Sunday, September 27, 2009

Atlas Seni Rupa Kota


Artwork by Ipong Purnama Sidhi
ATLAS SENI RUPA KOTA

ATLAS SENI RUPA KOTA

ATLAS seni suatu kota bukan sekadar formalitas data, angka, atau peristiwa seni, namun ia suatu teks terbuka untuk dimaknai secara kontekstual. Catatan itu berguna sebagai sediaan riset, ancangan kreativitas, atau data historik medan sosial seni (art world) suatu kawasan. Masalahnya, siapa yang mesti bertanggung jawab atas penyusunan senarai seni rupa kota Semarang.

Yang dimaksud dengan atlas seni rupa kota ialah catatan hasil dari pemetaan atas kelembagaan atau praktik seni rupa (visual) di suatu wilayah. Tersebut sebagai lembaga adalah galeri (atau ruang pamer yang sejenis), ruang-kreatif seniman (artists’ initiatives), komunitas senirupawan, museum, perguruan tinggi seni, atau institusi lain yang menyelenggarakan kegiatan kesenirupaan. Sedangkan aktivitasnya meliputi semua kegiatan yang patut dicacah sebagai peristiwa kesenirupaan.

Sebagian besar ruang pamer, meski dikelola sebagai unit dagang profesional, tak urung kerap tutup dan kemudian tumbuh yang baru lagi dengan berbagai alasannya. Apalagi situs-situs pamer independen, seperti ruang-kreatif seniman atau ruang yang memang dikonstruksi secara nirlaba, tentu tak luput dari gejala buka-tutup itu. Hal ini tabiat umum dalam praksis seni atau dinamika dunia kreatif mondial. Kenyataannya, kehidupan kesenian di Indonesia jauh lebih buruk ketimbang di negara-negara maju. Salah satu penyebabnya, atensi negara nyaris nihil mengakselarasi dunia kreatif.

Dokumentasi praksis seni visual di Indonesia, khususnya di Semarang, penting dilakukan tak hanya demi klaim kesejarahan, namun juga demi pergulatan eksistensial (terutama) para pekerja seni. Tegasnya, konstruk historik yang “benar” berdampak positif terhadap dunia kreatif suatu wilayah.

Sekilas gagasan tentang pemetaan ini tampak ambisius. Apakah mungkin mendokumentasikan seluruh kegiatan seni rupa yang berlangsung di Semarang dalam kurun tertentu (spasio-temporal)?

Mencatat Data Primer
Tak ada yang tak mungkin jika memang berniat. Mulailah dengan model dokumentasi sederhana. Langkah paling mudah ialah mencatat semua kegiatan seni visual secara kronologis berdasar urutan waktunya. Praktik pencatatan bisa dilaksanakan secara individual, kelembagaan, atau gabungan keduanya.

Sekurang-kurangnya pencatatan itu terdiri dari keterangan waktu (tanggal dan lama kegiatan), lokasi, tajuk, peserta (nama dan jumlah), jenis, dan dalam konteks apa kegiatan seni itu dilangsungkan. Paling gampang gunakan prinsip jurnalistik 5W+1H. Secara elementer pola ini sudah memadai. Kelak data primer ini bisa dikembangkan sesuai kebutuhan.

Material yang disimpan dan dicatat bisa berupa bahan cetakan (hard copy) atau data digital (soft copy). Dianjurkan agar data audio-visual dalam bentuk digital sehingga mudah disimpan. Data audio-visual, antara lain, berupa foto-video atau rekaman diskusi. Sedangkan material cetakan yang patut disimpan ialah rilis media, undangan, poster, katalog, buku, atau kliping media.

Tiap-tiap dokumentasi mesti diberi keterangan dasar yang jelas. Sebutkan pula nara sumber atau siapa dokumentatornya. Hal-hal tersebut berhubungan dengan nilai-nilai otensitas atau hak cipta intelektual.

Perhatian lebih saksama ditujukan kepada senirupawan setempat. Profil dan aktivitasnya mesti dicatat lebih detail daripada seniman luar daerah. Ini tak lain demi kepentingan studi dan historisitas seni visual Semarang. Kerap orang luar daerah tak paham peta kesenirupaan kota ini lantaran tak tersedianya data yang memadai.

Atlas Bebas Terbuka
Masing-masing individu pekerja seni atau lembaga yang bergelut di kesenirupaan Semarang, secara terpisah atau bersama-sama, mesti melakukan pendataan semampunya. Tak mengapa bila dokumentasi tersebut berbeda versi. Diversitas penulisan baik demi asas pluralitas.

Agar data dokumentasi mudah diakses, sebaiknya dipublikasikan melalui media internet. Tak sulit dan relatif murah merancang laman internet. Bahkan tersedia beragam hosting yang tak berbayar. Atlas seni rupa yang terbuka bebas ini niscaya mudah diakses oleh komunitas luar daerah, atau luar negeri, sehingga membuka peluang jejaring lebih luas.

Sayangnya atensi pada praktik dokumentasi tersebut jelas-jelas tidak tercermin dari, ambil contoh, situs resmi Dewan Kesenian Semarang (Dekase). Lembaga ini tidak maksimal memuat data seniman, lembaga seni berikut aktivitasnya di Semarang. Situs ini pun tidak menyediakan tautan (link) ke laman atau situs di luarnya. Sepertinya Dekase menafikan dinamika peristiwa seni yang berlangsung di luar agendanya sendiri. Ada apa?

Bagaimana pula dengan Dewan Kesenian Jawa Tengah? Tak ada situsnya. Profilnya yang lawas, dengan nama-nama Prof Eko Budihardjo dan Djawahir Muhamad, masih tertera di suatu situs yayasan yang bergerak di ranah seni-budaya. Karena informasi nihil, maka publik hanya bisa menduga-duga apa yang dikerjakan oleh lembaga ini. Ironi di era globalisasi.

Kondisi sengkarut ini harus diperbaiki. Seyogianya pertama-tama yang bertanggung jawab atas dokumentasi adalah pemerintah (melalui Depbudbar) dan lembaga-lembaga “resmi” yang didanai oleh negara. Urutan selanjutnya adalah perguruan tinggi seni yang, idealnya, memiliki pusat kajian kesenian lengkap (Jurusan Seni Rupa Unnes Semarang?). Yang terakhir, yang perlu melakukan pencatatan barulah para pekerja seni (seniman, networker, galeris, kritikus dan kurator), lembaga seni independen, atau ruang-kreatif seniman.

Dugaan saya, justru mereka yang di luar kelembagaan “plat merah” atau institusi pendidikan tinggi itulah yang aktif melakukan praktik dokumentasi. Kelompok ini paham bahwa kelengkapan dokumentasi adalah hal mendasar (baca: bahan riset) bagi kelangsungan aktivitas dan kreativitas seniman. Naif bila seniman berkarya cuma mengandalkan intuisi atau wangsit.

Penting mencatat lembaga seni dan seluruh agendanya, yang kontinu maupun kondisional, menjadi suatu atlas seni rupa kota yang representatif. Syukur-syukur semua itu dibukukan secara periodik (Ini proyek bagus toh?). Dengan berbagai cara, dinamika seni rupa kota wajib diartikulasikan. (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Kamis, 24/09/2009.]

1 comment:

infogue said...

Hai, salam kenal, artikel anda ada di

sini

ayo gabung bersama kami dan promosikan artikel anda ke semua pembaca. Terimakasih ^_^