Sunday, July 18, 2010

TUBUH INFERIOR

Artworks by Rosid
[Photo: Courtesy of Semarang Contemporary Art Gallery]


Riwayat pak Dapin, petani, didedahkan di kanvas oleh Rosid. Itu cara seorang anak menghormati sang ayah. Rosid pelukis kelahiran Parigi, Ciamis-Jawa Barat.

Afeksi Rosid kepada ayahnya diekspresikan dengan cara menggambarkan, secara total, hampir seluruh bagian tubuh sang ayah. Dia melukiskan wajah, tengkuk, dada-perut, punggung, lengan, telapak tangan, kaki, dengkul, dan semuanya diguratkan rinci.

Guratan-guratan gambar rinci itu berasal dari susunan gegarisan ritmis (mirip arsiran pensil, bukan meniru torehan Van Gogh), tatanan bayang-bebayangan (shading), dalam warna monokromatik hitam-putih. Tentu di antaranya terlihat median abu-abu. Latar, umumnya, adalah bidang luas-datar berwarna abu-abu tanpa kedalaman.

Melalui garis-gegarisan, Rosid menghadirkan sosok ayahnya nyaris sempurna. Tanda-tanda keuzuran—kulit keriput, gelambir lemak tubuh-renta, tulang punggung membungkuk—digambarkan dengan tingkat mimikri absolut.

“Menjadi Sawah” adalah pameran tunggal Rosid kedelapan. Pameran 16 karya lukisan berbagai ukuran ini berlangsung di Galeri Semarang, Jalan Dr Cipto No. 10 Semarang, mulai 22 Desember hingga 5 Januari 2008. Sebelumnya dipresentasikan di Galeri Soemardja ITB, Bandung (22/11 sampai 15/12). Heru Hikayat, kurator yang berdiam di Bandung, mengawal pameran ini.

Sejarah Personal
Pameran ini menunjukkan gelagat kelaziman cara melukis, yakni menggambarkan kembali citraan dari obyek (dalam hal ini sosok pak Dapin) yang dipungut melalui teknologi fotografi.

Merepresentasikan (kembali) suatu citraan ke atas kanvas, dalam beberapa segi, memunculkan sensasi dan penghayatan rasionalistik atas peristiwa atau obyek yang digambarkan itu. Pak Dapin, pertama-tama, adalah obyek bagi pelukis. Seniman mengambil jarak dengan obyeknya ketika ia sedang berkarya. Setelah selesai, karya lukis itu, yakni sosok pak Dapin, menjelma jadi subyek di hadapan seniman dan pemandang.

Dalam kiasan lain, Agung Hujatnikajennong (risalah di katalog pameran Tubuh Ayah, Tubuh Petani, Narasi pada Lukisan-lukisan Rosid) menyebutkan, betapa pun ‘anonim’ untuk sebagian orang, ia (pak Dapin, penulis) seperti dihadirkan ‘sebagai pusat’. Dan ‘pusat’, pada hemat saya, adalah ketokohan, tidak lain sejarah itu sendiri.

Dengan menokohkan subyek-ayahnya di atas kanvas, Rosid seperti tengah menarasikan sejarah personal keluarganya ke permukaan. Ini riwayat petani kebanyakan: tekun bekerja, menghormati ibu-tanah, dan sepenuh cinta menghidupi keluarganya. Kerut-merut dan gosong tubuhnya adalah gambaran usia, cucuran keringat, dan semangat yang membaja.

Sejarawan, seturut Kuntowijoyo, ibarat orang naik kereta api dengan melihat ke belakang. Ia dapat menoleh ke kanan dan ke kiri. Yang tidak bisa dikerjakannya ialah melihat ke depan. Sebaliknya Rosid, sebagai ‘sejarawan’ ia tak cuma menoleh ke kanan-kiri dan menengok ke belakang, namun sekaligus ia melihat ke depan dan memproyeksikan historisitas keluarganya. Sosok sang ayah di atas kanvas, barangkali, ialah cermin diri sang anak pula.

Sejarah Tubuh Inferior
Pada galibnya, dalam persepsi saya, Rosid sedang mendiskusikan ide tubuh inferior: tubuh yang ‘a-historis’ dan menafikan tubuh auratik kaum dionisian. Pada paham estetika tubuh, yang diintroduksikan oleh kapitalisme lanjut, tubuh adalah sejarah ‘aku’ yang mengidolakan citra kemudaan, kemulusan, dan kesegaran jasmani. Tubuh yang kempot-peyot mendekam di lapis bawah kesadaran konsumer citraan. Tubuh dengan otot kendur dinistakan. Rosid, agaknya, menolak kecenderungan arus utama komodifikasi atau industrialisasi tubuh itu. Ia justru merayakan kehidupan sejarah panjang seorang orangtua.

Ditilik dari depan atau belakang, tubuh pak Dapin sama saja: kendur, berkerut, bergelambir, dan menua. Setiap milimeter lekukan tubuhnya, seakan-akan, mengguratkan aura tapal batas kehidupan.

Coba simak karya-karya Menghadap (200X100cm, akrilik pada kanvas, 2007), Jejak Beban (100X120cm, akrilik pada kanvas, 2007), atau Menatap (150X150cm, akrilik pada kanvas, 2007). Tiga karya ini, antara lain, mampu mewakili sejarah hidup pak Dapin dan puncak capaian artistika sang pelukis.

Tak semua karya Rosid berkesan kelabu, tentu. Ia mencoba menyusupkan warna-warni—kepala Pak Dapin—di antara lengan, lutut, di atas telapak tangan, atau di ujung telunjuk. Sayangnya kepalaan itu selaik makhluk asing—alien—yang tiba-tiba muncul menyeruak. Bahwa kontras itu terasa banal kiranya.

Wajah sepuh—karya Menghadap—dengan selarik bibir yang mencengkeram itu mengingatkan saya pada mendiang Ayahanda. Dia berpulang membawa seluruh catatan sejarahnya, belum lama ini, dengan bibir mencengkeram pula.

Tubagus P Svarajati,
Penikmat seni visual, tinggal di Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke majalah Visual Arts, Rabu 9/1/2008. Esai tidak diterbitkan.]

No comments: