Sunday, January 10, 2010

Biennale Jogja X-2009: Kurator In Absentia


BUTET KARTAREDJASA dengan berapi-api berpidato di atas podium di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Yogyakarta, Jumat (11/12). Aktor monolog itu sedang berperan sebagai Direktur Biennale Jogja X-2009. “Seni telah kembali ke masyarakatnya!” teriaknya. Diserukan pula nama Samuel Indratma sebagai sosok yang berjasa untuk itu.

Usai Butet, giliran Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik memberikan sambutan sekaligus membuka Biennale. Tak ada sambutan dari kurator Wahyudin atau Dyan Anggraini—Kepala TBY—sebagai tuan rumah. Nama mereka pun tidak disebut. Seakan-akan peran keduanya “dipangkas”.

Esoknya isu bergulir cepat. Pesan singkat berseliweran. Untuk agenda seni rupa sekelas bienial, mengapa kurator tidak “diizinkan” menyampaikan latar kuratorialnya. Merasa keliru, petang berikutnya Butet secara resmi meminta maaf. Dia sebut nama Wahyudin dan anggota tim kurator lain—Eko Prawoto, Hermanu dan Samuel Indratma. Lagi-lagi nama Dyan Anggraini raib.

Atas pertanyaan saya, Selasa (15/12), Kepala TBY menegaskan bahwa TBY adalah penyelenggara sekaligus penanggung jawab Biennale Jogja X-2009. Dia enggan bicara terbuka mengapa sebagai tuan rumah tidak memberikan sambutan. Dalih panitia pelaksana, katanya, orang tak suka mendengarkan banyak pidato sehingga cukuplah Direktur Biennale saja yang berorasi. Sesederhana itukah?

Sebelumnya, dari media massa sudah terbaca situasi tak lazim itu. Informasi media terbelah dua: satu pihak melansir keriuhan aktivitas “seni untuk publik” dan yang lain menyebut perhelatan di dalam ruang seturut kerangka kuratorial. Berita pertama terkesan selalu dari Panitia, sedangkan informasi yang kedua dari beberapa tulisan Wahyudin. Buletin yang dikeluarkan Panitia (Kamis Pahing, 5 November 2009) nyaris tidak menginformasikan tematika Biennale. Hanya ada satu paragraf pendek—artikel “Jogja Siap Nge-Jam”—yang mendedahkan hal itu.

Kesimpulan saya, atas amatan berita media, adalah: muncul dualisme dan segregasi agenda kegiatan antara karya-karya seni yang tampil di ruang publik dengan yang di ruang dalam. Tematiknya pun terpisah: kepublikan dan kearsipan.

Tajuk Biennale (berlangsung sampai 10 Januari 2010) ialah “Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa”. Tematik ini digagas oleh Wahyudin. Proposalnya disetujui oleh Tim Seleksi yang dibentuk oleh TBY sehingga dia—de jure dan de facto—adalah kurator utama Biennale. “Wahyudin dipilih secara resmi dan telah melalui proses panjang,” kata Kepala TBY.

Entah bagaimana proses dan logikanya, dalam kepanitiaan lantas muncul posisi Dewan Kurator (Dr Agus Burhan, Dr Sindhunata, dan Ong Harry Wahyu), Tim Kurator, dan beberapa Associate Curators. Barangkali dari sini muasal masalahnya: tumpang-tindih antara hierarki, tugas dan kewenangan para penyandang predikat “kurator” itu.

Konon Wahyudin gerah. Dia merasa didiskreditkan dan perannya sebagai kurator (secara sistematis?) dieliminasi. Juga gencar beredar layanan pesan ringkas yang, menurut ahli hukum, bisa diartikan sebagai pembunuhan karakter terhadapnya. Bahkan dalam suatu rapat evaluasi dia nyaris dipukul. Semua hal ini tentu perlu diklarifikasi kebenarannya.

Sinyalemen di atas—“ditidurkannya” kurator—terkuak dalam suatu diskusi di TBY, Minggu (13/12). Di situ tercetus pernyataan bahwa Biennale Jogja X-2009 adalah “bienial organik”, yakni “bienial-nya seniman”, bukan “bienial-nya kurator” seperti yang sudah-sudah. Asersi terakhir (“bienial-nya kurator”) menyiratkan bahwa pada bienial-bienial sebelumnya peran dan kontribusi artistika atau gagasan para seniman terkooptasi oleh kurator. Benarkah?

Sulit membayangkan bienial seni rupa, dalam tradisi dan sejarah seni mondial, tanpa kehadiran kurator. Perannya penting, selain sebagai pengarah artistik (artistic director), dia representasi sekaligus mempresentasikan diskursus dan politik seni suatu bienial.

Jika benar terjadi pelenyapan peran kurator utama, dan sengaja menonjolkan figur lain (atas dasar like—dislike?), maka hal ini adalah gejala pelecehan atas semua seniman yang diundang. Para seniman itu niscaya antusias bekerja berdasar kerangka kuratorial (baca: gagasan kurator) dan tergerak oleh asumsi fundamental bahwa bienial adalah kulminasi artistik dunia seninya sepanjang dua tahun terakhir. Dengan mengeksklusi sosok dan peran kurator, tentu sirna pula sebagian struktur intelektualitas yang hendak ditegakkan. Lantas, apakah cukup suatu bienial sekadar dijadikan ajang hura-hura (barbarisme seni?) tanpa dasar dengan dalih “jamming” seniman dan masyarakat umum?

Pada hemat saya, justru wujud kekuatan sebenarnya—gagasan maupun artistika kekaryaan—Biennale Jogja X-2009 ada di dalam empat ruang pamer, yaitu di TBY, Gedung Bank Indonesia (BI), Jogja National Museum (JNM), dan Sangkring Art Space. Sedangkan karya-karya yang ditampilkan di dalam kota terkesan acak, melesap dalam labirin kode dan tanda urban lain. Semua artifak itu seperti berpindah ruang saja—dari dalam gedung ke jalanan. Tak terasa ada interaksi karya dengan publik, tak terlalu jelas pula siapa saja yang terlibat. Karenanya, mesti dijelaskan, apakah seluruh karya dan situsnya bersesuai dengan kerangka kuratorial.

Panitia bersikeras, seniman dan karyanya sukses menyatu dengan masyarakat. Kompas (Jumat, 11/12) menulis sebaliknya. Meski senang ada keramaian, sosok seperti Emen (35) atau Ngatiman (48) tidak paham apa makna suguhan seni yang ada di ruang-ruang publik itu. Sebesar 59,7% responden yang ditanyai tidak tahu mengenai bienial (Sabtu, 12/12).

Secara umum, banyak terpajang karya yang menarik. Harus diberikan apresiasi khusus atas materi dan pajangan arsip seni di Gedung BI. Sejarah seni rupa Yogyakarta, khususnya bienial I—IX, tampil artistik, elegan dan intelek. Ini kerja menawan dua perempuan seniman-kurator rupawan, Farah Wardani dan Grace Samboh. Di JNM kurator sukses menyuguhkan penggal-penggal sejarah seni rupa Yogyakarta, untuk menyebut sebagian saja, sejak Sanggar Bambu, Bumi Tarung, Taring Padi hingga era seniman Terra Bajraghosa.

Kerja keras Wahyudin patut dipuji, kendati tak luput dari cacat. Olehnya tematika utama “kearsipan”—sejarah bienial dan praktik kreatif seni rupa Yogyakarta—diurai menjadi lima subtema: Humanisme Kerakyatan, Humanisme Universal, Perlawanan terhadap Kemapanan Estetika, Pergolakan antara Budaya Lokal dan Global, dan Seni Rupa Urban. Namun, menurut saya, dia lalai memasukkan fenomena (praksis kuratorial) dan peranan kurator yang marak satu dekade belakangan di Yogyakarta. Menarik dan terasa lebih cerdas jika subtema ini turut dipamerkan.

Jelas, bienial bukan kenduri. Yang kedua bersifat acak dan populis, sedangkan yang pertama mesti terstruktur sehingga memantik apresiasi dunia internasional. Wahyudin—sebagai kurator Biennale Jogja X-2009—harus menunjukkan integritas dan tanggung jawab kuratorialnya dalam katalog yang akan diterbitkan. Kita tunggu dan kritisi.

TUBAGUS P SVARAJATI
Direktur Rumah Seni Yaitu Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Rabu (16/12/2009), dan diperbaiki seperlunya untuk dipublikasikan di sini.]

No comments: