebagai kesadaran seseorang fotografer untuk bersikap imbang—tak berat sebelah ketika melakukan tugasnya. Ia juga mesti menepis hasrat manipulatif. Pada masa teknologi digitalis ini betapa mudahnya seseorang pewarta foto berbuat curang. Kita tentu masih ingat perilaku kotor Brian Walski yang memanipulasi fotonya di medan Perang Teluk beberapa tahun silam.
Akan tetapi, “membuang segala kepemihakan” tak berarti seseorang juru foto tak meninggalkan jejak-jejak sama sekali pada karyanya. Bukankah seseorang—siapapun dan apapun profesinya—tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kelindan sejarah masyarakatnya.
Justru publik ingin tahu, sejauh mana sikap para jurnalis itu terhadap pokok soal atau subjek beritanya. Hemat saya, seimbang tak berarti harus tidak bersikap. Jurnalis—termasuk pewarta foto—mesti memihak, terutama, kepada mereka yang lemah dan tertindas. Semua itu harus dilandasi pada prinsip kebenaran dan berteguh pada kata nurani. Inilah esensi jurnalisme emansipatoris.
Sebanyak 19 pewarta foto baru saja berpameran—tajuk “Laku Warsa”—di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Semarang, dari Rabu hingga Selasa (10—16/12). Mereka tergabung dalam wadah Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang.
Esai ini hendak mencatat apa-apa yang tercecer dari pameran itu.
Sebenar-benarnya, para jurnalis foto adalah bagian dari anggota masyarakat kelas menengah itu. Akan tetapi, kita mafhum, anggapan itu—yang lebih terlihat sebagai harapan—seringkali meleset.
Pun pewarta foto bukanlah kepanjangan mata publik. Perannya bahkan seringkali hanya sebagai bagian kecil dari suatu kerja tim yang rumit dalam industri media—terutama media cetak. Maka mata seseorang fotografer, niscaya, ‘terkontaminasi’ oleh sekian banyak kepentingan—ekonomi, sosio-politik, kultural dan sebagainya.
Tegasnya, seseorang wartawan foto pada intinya telah berpihak sedari dia membidikkan kameranya, memilah, mengeksekusi realitas atau peristiwa hanya dalam bingkai-bingkai tertentu. Ambil contoh Eddy Hasby—pewarta foto Kompas. Dari kumpulan fotonya mengenai Timor Timur—buku The Long and Winding Road East Timor—publik bisa menilai seberapa jauh fotografer itu telah ‘berpihak’.
Oleh karena itu, “berusaha membuang segala kepemihakan” pantas dimaknai sebagai kesadaran seseorang fotografer untuk bersikap imbang—tak berat sebelah ketika melakukan tugasnya. Ia juga mesti menepis hasrat manipulatif. Pada masa teknologi digitalis ini betapa mudahnya seseorang pewarta foto berbuat curang. Kita tentu masih ingat perilaku kotor Brian Walski yang memanipulasi fotonya di medan Perang Teluk beberapa tahun silam.
Akan tetapi, “membuang segala kepemihakan” tak berarti seseorang juru foto tak meninggalkan jejak-jejak sama sekali pada karyanya. Bukankah seseorang—siapapun dan apapun profesinya—tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kelindan sejarah masyarakatnya.
Justru publik ingin tahu, sejauh mana sikap para jurnalis itu terhadap pokok soal atau subjek beritanya. Hemat saya, seimbang tak berarti harus tidak bersikap. Jurnalis—termasuk pewarta foto—mesti memihak, terutama, kepada mereka yang lemah dan tertindas. Semua itu harus dilandasi pada prinsip kebenaran dan berteguh pada kata nurani. Inilah esensi jurnalisme emansipatoris.
Sebanyak 19 pewarta foto baru saja berpameran—tajuk “Laku Warsa”—di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Semarang, dari Rabu hingga Selasa (10—16/12). Mereka tergabung dalam wadah Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang.
Esai ini hendak mencatat apa-apa yang tercecer dari pameran itu.
***
Pameran itu dimaksudkan sebagai jalan keluar dari rutinitas dalam bekerja, mengembalikan format foto dalam ukuran kelaziman, dan tanda persahabatan di antara sesama pewarta foto dari berbagai media.
Ternyata yang dianggap ‘ukuran foto yang sewajarnya’, seperti terlihat di ruang pamer, rata-rata berformat 12R atau 30X40 cm. Entah mengapa mereka seperti terjebak dalam tatanan konvensional itu. Format yang ‘biasa-biasa’ saja itu tak mungkin menimbulkan daya kejut atau ‘eye-catching’. Bandingkan dengan foto R. Rekotomo (Antara) yang memajang foto dengan komposisi panoramik. Foto ini satu-satunya yang tampil beda.
Mereka juga terperangkap dalam tabiat menyertakan ‘caption’ atau keterangan penyerta pada setiap fotonya. Hal ini menimbulkan tanda-tanya, tak bisakah foto-foto dalam ruang pamer itu, meski diniatkan sebagai produk jurnalisme, dianggap sebagai karya visual independen. Namun, adanya ‘caption’ itu bisa dipahami karena foto-foto yang ditampilkan kaleidoskopis, temanya beragam, bukan jajaran foto dengan tematika tunggal.
Akan halnya teks penyerta itu, yang semestinya menyandang diktum 5W+1H, terlihat tak lengkap. Hanya para fotografer Kompas, Tempo, Antara, dan Wawasan yang ketat menerapkan hukum jurnalistik itu. Selebihnya terbilang inkonsisten atau bahkan buruk.
Namun, harus diakui, beberapa foto berpotensi menjadi karya jurnalistik yang fenomenal. Setidaknya mendekati karya-karya foto kelas dunia yang telah menyejarah. Karya P. Raditya Mahendra Yasa (Kompas) “Cacat Majemuk” mengingatkan saya pada Eugene W Smith yang memotret korban keracunan merkuri parah di Minamata, Jepang. Jika serius mendalami, Mahendra bisa melahirkan foto-foto lebih berkelas—bukan mengeksploitasi, tapi berempati kepada para penyandang cacat majemuk yang terlupakan itu.
Foto Leonardo Agung BP (Suara Merdeka) “Konversi” terlihat khaostik. Pokok soalnya samar—subjeknya tersebar. Akan tetapi, foto ini menggugah ingatan saya pada satu karya klasik Henri Cartier-Bresson. Fotografer Prancis itu mengabadikan seseorang anak dengan mimik bangga, sedikit pongah, mendekap sebotol anggur besar. Di dekatnya beberapa gadis cilik mengaguminya. Subjek foto Leonardo, seseorang anak yang menerima jatah tabung gas tiga kiloan, sangat mungkin didekati dengan cara bidik fotografer yang masyhur dengan gagasan ‘decisive moment’ itu.
Dua contoh di atas saya kemukakan demi mengenalkan konsep apropriasi. Ini suatu pendekatan atau cara pandang baru dan kontekstual tentang pokok soal tertentu yang sudah ada. Model ini membuat jurnalis leluasa membaca ulang sejarah fotografi dunia secara cerdas—tidak semata-mata mengejar tampilan eye-catching. Percayalah, fotografi ‘wow’ bukan satu-satunya ukuran terbaik untuk jurnalisme foto.
Patut diingat, foto-foto jurnalistik dalam tiap masa cenderung mendekati, menyamai, atau mengulang karya-karya sebelumnya. Itu tidak lain karena pokok diskusi jurnalisme foto ialah manusia dan kompleksitasnya—yang niscaya inheren menyandang kemiripan pada tiap zamannya.
Ternyata yang dianggap ‘ukuran foto yang sewajarnya’, seperti terlihat di ruang pamer, rata-rata berformat 12R atau 30X40 cm. Entah mengapa mereka seperti terjebak dalam tatanan konvensional itu. Format yang ‘biasa-biasa’ saja itu tak mungkin menimbulkan daya kejut atau ‘eye-catching’. Bandingkan dengan foto R. Rekotomo (Antara) yang memajang foto dengan komposisi panoramik. Foto ini satu-satunya yang tampil beda.
Mereka juga terperangkap dalam tabiat menyertakan ‘caption’ atau keterangan penyerta pada setiap fotonya. Hal ini menimbulkan tanda-tanya, tak bisakah foto-foto dalam ruang pamer itu, meski diniatkan sebagai produk jurnalisme, dianggap sebagai karya visual independen. Namun, adanya ‘caption’ itu bisa dipahami karena foto-foto yang ditampilkan kaleidoskopis, temanya beragam, bukan jajaran foto dengan tematika tunggal.
Akan halnya teks penyerta itu, yang semestinya menyandang diktum 5W+1H, terlihat tak lengkap. Hanya para fotografer Kompas, Tempo, Antara, dan Wawasan yang ketat menerapkan hukum jurnalistik itu. Selebihnya terbilang inkonsisten atau bahkan buruk.
Namun, harus diakui, beberapa foto berpotensi menjadi karya jurnalistik yang fenomenal. Setidaknya mendekati karya-karya foto kelas dunia yang telah menyejarah. Karya P. Raditya Mahendra Yasa (Kompas) “Cacat Majemuk” mengingatkan saya pada Eugene W Smith yang memotret korban keracunan merkuri parah di Minamata, Jepang. Jika serius mendalami, Mahendra bisa melahirkan foto-foto lebih berkelas—bukan mengeksploitasi, tapi berempati kepada para penyandang cacat majemuk yang terlupakan itu.
Foto Leonardo Agung BP (Suara Merdeka) “Konversi” terlihat khaostik. Pokok soalnya samar—subjeknya tersebar. Akan tetapi, foto ini menggugah ingatan saya pada satu karya klasik Henri Cartier-Bresson. Fotografer Prancis itu mengabadikan seseorang anak dengan mimik bangga, sedikit pongah, mendekap sebotol anggur besar. Di dekatnya beberapa gadis cilik mengaguminya. Subjek foto Leonardo, seseorang anak yang menerima jatah tabung gas tiga kiloan, sangat mungkin didekati dengan cara bidik fotografer yang masyhur dengan gagasan ‘decisive moment’ itu.
Dua contoh di atas saya kemukakan demi mengenalkan konsep apropriasi. Ini suatu pendekatan atau cara pandang baru dan kontekstual tentang pokok soal tertentu yang sudah ada. Model ini membuat jurnalis leluasa membaca ulang sejarah fotografi dunia secara cerdas—tidak semata-mata mengejar tampilan eye-catching. Percayalah, fotografi ‘wow’ bukan satu-satunya ukuran terbaik untuk jurnalisme foto.
Patut diingat, foto-foto jurnalistik dalam tiap masa cenderung mendekati, menyamai, atau mengulang karya-karya sebelumnya. Itu tidak lain karena pokok diskusi jurnalisme foto ialah manusia dan kompleksitasnya—yang niscaya inheren menyandang kemiripan pada tiap zamannya.
***
Jika diamati, rata-rata jurnalis foto kita kurang mendalami sesuatu tematika, subjek, atau sejarah fotografi dunia dengan intens. Akibatnya, isi foto mereka terbatas, ringan, kurang menggugah. Mereka agaknya terjerat pada rutinitas dan remeh-temeh yang tak bersangkut langsung dengan kaidah profesionalisme. Dengan begitu, sulit menemukan apa yang disebut oleh Suzanne K Langer (2006) sebagai ‘makna hayati’, yakni sesuatu yang “berkaitan dengan perasaan, pengertian, emosi, dan kesadaran yang disampaikan oleh karya seni yang baik”.
Makna hayati, secara sederhana, tak lain dunia gagasan atau pesan sesuatu karya (baca: foto) yang hendak dikomunikasikan. Hal ini terkait dengan kompetensi seseorang fotografer. Seturut Andreas Feininger (1975), juru foto yang baik ialah yang punya “kemampuan—berdasar pengetahuan, daya cerap, dan imajinasi—untuk mengetahui apa yang dicari, bagaimana mendapatkannya, menvisualisasikannya sebelum foto dibuat”. Jurnalis foto, tak bisa lain, harus menempa diri terus.
Kita yakin, dalam dunia yang beririsan ini, idealnya para pewarta foto bisa menghadirkan dunia dalam cara pandang baru dan penuh afeksi. Ini suatu tanda keberpihakan terhadap humanisme. Pada ranah inilah jurnalisme membaktikan dirinya.
—Tubagus P. Svarajati, turut mendirikan PFI Semarang
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa 16/12/2008]
Makna hayati, secara sederhana, tak lain dunia gagasan atau pesan sesuatu karya (baca: foto) yang hendak dikomunikasikan. Hal ini terkait dengan kompetensi seseorang fotografer. Seturut Andreas Feininger (1975), juru foto yang baik ialah yang punya “kemampuan—berdasar pengetahuan, daya cerap, dan imajinasi—untuk mengetahui apa yang dicari, bagaimana mendapatkannya, menvisualisasikannya sebelum foto dibuat”. Jurnalis foto, tak bisa lain, harus menempa diri terus.
Kita yakin, dalam dunia yang beririsan ini, idealnya para pewarta foto bisa menghadirkan dunia dalam cara pandang baru dan penuh afeksi. Ini suatu tanda keberpihakan terhadap humanisme. Pada ranah inilah jurnalisme membaktikan dirinya.
—Tubagus P. Svarajati, turut mendirikan PFI Semarang
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa 16/12/2008]
1 comment:
wah..
harus sering2 membaca sejarah fotografi y pak biar memahami "makna hayati"
mohon bimbingannya...
Post a Comment