Thursday, January 7, 2010

NASIHAT UNTUK CALON SENIMAN

(Photo: Tubagus P. Svarajati)

Pasar, dengan kata lain, bisa mengukuhkan kemandirian kesenian, tetapi bisa juga menjadikannya kehilangan diri.
—Goenawan Mohamad

Pada tarikh 1990, Sanento Yuliman (alm), kritikus seni, terang-terangan menegaskan, boom seni lukis menunjukkan gejala “pemiskinan” dan “pendusunan” seni. Pasar bergerak tanpa etiket: tuna pola, tuna acuan. Selanjutnya pasar pun terkondisi pada tuna wacana.

Sanento tampak masygul. Dia seperti bertanya-tanya sendiri: “Apakah lukisan—komoditi ekspresi atau komoditi simbol—dapat diperdagangkan tanpa kefasihan dan tanpa tradisi informasi, tafsir, dan penilaian?” Dan saya yakin, malangnya, hingga kini keniscayaan tradisi itu belum terbangun benar.

Kekhawatiran Sanento terbukti lagi. Halai-balai seni kembali menerjang. Boom seni rupa terulang di tahun 2007—2008. Sepanjang waktu itu medan seni Tanah Air bergejolak, pembutuh merangsek liar, dan sederet panjang pelukis tergopoh-gopoh meladeni animo pasar. Muncullah gejala cinaisasi (istilah seniman Agung Kurniawan) seni lukis. Raut seni lukis cinaisme: lukisan berpokok-soal gampangan dengan latar datar. “Ini kerja pertukangan, Bung!” sergah seorang kritikus.

Sekarang keramaian pasar meruap. Para pembutuh, tengkulak, dan kurator (Ingat, sebagian kurator merangkap fungsi makelar.) mulai menjauhi seniman abal-abal yang tak jelas apa dasar keseniannya. Di sini sinyalemen Goenawan Mohamad terbukti: Pasar bisa juga menjadikan kesenian (dan seniman) kehilangan diri.

Saya telah ingatkan setahun silam: Seniman yang cuma menghamba pada pasar gampang tumbang atau ditumbangkan oleh kepentingan pemodal. Sebagai contoh saja, konon gejala depresi mulai meliliti sebagian pelukis Semarang. Karier dan reputasi mereka tak kunjung jelas, fulus pun tak mampir deras.

Gugatlah diri sendiri: Untuk apakah berkesenian? Kesenimanan mesti dibuktikan di ranah gagasan dan kreasi. “Jauhkan diri dari praktik seni instan, anak muda.” saya bilang. Ini postulat utama.
***
Dalam konteks berkesenian—terkhusus seni visual—saya tak girang mencermati habitus Semarang dan Jawa Tengah umumnya. Kawasan ini belum memunculkan seniman dengan gagasan, produksi artistik atau wacana yang gaungnya mampu memikat “pusat” kesenian.

Hingga dua tahun silam, Indonesia Visual Art Archive (IVAA, dahulu Yayasan Seni Cemeti), lembaga dokumentasi seni rupa terlengkap di Indonesia, hanya sedikit mencatat kegiatan seni rupa Jawa Tengah. Ada dua sebab, atau akses IVAA terbatas, atau medan seni Jawa Tengah abai pada fungsi dokumentasi sehingga tak berhubungan dengan lembaga yang berkedudukan di Yogyakarta itu.

Patut dicatat sewajarnya sembari dicermati (ulang), adakah haru-biru pameran seni rupa yang pernah dilangsungkan—termasuk di negara manca, jika ada—sejatinya terkait capaian estetik sekalian senimannya. Atau sekadar ekskursi? Atau hanya tayangan imajiner?

Kita mafhum, di masa tatkala akal sehat ditelikung oleh kuasa modal, para calon seniman (besar) serentak bertekuk lutut sembari bersoja seluruh takzim kepada barisan spekulan tengik. Pesanku, wahai anak-anak muda, jangan lekas tersilau oleh iming-iming uang kepeng atau kemasyhuran selintas. Tepiskan pundi-pundi rentenir. Salah langkah, bukan amunisi yang didapat melainkan cabikan malu terpercik di muka.

Kalian harus berpegang teguh bahwa pengetahuan adalah sumber kebijaksanaan, rabuk bagi kecerdasan manusia, selain kuasa wacana atas praktik berkesenian kalian. Karena itu, gemari dan gauli buku-buku kehidupan. Dengan begitu, saya berharap, kalian tak bersikap ahistoris atau anakronis atas sejarah kreatif lingkunganmu. Jangan sampai asa menghapus sejarah selaik bumerang memenggal peran sendiri. Ekstrapolasi tak mesti diberangkatkan dari titik nol kilometer. Jangan, jangan bertindak gegabah. Belajarlah dari hikmat sejarah.

Anak muda, ingatlah, manusia tak hidup dalam ruang-waktu hampa. Persaingan atau pertengkaran kreatif adalah bianglala dalam kesenian. Karena kita percaya, pelangi kesenian adalah testamen kebudayaan, maka anak-pinakkan ide-ide jenial nan kreatif. Hidupi ia dengan penuh seluruh dalam proses kesenian kalian.

Sementara itu, di tengah-tengah minimnya atensi atau peran negara, sekalian seniman muda sebaiknya bersinergi. Petakan secara cermat seluruh peluang, potensi dan tantangan kreatif habitus tempat engkau tumbuh membesar. Ambil langkah strategis, giatkan aktivisme. Tumbuhkan eksperimentasi, galilah kedalaman dialektik.

Infrastruktur yang kurang lengkap bukanlah tragedi akhir zaman. Jika lembaga kesenian resmi, yang menyusu dari induk pemerintah, culas atau jemawa dalam kubangannya sendiri, maka hilangkan ia dari kamus kreativitas atau jejaring kalian. Sekali pun ia harus ada dalam idealitas, abaikan jika ia cuma hidup untuk dirinya sendiri. Sebagai gantinya, ciptakan bangunan infrastruktur baru. Perkuatkan dengan jejaring horisontal, hidupi dengan sokongan lembaga penyandang dana independen.

Rawatlah kamar atau ruang kesenian, sekecil apa pun, dengan suka cita tanpa pretensi menangguk untung bagi diri sendiri. Tempat pertemuan ini ibarat oase, mata air, atau mahligai bagi impian-impian kemanusiaan yang melangit. Di situlah, di salah satu dindingnya, kelak namamu terukir dalam-dalam.

Dalam ranah personal, apa boleh buat, kepiawaian teknis adalah keniscayaan aksiomatis. Penguasaan teknis prima—apa pun bentuk kesenian yang digeluti—adalah langkah awal dan terutama untuk mewujudkan ide menjadi kekaryaan superlatif. Koordinasikan isi kepala, tubuh motorik sampai pada tingkat craftmanship unggulan, namun hindarkan diri dari kerja pertukangan belaka. Memang dalam kondisi tertentu, bab teknis seakan-akan terabaikan. Ini perkara lain, menyoal pada strategi atau kondisi keempuan tertentu.

Stop, atau hapuskan tabiat buruk rupa. Kalian seniman muda, janganlah suntuk berbabil, berajujah, dan lantas bersurai pula. Bila memilih jalan seni, jadilah seniman berpamor: selain cakap berseninya, pun terasah bernalarnya. Tentu tak sekejap semuanya tergapai. “Kerja keras, Bung!” seruku.
***
Menurut pendapat saya, orbit seni rupa Semarang—bisa juga diluaskan ke wilayah Jawa Tengah—di tahun 2010 tak beringsut jauh dari tahun sebelumnya. Obyektifnya, jumlah seniman dan karyanya mustahil melonjak drastis, infrastruktur tak sekejap terbentuk, lembaga pendidikan seni minim kontribusinya, dan pasar seni belum pulih benar. Juga, tutupnya Rumah Seni Yaitu, sedikit atau banyak, bakal mengubah konstelasi dan wacana seni rupa kontemporer Semarang.

Seniman, gagasan, dan kreasinya punya andil besar pada kehidupan seni kota. Para pelukis tua tetap di orbitnya: menjalani rutinitas hidup dan kekaryaan. Sedangkan seniman muda—perorangan maupun kelompok—senantiasa menelorkan wacana dan kreasi-kreasi baru. Hanya saja militansinya perlu dipompa lagi.

Khusus di Semarang, beberapa seniman muda yang punya pengetahuan dan jejaring luas menjadi tumpuan dan impetus praksis seni rupa kontemporer kota. Mereka bekerja dan berkarya berbasis riset dan dokumentasi. Meskipun tak mendasar, praktik seni demikian terbilang baru untuk medan seni Semarang.

Semoga seni rupa nadir, seni di titik kaki, tidak digemakan (lagi) sebagai gong tutup tahun 2010. Janji atawa jargon tak perlu digelembungkan (lagi). Bukti kreasi dirindu-dinanti.

TUBAGUS P SVARAJATI
Penulis seni rupa, bermukim di Semarang

[CATATAN: Esai diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 3/01/2010.]

1 comment:

Moses Foresto said...

Ah, lagi-lagi tulisan yang menggugah. Saya tidak kenal penulisnya, tapi kok cerdas sekali menyuarakan isi hati saya.
Nasihat ini telah mengobati kegamangan saya, pak. Ada satu dua seniman yang pernah mengeluhkan keadaan semacam ini, dan kami memang ciut dibuatnya.
Nasihat ini macam pukulan keras martil pada lonceng, bersuara jujur tanpa basa-basi, hanya bunyi "teeng..." memekakkan tapi benar adanya. Saya akan saya camkan nasihat ini. Saya mohon ijin mengutipnya ke dalam blog saya pak ya? Tentu saja saya akan mengikuti etika pengutipan. Oh, ya, nama saya Moses, dan blog saya http://lukisanmoses.wordpress.com.