Tuesday, November 10, 2009

Tentang Shu Fa dan Generasi yang Menjauh


Karya Teguh Santoso

Dalam literatur seni dan budaya China, kaligrafi adalah “seni tinggi” yang dipercayai ada sejak empat ribu tahun silam. Tiga seni utama lainnya ialah lukisan (hua), musik berdawai (qin) dan sejenis permainan catur kuno (qi). Seni “tulis-menulis” atau shu fa sudah dikenal luas sebagai ekspresi seni pada masa raja Qin Shi Huang, Putra Langit yang menyatukan daratan China pada 221 SM.

Kaligrafi berkembang pesat sebagai seni utama pada dinasti Han (206-200 M). Pamornya sebagai seni tinggi sampai pada dinasti Jin, Tang, dan sedikit menurun pada dinasti Ming. Kenyataannya, sampai sekarang kaligrafi tetap sebagai bagian dari budaya visual China yang penting.

Kaligrafi gaya China, dengan berbagai variannya, berkembang sampai ke Jepang, Korea, dan Vietnam. Hingga kini shu fa diajarkan dan dipraktikkan secara luas di Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Pada abad 20 kaligrafi berkembang pesat dan tidak lagi dianggap sebagai seni elitis, tapi dipraktikkan oleh banyak kalangan sebagai ekspresi seni modern. Bagi sebagian seniman, kaligrafi bukan tradisi yang mengungkung, tapi malah menantang kreasi.

Sebenarnya apa yang dituliskan atau diungkapkan oleh para kaligrafer? Secara umum adalah keindahan filsafati daoisme (baca: taoisme), konfusianisme, dan buddhisme yang mendasari praktik penulisan kaligrafi. Dengan kata lain, penghargaan terhadap pikiran-pikiran cerlang, kebijaksanaan, dan pemujaan pada keindahan alam mayapada. Tak jarang syair atau mutiara kata para arif bijaksana diungkapkan pula. Puisi atau ujaran Mao Tse Dong, salah satu despot besar abad 20, acap pula dikutip dan dituliskan. Praktik ini menunjukkan bahwa seni kaligrafi, antara lain, didasari oleh nilai-nilai budaya bangsa China yang hierarkis-paternalistik (Ingat paham konfusianisme yang menjunjung adat tetua?).

Pertanyaannya, apa relevansi dan sumbangan praktik seni kaligrafi dalam konteks kebudayaan modern? Pada hemat saya, seperti halnya nilai-nilai kebudayaan apa pun, kebijaksanaan atau kebajikan filsafati yang memancar dari tradisi shu fa niscaya berarti pula bagi tatanan dunia dan tuntunan kehidupan manusia.

Lantas, bagaimana publik yang tak paham huruf kanji bisa memahami tampilan seni kaligrafi? Gampang saja. Abaikan apa itu yang dinamai “kepala cacing sutera” atau “ekor angsa liar", misalnya. Nikmati saja tampilan ekspresinya sebagai seni modern, seni abstrak. Jangan tanya maknanya.

Seni Waktu Senggang
Di Semarang ada perkumpulan bagi orang yang hendak belajar atau mengembangkan kegemaran pada seni kaligrafi China tersebut. Lembaga itu bernama Perhimpunan Kaligrafi dan Seni Lukis Semarang (selanjutnya disebut Perhimpunan). Kegiatannya berlangsung hanya tiap hari Minggu di Gedung Pertemuan Marga Po, Jalan Gang Besen 80—82, Pecinan Semarang.

Memasuki ruangan itu, tampak beberapa orang berkerumun di satu meja panjang. Di atasnya berserak lembaran-lembaran kertas, tinta tulis hitam (Mandarin: bak), beberapa batang kuas (maopit), dan satu-dua contoh huruf kanji. Orang-orang itu, rata-rata setengah umur, khusyuk menggerak-gerakkan kuas, menuliskan beberapa huruf kanji. Agaknya mereka sedang berlatih menorehkan gegarisan membentuk huruf kanji berirama. Ya, mereka tengah mempraktikkan seni shu fa.

Memandang usia dan latar mereka, kita mafhum, seni shu fa terkesan hanya diminati oleh sebagian kecil kalangan Tionghoa Semarang. Tak bisa dipungkiri, belajar bahasa Mandarin dan menulis huruf kanji terbilang sulit, apalagi menuangkannya dalam kaidah shu fa. Karena itu kalangan muda usia enggan mendalami seni tersebut. Kenyataan ini dikeluhkan oleh sebagian penggemarnya, seakan-akan generasi muda Tionghoa menjauh, bahkan menepis "kebudayaannya sendiri". Walhasil, para penggiat dan penggemar shu fa, terutama di Semarang, hanya mereka yang telah berumur, mapan secara ekonomis, dan relatif punya waktu luang cukup.

Jika dikembangkan lebih serius, tentu saja dengan segenap upaya alih informasi yang komunikatif, shu fa bisa menjangkau publik lebih luas. Barangkali langgam seni tersebut bisa menjadi media pemahaman multikulturalisme yang tepat. Harapan tinggallah harapan belaka jika para penggiatnya abai pada karya-karya mereka sendiri, memperlakukannya semena-mena, dan shu fa sekadar dianggap sebagai ekspresi seni waktu senggang.

Narsisisme atau Glorifikasi
Pada kuartal pertama tahun ini Perhimpunan mengadakan “Pameran Kaligrafi dan Lukisan China 4 Negara” di Semarang. Eksposisi ini, antara lain, diniatkan sebagai ajang pengenalan apa itu seni kaligrafi, lukisan China dan eksistensi Perhimpunan kepada masyarakat umum. Karya-karya berasal dari Indonesia (Semarang, Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan), China, Singapura, dan Taiwan.

Sayangnya, tak ada informasi secuil pun, dalam bahasa Indonesia, yang menerangkan karya-karya terpajang. Hal itu mengurangi bahkan mengaburkan tujuan pameran. Jangan-jangan kegiatan itu bukan diniatkan sebagai ajang pertukaran budaya, melainkan cuma sebagai cermin narsistik atau glorifikasi kalangan terbatas.

Tentu saja eksposisi bukan perkara cincai. Dan shu fa sejatinya seni visual kontemplatif yang mengagungkan harmoni mikro-makro kosmos.

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Rabu 22/10/2009.]

3 comments:

blokir said...

Pak Tubagus,
apakah bapak mengetahui / punya kerabat seniman kaligrafi cina yang berdomisili di jakarta? saya butuh seniman kaligrafi cina sebagai narasumber..
mohon infonya ya, pak.
terima kasih (:

sarah

blokir said...

Pak Tubagus,
apakah bapak mengetahui / punya kerabat seniman kaligrafi cina yang berdomisili di jakarta? saya butuh seniman kaligrafi cina sebagai narasumber..
mohon infonya ya, pak.
terima kasih (:

sarah

Tubagus P. Svarajati said...

Sarah, saya tidak tahu dan tidak ada yang saya kenal para kaligrafer Jakarta. Maaf ya.

tbgus