Thursday, July 22, 2010

ESTETIKA MULTI DIMENSI


Resensi Buku

Judul: Persoalan-persoalan Dasar Estetika
Penulis: Marcia Muelder Eaton
Penerbit: Salemba Humanika
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xviii+190 halaman

Dalam sejarah seni, diskursus tentang hal artistik atau estetika menunjukkan gagasan beragam. Pelbagai mazhab pemikiran itu saling melengkapi, namun tak jarang bahkan ada yang bertolak belakang. Justru di sinilah hikmatnya: seni atau hal indah menemukan maknanya yang majemuk sekaligus kaya nuansa.

Lazimnya, diskusi tentang estetika bersifat filosofis. Ada perbedaan mencolok antara praktik produksi artistik dan karya (atau objek) artistik dengan bagaimana pemahaman atasnya dilangsungkan. Gagasan mengenai apa itu seni pun berkembang, tidak ajeg, dan terkait dengan fenomena budaya suatu masa. Pemahaman kian kompleks bila menyoal seniman dan karyanya yang tidak sezaman dengan penikmat. Kompleksitas itu setidak-tidaknya disebabkan perbedaan tanda-tanda atau kode-kode kulturalnya, artinya perihal kontekstualitas.

Hadirnya buku terjemahan ini turut membantu pemahaman publik atas perkembangan diskursus tentang estetika dan karya seni. Paparan buku ini menarik dan jelas. Telisiknya pun cukup mendalam.

Bangunan buku ini terdiri dari tujuh bab. Satu, mendefinisikan permasalahan keindahan, seni, dan teori-teori estetika. Dua, kajian estetis yang berpusat pada sudut pandang seniman. Tiga, telaah estetis menurut persepsi penikmat karya. Empat, relasi atau problematik seni dan bahasa. Lima, tentang objek estetis dan objek artistik dalam konteksnya. Enam, kedudukan interpretasi atau kritisisme dalam diskursus seni. Dan tujuh, diskusi tentang nilai-nilai estetis.

Dinamika Pemahaman Estetik
Pada mulanya adalah seniman dan karyanya. Mendiskusikan hal seniman, tentu saja, terkait dengan intensinya sebagai kreator (artist’s intention) dan kreativitasnya. Kendati begitu, intensi atau maksud penciptaan tak mudah ditelusuri. Begitu pula soal kreativitas yang melahirkan karya seni.

Kehendak, maksud, atau intensi inilah yang mendasari kreativitas. Dorongan kreatif itu melahirkan karya atau artefak seni. Akan tetapi, maksud seniman kerap diagungkan (terutama pada masa Modernisme tatkala narasi monolitik bertengger kuat) sehingga apa yang berseberangan dengannya dianggap suatu kesalahan. Kondisi ini, termasuk kekeliruan menafsir artefak seni, disebut sebagai intentional fallacy.

Debat tentang intensi melahirkan dua kubu, yakni kaum intensionalis dan antiintensionalis. Yang pertama meyakini bahwa penciptaan artefak seni—termasuk resepsi atau pemahaman terhadap suatu kegiatan seni—dilandasi kesadaran penuh seniman atau penikmat. Sebaliknya, kalangan antiintensionalis berpendapat bahwa intensi tidak menyediakan kondisi keharusan (necessary condition) maupun kondisi mencukupi (sufficient condition) untuk membedakan sesuatu itu seni atau bukan seni.

Pada sisi lain, ada teoretisi—terutama Benedetto Croce—yang menganggap bahwa gagasan berperan penting dalam praktik kreasi seni. Singkatnya, ekspresi itu dipahami lebih sebagai fenomena mental ketimbang kegiatan jasmaniah belaka. Sedangkan bagi John Dewey, artefak seni mesti dikerjakan dengan terampil, di samping perlunya menimbang kontribusi perasaan dan konsepsi seniman. Pandangan ini dikenal sebagai teori pengalaman.

Lantas, di manakah posisi penikmat seni ditautkan dengan seniman dan karyanya? Kerap para penikmat seni dipandang sebelah mata. Faktanya, dalam konsep tritunggal seni (seniman, artefak seni, dan penikmat), penikmat pun memberikan kontribusi dalam diskursus atau resepsi estetik. Yang terpenting, sesuai dengan perkembangan teori estetika mutakhir, penikmat seni tak hadir dengan seluruh kepolosannya (innocent eyes), melainkan membawa skemata terkait dengan tradisi, sejarah, atau lingkungan budayanya.

Filsafat estetika—sesuai dengan perkembangan filsafat di abad 20—dipengaruhi pula oleh filsafat bahasa (linguistic turn), yakni filsafat yang diungkapkan dalam bahasa. Permasalahan filosofis dikaitkan dengan permasalahan bahasa, terutama bahasa sebagai sistem simbol. Ini berarti, karya seni dianggap sebagai suatu tekstualitas. Dan semiotika menjadi alat bantu yang berharga dalam praktik resepsi estetik.

Karya seni sebagai suatu teks, seturut EH Gombrich, adalah representasi simbolik, namun bukan dalam artian kemiripan melainkan substitusi. Gombrich dan beberapa teoretisi lain, pada dasarnya tidak sekadar mempertanyakan bagaimana suatu bentuk dalam seni visual dapat mengartikan sesuatu. Sebaliknya, titik beratnya pada bagaimana suatu bentuk dapat diartikan sebagai sesuatu.

Nah, formalisme senantiasa mengkaji anasir-anasir formal pada suatu karya seni, misalnya bentuk, garis, tekstur, bidang, komposisi pada seni visual atau nada dan irama dalam musik. Formalisme menyoroti aspek kebentukan dan isi (form-content) suatu karya seni. Pada perkembangannya ternyata hal form-content itu tak memadai. Kajian seni visual kontemporer, misalnya, kian menitikberatkan pada diskursus form-context. Kontekstualitas suatu karya seni, tepatnya sebagai bagian dari kajian sosiologis, turut dipertimbangkan sebagai hal penting. Pertanyaannya, apakah karya seni niscaya diresepsi demi seni itu sendiri (art for the art’s sake) ataukah dia diapresiasi sebagai bagian dari masyarakatnya.

Para teoretisi dan kritikus seni marxisme getol mendalami aspek kontekstualitas tersebut. Mereka mencari pola dan relasi antara karya seni dan kreasi sosial lain dan menilainya dalam kerangka peran historis dan kontribusinya dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Aforisma Beuys—Setiap orang adalah seniman—termasuk dalam ranah ini. Meski begitu, kontekstualitas seni tak selalu harus dikaitkan dengan marxisme.

Eaton pun menyigi hal kritisisme dan peran kritik(us). Baginya, mengutip Tormey, kritik yang baik dapat memformulasikan penilaian sedemikian rupa demi kepentingan penikmat seni. Buku ini berharga—terutama bagi para mahasiswa seni dan peminat kesenian umumnya—sebagai awal pengenalan pada keragaman diskurus filsafat estetika. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Timbangan buku ini dikirimkan ke harian Suara Merdeka, Jumat: 04/06/2010.]

No comments: