They're watching video
at Rumah Seni Yaitu:
SERINGKALI ‘seni media baru’ (new media art) direduksi cuma etape linear dari sejarah seni rupa modern (fine art). Artinya, seni media baru menyandang beban historis menghalau bayang-bayang genealogi itu. Padahal ‘media’ – dalam wacana seni media baru – adalah sebagai ‘perantara pesan’, yakni transfer informasi dari pengirim (sender) kepada penerima pesan (receiver).
Secara singkat, media sebagai perantara informasi spesifik itu adalah ‘media massa’ seperti koran, radio, dan televisi. Perkembangan teknologi informasi, media, dan komunikasi itu melahirkan persepsi-persepsi baru pula. Inilah yang kemudian dikenal sebagai seni media baru yang memanfaatkan kemajuan itu semua untuk memproduksi bentuk-bentuk keseniannya yang khusus.
Krisna Murti – praktisi dan pengajar seni media baru – menegaskan bahwa seni media lahir dari perkembangan budaya ‘visual’ dari teknologi informasi dan media dimana elemen interaktivitas, virtualitas, dan imaterialitas punya peran penting. Alhasil, seni media baru terbentuk dari bastarisasi pelbagai galur.
Mengutip Lister, Agung Hujatnikajennong – kurator dan pengajar seni rupa ITB –menyebutkan karakter-karakter inheren yang terkandung dalam media baru, yakni sifat-sifat digitalis, interaktivitas, hipertekstualitas, menyebar, dan maya.
Singkatnya, praktik-praktik kesenian yang mengacu pada aplikasi-aplikasi teknologi spesifik, terutama media digital disebut ‘new media’ yang tidak lain merupakan ‘digital media’. Lebih jauh, istilah seni media baru ialah pelabelan terhadap kecenderungan genre seni yang menggunakan perangkat teknologi kamera (foto dan film), internet, komputer, video, dan berbagai turunannya yang berbasis teknologi digital. Meskipun begitu, ada pula praktik teknologi analog yang lalu dialih-ubah ke bentuk digital.
Jadi, seni media baru bukanlah ‘medium lama’ dalam konteks ‘material’ yang lantas digantikan dengan yang baru. Modus seni media baru memanfaatkan perangkat inovasi teknologi – terutama sekarang teknologi digital – untuk larut di dalamnya, membongkar tatanan, atau mungkin pula mempermainkan kemajuan itu semua demi ekspresi eksistensinya sendiri.
Gambar Bergerak
Pada dekade 1960an seni video identik dengan sosok Nam June Paik. Bermodal perekam video Sony, yang pertama di dunia dan disebut ‘portapak’, Paik menggugat hegemoni TV yang menyerbu ruang-ruang privat para kelas menengah di Amerika.
“Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back”, seru Paik pada 1965. Paik didaulat sebagai Bapak Video Art atas konsistensi dan sikapnya yang heroik menentang penetrasi budaya kotak kaca itu.
Tetapi, tidaklah bijak jika terus-menerus mengaitkan produksi seni video (baca: media baru) itu sebagai gejala sub-kultur. Seni video pantas diartikulasikan sebagai genre otonom – atau kultur dominan – seni visual yang mencapai terminologi meta-visualitas. Imaji visualnya melampaui gambar diam (still image) dan diimbuhi pula dengan keriuhan audio.
Hingga kini semangat Paik tetap relevan dibincangkan dalam praktik produksi seni media di dunia. Etosnya itu ialah pemberontakan ideal terhadap kemajuan dan hegemoni teknologi informasi dan media yang dilakukan oleh pemerintah – hampir di tiap negara berkembang atau ketiga – untuk kepentingan korporasi global meskipun dengan dalih kemakmuran rakyatnya. Alhasil, masyarakat marjinal tidak punya akses mudah-murah menggapai kemajuan itu. Setidaknya kesetaraan itu yang ‘diperjuangkan’ para praktisi seni media.
Seni media berkembang pesat, salah satunya, dalam budaya konsumer anak-anak muda di kota-kota besar di dunia. Anak-anak muda itu mengalami perubahan, kemajuan, dan bergelimang dalam budaya teknologi yang canggih. Peranti kamera, alat perekam video, dan gadget murah-meriah melimpah seiring dengan inovasi teknologi program dan aneka software bajakan (untuk kasus di Indonesia).
Sesungguhnya, kelahiran video dan film merupakan embrio dari aspek gambar bergerak (moving image), yakni salah satu elemen paling umum seni media. Dengan kata lain, penemuan kamera – sebagai perangkat teknologi optik yang menghasilkan ‘pencanggihan’ imaji visual – adalah momen yang paling berpengaruh. Dus, tegas Agung Hujatnikajennong, tidak ada seni media baru jika tanpa penemuan kamera.
Dalam seni visual kontemporer, video melahirkan pemahaman baru tentang pentingnya aliran waktu (stream of time) dalam setiap produksi artistiknya. Waktu adalah salah satu gelagat utama disamping proyeksi gambarnya. Pemandang bertemu (encounter) atau menikmati seni video dalam kemewaktuan: signifikasi selalu berlangsung di dalam keterbatasan temporalitas. Dalam konteks ini, seni media baru meninggalkan paradigma seni visual konvensional yang hanya mampu memotret suasana kemewaktuan sesaat.
Dalam wacana seni media baru, seturut Krisna Murti, waktu yang dimaksud ialah waktu yang terbentuk karena intervensi mesin waktu, contohnya dari fotografi hingga internet. Paul Virilio (via Murti) mengilustrasikan bahwa manusia tidak lagi hidup dalam ruang-waktu belaka, tetapi ruang dimana waktu manusia dimanipulasikan. Dan apa yang dimanipulasikan kini bukan lagi waktu manusia, namun waktu-mesin. Justru kondisi memanipulasi waktu itulah yang menunjukkan kita kepada realitas (Henri Bergson).
Seni Media di Indonesia
Dalam sejarahnya, menurut Stewart Kranz, pertautan seni dan teknologi di dunia Barat dipicu oleh dekadensi kultur, sosial, dan politik pada dekade 1960an akibat Perang Dunia II. Penemuan dan kemajuan sains saat itu malah mendukung industri mesin perang atau militer yang, sudah pasti, berujung pada upaya penghancuran peradaban. Kolaborasi seniman, saintis, dan insinyur dalam praktik produksi seni media adalah bentuk perlawanan atas ekses dan kekuatan destruktif berbagai kemajuan iptek itu.
Pada tahun 80-an akhir hanya sedikit seniman Indonesia yang mengakrabi seni media, antara lain Teguh Ostenrik, Heri Dono, dan Krisna Murti. Barulah pada dekade akhir 90-an tumbuh pesat seniman-seniman media baru, antara lain, Jompet, Venzha, Aditya Satria, Ariani Darmawan, Tintin Wulia, Prilla Tania, Wimo Ambala Bayang, dan Andry Mochamad. Beberapa kelompok seniman seni media baru juga bermunculan, seperti ruangrupa, Bandung Center for New Media Arts, Cerahati, Video Lab, Vidiot, dan Video Battle.
Melihat fenomena seni media di Indonesia di atas, seorang kritikus menuduhnya sebagai suatu penetrasi budaya “…. materi tanpa sejarah idenya”. Tetapi simaklah fakta ini: tahun 2003 ruangrupa sukses mengadakan O.K. Video, festival video internasional, di Galeri Nasional Jakarta. Festival yang kedua berlangsung gemilang pula, 2005. Tahun ini OK Video berkeliling ke beberapa daerah menggelar lokakarya. Di Semarang lokakarya berlangsung di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, 9—16 April 2007.
Gagasan dan praktik seni media baru di dunia terus mencari bentuk idealnya sejalan dengan inovasi teknologi informasi dan media. Terbukti bahwa praktisi seni media di Indonesia bagian dari jejaring global itu. [Catatan: Esai ini berutang pada buku ‘Apresiasi Seni Media Baru’, Direktorat Kesenian, Dirjen Budaya, Seni dan Film, Depbudpar: 2006. (Tubagus P Svarajati)]
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis (8/3)]
Thursday, July 19, 2007
Tuesday, July 17, 2007
IVAA dan Miskinnya Dokumentasi Seni
"Titik Balik" karya Irin Winachto
DARI dokumentasi katalogus pameran, kurun 1995—2005, cuma ada delapan kali pameran seni rupa di Semarang. Padahal, dalam catatan saya pribadi, tidak kurang dari dua puluh lima perhelatan dilangsungkan pada 2005 saja.
Apa yang keliru dan siapa yang mendata peristiwa seni Semarang itu? Dari sini muncul indikasi, betapa pentingnya dokumentasi yang absah bagi perkembangan dan sejarah seni kota. Dokumentasi bisa memunculkan dan sekaligus meniadakan aktivitas-aktivitas yang pernah berlangsung.
Catatan tentang kesenirupaan Semarang itu muncul dalam “Folders” terbitan Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta. Dulu IVAA bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC) yang bergerak dalam domain riset dan dokumentasi seni rupa kontemporer Indonesia. Folders adalah buku laporan 10 tahun berdirinya YSC, terbit tahun ini.
Disebutkan, kesenirupaan Semarang berlangsung (hanya) di Gedung Teater PKJT Semarang, Galeri Semarang, Galeri Dahara, Rumah Seni Yaitu, dan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito. Kedua penulis (periset) buku – Nuraini Juliastuti dan Yuli Andari Merdikaningtyas – mengakui, materi katalogus itu bukan representasi utuh apa yang terjadi sehingga mungkin ada banyak hal yang luput dan tidak bisa dipetakan. Kita pun mafhum, peristiwa seni visual di Semarang seringkali tidak menerbitkan katalogus.
Akan tetapi, data di atas memantik pertanyaan, seberapa penting dokumentasi bagi pertumbuhan kesenirupaan kota? Hemat saya, catatan apa saja tentang peristiwa seni sangat signifikan, bahkan dalam beberapa kasus mampu mendaku bahwa aktivitas termaksud eksis dan bernilai.
Menimbang rendah fungsi dokumentasi berarti menghilangkan sebagian bangunan memori kolektif masyarakat. Para pelaku seni tidak mampu mengevaluasi karena tidak bercermin, hingga tidak bisa merancang strategi, modus, sampai pada metoda berkesenian mereka pada masa depannya. Jika terjadi demikian, maka ini pertanda kesadaran sejarah yang rendah. Akibatnya jelas, riwayat seni suatu kota tidak terpetakan. Contoh ekstrem, juga terlihat di Folders, pada kurun yang sama di Kudus hanya ada dua kali pameran seni rupa.
Dokumentasi bisa berbentuk material publikasi cetakan dan rekaman audiovisual. Buku, katalogus, poster, brosur, leaflet, kliping koran atau majalah, undangan adalah dokumentasi berbentuk cetakan. Sedangkan audiovisual meliputi film, video, kaset, dan foto. Catatan-catatan yang dibuat seniman, mengiringi suatu proses penciptaan karyanya, juga termasuk data dokumentasi. Dalam era serba digital ini tidak sulit menyimpan data-data itu dalam bentuk cakram CD. Murah dan efektif.
Dokumentasi Proaktif
Yang diperlukan ialah menumbuhkan kesadaran dan sikap proaktif tentang signifikansi fungsi dokumentasi. Idealnya di setiap kota tersedia pusat data yang mengelola semua aktivitas seni visual yang terjadi. Praktik pencatatan ini, contoh di Semarang, bisa dilakukan oleh Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang atau Dewan Kesenian Semarang. Namun, saya tidak yakin keduanya melakukan praktik itu.
Lemahnya praktik dokumentasi pada semua lembaga seni suatu kota harus disikapi secara lapang dada oleh para aktivis seninya. Pelaku seni, dengan upaya sendiri dan semaksimal mungkin, harus mengambil peran sebagai dokumentator independen. Meski tanpa membentuk kelembagaan apapun, toh secara personal upaya itu mudah dilakukan.
Semua data mesti disimpan, diatur, dan dipilah-pilah agar mudah digunakan. Upaya ini akan berbuah publisitas dan jejaring yang meluas. Sebab, jelas sekali, dokumentasi itu juga berfungsi sebagai portofolio pelaku dan sejarah seni kota.
Mulailah mengumpulkan dan menyimpan data-data, sebagian diarsipkan sendiri dan sebagian dihibahkan pada IVAA. Lembaga ini bukan lembaga super dengan kinerja dan pendanaan yang besar sehingga mampu melakukan praktik dokumentasi swamandiri.
Ketidaktahuan atau ketidakpedulian pada YSC, yang telah berusia sepuluh tahun, menjelaskan lemahnya kesadaran pelaku seni kota, tidak terkecuali Semarang. Fakta ini juga mendeskripsikan belum optimalnya YSC melakukan publikasi dan menyebarkan informasinya pada khalayak.
Menurut pengelola, arsip lembaga ini diakses oleh para peneliti, seniman, mahasiswa dan peminat kajian seni visual, dan publik umum. Lembaga ini dikenal juga sebagai pusat referensi literatur seni (bukan hanya seni visual kontemporer) yang lengkap. Koleksinya meliputi: buku teks, katalogus pameran seni rupa, arsip seniman, koleksi artikel atau kliping, vertical files (brosur, poster, pamflet, dan lain-lain), laporan penelitian, terbitan berkala, dokumentasi event seni, makalah, komik, audiovisual, dan slide karya seniman Indonesia.
Lembaga seperti IVAA, di tengah-tengah ketidakpedulian dan nihilnya peran negara, penting bagi pertumbuhan infrastruktur seni visual kontemporer Indonesia. Sepantasnya IVAA dan koleksinya dimanfaatkan oleh pelaku atau aktivis seni demi penguatan jejak seni suatu kota. IVAA harus dirawat dan didukung bersama-sama.
TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
[CATATAN: Artikel ini dikirimkan ke KOMPAS, Rabu (13/6)]
DARI dokumentasi katalogus pameran, kurun 1995—2005, cuma ada delapan kali pameran seni rupa di Semarang. Padahal, dalam catatan saya pribadi, tidak kurang dari dua puluh lima perhelatan dilangsungkan pada 2005 saja.
Apa yang keliru dan siapa yang mendata peristiwa seni Semarang itu? Dari sini muncul indikasi, betapa pentingnya dokumentasi yang absah bagi perkembangan dan sejarah seni kota. Dokumentasi bisa memunculkan dan sekaligus meniadakan aktivitas-aktivitas yang pernah berlangsung.
Catatan tentang kesenirupaan Semarang itu muncul dalam “Folders” terbitan Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta. Dulu IVAA bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC) yang bergerak dalam domain riset dan dokumentasi seni rupa kontemporer Indonesia. Folders adalah buku laporan 10 tahun berdirinya YSC, terbit tahun ini.
Disebutkan, kesenirupaan Semarang berlangsung (hanya) di Gedung Teater PKJT Semarang, Galeri Semarang, Galeri Dahara, Rumah Seni Yaitu, dan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito. Kedua penulis (periset) buku – Nuraini Juliastuti dan Yuli Andari Merdikaningtyas – mengakui, materi katalogus itu bukan representasi utuh apa yang terjadi sehingga mungkin ada banyak hal yang luput dan tidak bisa dipetakan. Kita pun mafhum, peristiwa seni visual di Semarang seringkali tidak menerbitkan katalogus.
Akan tetapi, data di atas memantik pertanyaan, seberapa penting dokumentasi bagi pertumbuhan kesenirupaan kota? Hemat saya, catatan apa saja tentang peristiwa seni sangat signifikan, bahkan dalam beberapa kasus mampu mendaku bahwa aktivitas termaksud eksis dan bernilai.
Menimbang rendah fungsi dokumentasi berarti menghilangkan sebagian bangunan memori kolektif masyarakat. Para pelaku seni tidak mampu mengevaluasi karena tidak bercermin, hingga tidak bisa merancang strategi, modus, sampai pada metoda berkesenian mereka pada masa depannya. Jika terjadi demikian, maka ini pertanda kesadaran sejarah yang rendah. Akibatnya jelas, riwayat seni suatu kota tidak terpetakan. Contoh ekstrem, juga terlihat di Folders, pada kurun yang sama di Kudus hanya ada dua kali pameran seni rupa.
Dokumentasi bisa berbentuk material publikasi cetakan dan rekaman audiovisual. Buku, katalogus, poster, brosur, leaflet, kliping koran atau majalah, undangan adalah dokumentasi berbentuk cetakan. Sedangkan audiovisual meliputi film, video, kaset, dan foto. Catatan-catatan yang dibuat seniman, mengiringi suatu proses penciptaan karyanya, juga termasuk data dokumentasi. Dalam era serba digital ini tidak sulit menyimpan data-data itu dalam bentuk cakram CD. Murah dan efektif.
Dokumentasi Proaktif
Yang diperlukan ialah menumbuhkan kesadaran dan sikap proaktif tentang signifikansi fungsi dokumentasi. Idealnya di setiap kota tersedia pusat data yang mengelola semua aktivitas seni visual yang terjadi. Praktik pencatatan ini, contoh di Semarang, bisa dilakukan oleh Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang atau Dewan Kesenian Semarang. Namun, saya tidak yakin keduanya melakukan praktik itu.
Lemahnya praktik dokumentasi pada semua lembaga seni suatu kota harus disikapi secara lapang dada oleh para aktivis seninya. Pelaku seni, dengan upaya sendiri dan semaksimal mungkin, harus mengambil peran sebagai dokumentator independen. Meski tanpa membentuk kelembagaan apapun, toh secara personal upaya itu mudah dilakukan.
Semua data mesti disimpan, diatur, dan dipilah-pilah agar mudah digunakan. Upaya ini akan berbuah publisitas dan jejaring yang meluas. Sebab, jelas sekali, dokumentasi itu juga berfungsi sebagai portofolio pelaku dan sejarah seni kota.
Mulailah mengumpulkan dan menyimpan data-data, sebagian diarsipkan sendiri dan sebagian dihibahkan pada IVAA. Lembaga ini bukan lembaga super dengan kinerja dan pendanaan yang besar sehingga mampu melakukan praktik dokumentasi swamandiri.
Ketidaktahuan atau ketidakpedulian pada YSC, yang telah berusia sepuluh tahun, menjelaskan lemahnya kesadaran pelaku seni kota, tidak terkecuali Semarang. Fakta ini juga mendeskripsikan belum optimalnya YSC melakukan publikasi dan menyebarkan informasinya pada khalayak.
Menurut pengelola, arsip lembaga ini diakses oleh para peneliti, seniman, mahasiswa dan peminat kajian seni visual, dan publik umum. Lembaga ini dikenal juga sebagai pusat referensi literatur seni (bukan hanya seni visual kontemporer) yang lengkap. Koleksinya meliputi: buku teks, katalogus pameran seni rupa, arsip seniman, koleksi artikel atau kliping, vertical files (brosur, poster, pamflet, dan lain-lain), laporan penelitian, terbitan berkala, dokumentasi event seni, makalah, komik, audiovisual, dan slide karya seniman Indonesia.
Lembaga seperti IVAA, di tengah-tengah ketidakpedulian dan nihilnya peran negara, penting bagi pertumbuhan infrastruktur seni visual kontemporer Indonesia. Sepantasnya IVAA dan koleksinya dimanfaatkan oleh pelaku atau aktivis seni demi penguatan jejak seni suatu kota. IVAA harus dirawat dan didukung bersama-sama.
TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
[CATATAN: Artikel ini dikirimkan ke KOMPAS, Rabu (13/6)]
Monday, July 16, 2007
Hitler: "Your eyes...!"
Foto: Ferintus Karbon
"Menjaring Poseur" karya Sigit Bapak
***
"Menjaring Poseur" karya Sigit Bapak
FESTIVAL Kesenian Yogyakarta (FKY) datang lagi. Kali ini FKY masuk tarikh ke-19. Tema pameran seni visual yang mengiringi festival itu ialah “Shout Out!”. Seiring dengan tematika, di ruang pamer – Taman Budaya Yogyakarta – berhumbalang karya-karya yang berebutan ‘berteriak-teriak’.
Pada acara pembukaan, Jumat malam (22/6), seseorang yang kita kenal sebagai Hitler memandu acara. Dari sayap kiri, menumpang moge yang dikendarai oleh perupa Nurcholis, ‘Hitler” itu muncul, lengkap dengan seragam militer, kumis, dan potongan rambut khusus itu.
Lantas Fühller itu berteriak: “Assalammualaikum…!” Sontak pengunjung riuh terkekeh. Tatkala dia disoraki, dengan tangkas Hendro Plered – pemeran ‘Hitler Ngayogyakartan’ – membalas: “Your eyes!” Seluruh pengunjung kembali ngakak. Mereka paham plesetan itu – seperti ‘dagadu’ – berarti ‘matamu’. Ini sarkasme khas ala Yogya pada acara yang disesaki anak-anak muda itu: pisuhan yang mengundang gelak.
Kira-kira seperti itu pula gaya kuratorial “Shout Out!”, riuh-rendah, yang menampilkan 36 kelompok seniman dan perorangan. Sebuah pameran dengan antusiasme tinggi yang, oleh duet kurator Kuss Indarto dan Arie Dyanto, ingin menghadirkan seni eksperimentatif kawula ‘muda’ (yang usianya dipatok di bawah 35 tahun). Juga menolak kecenderungan ‘linier’ keindahan seni yang konvensional atau konservatif. Termasuk pula hasrat menghalau ‘mitos’ kesuksesan pameran seni rupa yang, secara salah kaprah, diukur dari banyaknya karya yang terjual. Pameran itu juga meragukan premis ‘keindahan’ dalam seni dimutlakkan dan melekat dalam setiap karya. Konon, seni tidak lagi bicara tentang ‘indah atau tidak indah’, akan tetapi bisa dibaca sebagai artifak kebudayaan yang hendak ‘berbicara dan berpihak ke mana’.
Akhirnya, tema ‘netral’ kuratorial itu ditendensikan sebagai wilayah longgar bagi seniman muda untuk berkarya apa saja. Tematika kuratorial justru membuka peluang sebesar-besarnya pada tren kreatif yang digeluti seniman muda sekarang.
Pada acara pembukaan, Jumat malam (22/6), seseorang yang kita kenal sebagai Hitler memandu acara. Dari sayap kiri, menumpang moge yang dikendarai oleh perupa Nurcholis, ‘Hitler” itu muncul, lengkap dengan seragam militer, kumis, dan potongan rambut khusus itu.
Lantas Fühller itu berteriak: “Assalammualaikum…!” Sontak pengunjung riuh terkekeh. Tatkala dia disoraki, dengan tangkas Hendro Plered – pemeran ‘Hitler Ngayogyakartan’ – membalas: “Your eyes!” Seluruh pengunjung kembali ngakak. Mereka paham plesetan itu – seperti ‘dagadu’ – berarti ‘matamu’. Ini sarkasme khas ala Yogya pada acara yang disesaki anak-anak muda itu: pisuhan yang mengundang gelak.
Kira-kira seperti itu pula gaya kuratorial “Shout Out!”, riuh-rendah, yang menampilkan 36 kelompok seniman dan perorangan. Sebuah pameran dengan antusiasme tinggi yang, oleh duet kurator Kuss Indarto dan Arie Dyanto, ingin menghadirkan seni eksperimentatif kawula ‘muda’ (yang usianya dipatok di bawah 35 tahun). Juga menolak kecenderungan ‘linier’ keindahan seni yang konvensional atau konservatif. Termasuk pula hasrat menghalau ‘mitos’ kesuksesan pameran seni rupa yang, secara salah kaprah, diukur dari banyaknya karya yang terjual. Pameran itu juga meragukan premis ‘keindahan’ dalam seni dimutlakkan dan melekat dalam setiap karya. Konon, seni tidak lagi bicara tentang ‘indah atau tidak indah’, akan tetapi bisa dibaca sebagai artifak kebudayaan yang hendak ‘berbicara dan berpihak ke mana’.
Akhirnya, tema ‘netral’ kuratorial itu ditendensikan sebagai wilayah longgar bagi seniman muda untuk berkarya apa saja. Tematika kuratorial justru membuka peluang sebesar-besarnya pada tren kreatif yang digeluti seniman muda sekarang.
***
Dengan koridor kuratorial semacam itu, agaknya pameran “Shout Out!” ditendensikan sebagai suatu peristiwa radikal mendobrak tatanan seni yang usang (kata kurator: konvensional dan konservatif). Tetapi, lihatlah, di dalam ruang pamer berserak karya-karya yang, sayang sekali, masih sebatas koridor artistika. Sebagian bahkan karya-karya yang dibuat tergesa, kurang serius, dan pula tidak menunjukkan jejak gagasan yang fundamental.
Melongok pameran “Shout Out!” itu dan menyandingkannya dengan tematika kuratorial, pada hemat saya, ada paradoks yang perlu diluruskan. Ketika yang bertautan dengan seni tidak lagi diartikan ‘indah’, namun sekadar dilihat sebagai alat bantu sosial yang menyorongkan ‘keberpihakan’, agaknya kita mesti menata ulang parameter karya dan pameran yang (masih) diniatkan sebagai acara seni itu.
Gayut dengan hal itu, tak perlu lagi pendakuan mereka yang terlibat di dalam pameran itu adalah seniman. Jauh lebih menarik jika kedua kurator berani meloloskan ‘orang-orang biasa’ (bukan seniman!) berpartisipasi dalam pameran itu. Toh tak perlu ada karya yang estetis selain karya ideologis. “Shout Out!” pun tidak perlu didaku sebagai pameran seni visual. Dengan begitu napas eksperimentasi lebih terasa.
Andaikata terma ‘indah’ tidak hanya dimaksudkan sebagai artistika wujudiah, tentu saja, banyak orang bersepaham. Sebab, kita tahu, disiplin estetika telah melampui perkara keindahan maujud. Akan tetapi, pada dasarnya pameran “Shout Out!” masih sekadar menyuguhkan artistika konvensional. Alhasil, karya-karya yang tersaji belum maksimal sesuai dengan kerangka kuratorial.
Melongok pameran “Shout Out!” itu dan menyandingkannya dengan tematika kuratorial, pada hemat saya, ada paradoks yang perlu diluruskan. Ketika yang bertautan dengan seni tidak lagi diartikan ‘indah’, namun sekadar dilihat sebagai alat bantu sosial yang menyorongkan ‘keberpihakan’, agaknya kita mesti menata ulang parameter karya dan pameran yang (masih) diniatkan sebagai acara seni itu.
Gayut dengan hal itu, tak perlu lagi pendakuan mereka yang terlibat di dalam pameran itu adalah seniman. Jauh lebih menarik jika kedua kurator berani meloloskan ‘orang-orang biasa’ (bukan seniman!) berpartisipasi dalam pameran itu. Toh tak perlu ada karya yang estetis selain karya ideologis. “Shout Out!” pun tidak perlu didaku sebagai pameran seni visual. Dengan begitu napas eksperimentasi lebih terasa.
Andaikata terma ‘indah’ tidak hanya dimaksudkan sebagai artistika wujudiah, tentu saja, banyak orang bersepaham. Sebab, kita tahu, disiplin estetika telah melampui perkara keindahan maujud. Akan tetapi, pada dasarnya pameran “Shout Out!” masih sekadar menyuguhkan artistika konvensional. Alhasil, karya-karya yang tersaji belum maksimal sesuai dengan kerangka kuratorial.
***
Dengan menafikan apapun penamaan atas karya-karya itu – seperti street art, toys art, object art, video art, moving image, instalasi, atau komik – maka terlihat sentimen estetik tertentu yang dimiliki oleh kurator. Tampak mereka dengan sengaja, meski tak sesukses yang diharapkan, menyorongkan karya-karya beragam bahan.
Pameran “Shout Out!” sarat dengan karya tiga dimensional. Hanya ada tiga karya lukis yang dipajang dan itu pun berkesan ‘kecelakaan’. Mengenai hal itu, tentu, banyak orang sepakat karya-karya lukis (Aji Yudalaga, Robi Fathoni, dan Tri Wahyudi) itu sangat konvensional dan konservatif. Bandingkan ketiganya dengan karya “Menjaring Poseur” (Sigit Bapak) yang inspiratif: sosok penunggang kuda itu terkesan menjebol kebekuan panel.
“Pisuhan Paman Petani” (M Aldi Yupri) adalah tiga pokok pohon dengan siluet pohon berdaun lebat memantul di pojok dinding. Ini menyoal tematika lingkungan. Namun, jika diteliti, visualitasnya cuma imitasi dari sejumlah besar gambar kartun dengan gagasan yang sama pula.
Perupa I Gede Made Surya Darma mengusung areal sawah di ruang pamer (“Menanam Tentara di Sawah”). Ia tanami sawah itu dengan batang lidi berkepala mainan plastik berupa sosok tentara. Di dinding ada dua panel foto ketika dia beraksi performans. Satu monitor TV menayangkan aksinya terus-menerus. Ini sebuah karya yang segar dan menarik meskipun, belum lama ini, pernah dipertontonkan di luar ruang sebagai karya performans. Jika dibaca, maka teks rupa ini menjangkau wilayah signifikasi yang meluas.
Selain itu di ruang pamer tetap ada beberapa karya yang mencuri perhatian. Sebagai misal, peti mati (murahan) yang terbungkus oleh ratusan stiker (“Kubur Gelap Masa Lalumu” karya Wijayanto B), objek rumah panggung Alexis (“Coffee Morning”), deretan ‘rumah mini’ I Gusti Ngurah Udiantara (“Home Alone Series”), puluhan boneka anjing Dona Prawita (“Resistence and It’s Paradox”), sayur terong-terongan Kusna Hardiyanto (“Don’t Look the Cover”), atau instalasi video “Quis on TV on My Head on” karya para pekerja film Four Colors.
Sebaliknya, beberapa karya dalam ragam ‘street art’, ambil contoh “JMF Finding Space”, hilang kegarangan dan dinamika jalanannya. Karya ini terjerembab pada ekspresi artistika yang kemayu.
Pantas dicatat bahwa tendensi perupaan para seniman muda itu, dalam beberapa tahun terakhir, memang terlihat mewabah di Yogyakarta. Jadi, kecenderungan rupa itu sulit didaku, atau pula ditimbang, sebagai ‘baru’ dan ‘segar’. Pilihan tematika dan teknologi pengolahan medium pun tak terlalu mengejutkan. Saya menduga, anak-anak muda itu sedang merayakan tanda-tanda estetik kulit luar saja. Entahlah apakah ini gelagat menepiskan institusionalisasi seni auratik. Atau, jangan-jangan, ini gejala stagnansi pada proses kreatif anak-anak muda itu. Beberapa nama yang sebelumnya sangat kreatif dan menjanjikan – seperti Iwan Effendi, Terra Bajragosha, dan Wedhar Riyadi – kali ini tidak menunjukkan kualifikasi optimumnya.
Hemat saya, karya-karya “Shout Out!” cuma mengekor pada beberapa pameran yang pernah diadakan di Yogyakarta sebelumnya. Satu ruang pamer ternama di sana sudah sejak lama mengapropriasi kecenderungan visual yang digeluti anak-anak muda itu. Dilihat dari sisi ini, boleh dibilang, publik tidak mendapat pengayaan yang berarti ketika menikmati pameran ini.
Terlepas dari rumpang-rumpang kuratorial, ‘teriakan’ (baca: kerja keras) kedua kurator muda itu pantas dihargai. Alih-alih, jangan biarkan mereka menuai hardikan “your eyes!” (Tubagus P Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang)
[CATATAN: Artikel ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat 6/7]
Pameran “Shout Out!” sarat dengan karya tiga dimensional. Hanya ada tiga karya lukis yang dipajang dan itu pun berkesan ‘kecelakaan’. Mengenai hal itu, tentu, banyak orang sepakat karya-karya lukis (Aji Yudalaga, Robi Fathoni, dan Tri Wahyudi) itu sangat konvensional dan konservatif. Bandingkan ketiganya dengan karya “Menjaring Poseur” (Sigit Bapak) yang inspiratif: sosok penunggang kuda itu terkesan menjebol kebekuan panel.
“Pisuhan Paman Petani” (M Aldi Yupri) adalah tiga pokok pohon dengan siluet pohon berdaun lebat memantul di pojok dinding. Ini menyoal tematika lingkungan. Namun, jika diteliti, visualitasnya cuma imitasi dari sejumlah besar gambar kartun dengan gagasan yang sama pula.
Perupa I Gede Made Surya Darma mengusung areal sawah di ruang pamer (“Menanam Tentara di Sawah”). Ia tanami sawah itu dengan batang lidi berkepala mainan plastik berupa sosok tentara. Di dinding ada dua panel foto ketika dia beraksi performans. Satu monitor TV menayangkan aksinya terus-menerus. Ini sebuah karya yang segar dan menarik meskipun, belum lama ini, pernah dipertontonkan di luar ruang sebagai karya performans. Jika dibaca, maka teks rupa ini menjangkau wilayah signifikasi yang meluas.
Selain itu di ruang pamer tetap ada beberapa karya yang mencuri perhatian. Sebagai misal, peti mati (murahan) yang terbungkus oleh ratusan stiker (“Kubur Gelap Masa Lalumu” karya Wijayanto B), objek rumah panggung Alexis (“Coffee Morning”), deretan ‘rumah mini’ I Gusti Ngurah Udiantara (“Home Alone Series”), puluhan boneka anjing Dona Prawita (“Resistence and It’s Paradox”), sayur terong-terongan Kusna Hardiyanto (“Don’t Look the Cover”), atau instalasi video “Quis on TV on My Head on” karya para pekerja film Four Colors.
Sebaliknya, beberapa karya dalam ragam ‘street art’, ambil contoh “JMF Finding Space”, hilang kegarangan dan dinamika jalanannya. Karya ini terjerembab pada ekspresi artistika yang kemayu.
Pantas dicatat bahwa tendensi perupaan para seniman muda itu, dalam beberapa tahun terakhir, memang terlihat mewabah di Yogyakarta. Jadi, kecenderungan rupa itu sulit didaku, atau pula ditimbang, sebagai ‘baru’ dan ‘segar’. Pilihan tematika dan teknologi pengolahan medium pun tak terlalu mengejutkan. Saya menduga, anak-anak muda itu sedang merayakan tanda-tanda estetik kulit luar saja. Entahlah apakah ini gelagat menepiskan institusionalisasi seni auratik. Atau, jangan-jangan, ini gejala stagnansi pada proses kreatif anak-anak muda itu. Beberapa nama yang sebelumnya sangat kreatif dan menjanjikan – seperti Iwan Effendi, Terra Bajragosha, dan Wedhar Riyadi – kali ini tidak menunjukkan kualifikasi optimumnya.
Hemat saya, karya-karya “Shout Out!” cuma mengekor pada beberapa pameran yang pernah diadakan di Yogyakarta sebelumnya. Satu ruang pamer ternama di sana sudah sejak lama mengapropriasi kecenderungan visual yang digeluti anak-anak muda itu. Dilihat dari sisi ini, boleh dibilang, publik tidak mendapat pengayaan yang berarti ketika menikmati pameran ini.
Terlepas dari rumpang-rumpang kuratorial, ‘teriakan’ (baca: kerja keras) kedua kurator muda itu pantas dihargai. Alih-alih, jangan biarkan mereka menuai hardikan “your eyes!” (Tubagus P Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang)
[CATATAN: Artikel ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Jumat 6/7]
Sunday, July 8, 2007
Sendiri
Ini Minggu, 8 Juli 2007. Entah mengapa aku tidak bisa tidur nyenyak semalam. Tidak biasanya bangun jam 4 subuh, padahal menjelang tengah malam baru naik ranjang. Sendiri.
Jumat malam, 6 Juli 2007, jam 19.40 WIB istri dan anakku ke Singapore. Aku antar mereka ke Bandara A. Yani Semarang. Sampai pagi ini belum dapat kabar apa-apa dari mereka. Ini sudah biasa. Saat mereka ke Singapore beberapa waktu lalu, ya sama saja, setelah ingat barulah mereka ngirim sms. Mereka berlibur.
Oya, semalam kira-kira jam 7 gitu, ada telpon dari seseorang yang ngaku dari card-center sebuah bank di Jakarta. Suara di seberang sana bertanya, apakah benar istriku sedang bepergian ke Singapore karena terpantau kartu kreditnya dibelanjakan di negeri Singa itu. Orang itu sedang bertugas memantau pergerakan kartu-kartu kredit bank tempatnya bekerja. Eh, aku merasa surprise juga. Ternyata teknologi informatika perbankan kita yahud juga ya.***
Jumat malam, 6 Juli 2007, jam 19.40 WIB istri dan anakku ke Singapore. Aku antar mereka ke Bandara A. Yani Semarang. Sampai pagi ini belum dapat kabar apa-apa dari mereka. Ini sudah biasa. Saat mereka ke Singapore beberapa waktu lalu, ya sama saja, setelah ingat barulah mereka ngirim sms. Mereka berlibur.
Oya, semalam kira-kira jam 7 gitu, ada telpon dari seseorang yang ngaku dari card-center sebuah bank di Jakarta. Suara di seberang sana bertanya, apakah benar istriku sedang bepergian ke Singapore karena terpantau kartu kreditnya dibelanjakan di negeri Singa itu. Orang itu sedang bertugas memantau pergerakan kartu-kartu kredit bank tempatnya bekerja. Eh, aku merasa surprise juga. Ternyata teknologi informatika perbankan kita yahud juga ya.***
Tuesday, July 3, 2007
Memindai Semarang*
Photo: Ferintus Karbon
MEMINDAI SEMARANG*
Oleh Tubagus P. Svarajati** – Semarang
Bagaimana membaca pergerakan seni rupa di suatu kota? Bagaimana mengelola suatu art-space? Bagaimana merumuskan strategi sambil meluaskan jejaring?
Tidak mudah bagi saya menguraikan tiga hal di atas. Sengkarut makin rumit terlebih bagi saya yang tidak berlatar edukasi formal-akademik kesenirupaan, terlahir sebagai seorang China, tidak kaya meski tidak teramat miskin pula, dan pula bekas peternak babi.
Fakta objektif di atas sedikit atau banyak mempersulit langkah saya mengatur atau menyelenggarakan kegiatan di Rumah Seni Yaitu: (RSY). Saya pun tidak terlalu mudah menulis esai kritik seni lagi padahal aktivitas menulis ini sudah saya lakukan lama sebelum saya mengelola RSY. Perlu waktu beberapa lama mempertimbangkan sebelum saya memutuskan kembali menulis. Alasannya sederhana, karena tidak ada seorang pun – penulis atau sekalipun yang mendaku sebagai kurator seni rupa di Semarang – yang memediasikan perhelatan atau pergerakan kesenirupaan Semarang ke hadapan medan sosial seni (art-world) Indonesia. Bahkan tidak pula di tingkat regional. Tulisan mengenai kesenirupaan pada umumnya hanya berupa reportase jurnalistik.
Niat menulis, kurang-lebih, didasari intensi hendak membantu medan sosial seni Semarang. Hemat saya, apapun isi tulisan atau kritik saya yang terbit di media massa lokal ataupun nasional, sekurang-kurangnya memberikan informasi tentang peristiwa seni yang terjadi di Semarang. Sejatinya ini menguntungkan jika dipandang dari sisi pencitraan kota. Ambil contoh esai saya tentang genre lukisan realis-naturalis yang berkembang di Semarang. Tulisan itu sontak mengingatkan publik seni rupa Indonesia tentang eksistensi kesenirupaan sebuah kota yang dikenal hanya sebagai tempat lahir Raden Saleh.
Tulisan saya di atas mengetengahkan istilah “mangga-pisang-jambu”. Istilah ini sebenarnya suatu stigmatisasi yang menunjuk pada fenomena penggayaan seni lukis realis-naturalis tertentu. Jenis lukisan itu dicemooh dengan dalih tidak memberikan wacana apapun berhubung visualitasnya hanya sebatas flora-fauna, lanskap, taferil, sosok potret, dan objek keseharian lainnya. Uniknya, sebagian orang justru bangga pada julukan itu. Mereka bahkan mengartikan penamaan itu, berikut jenis genre seni lukis yang dijulukinya, sebagai aset Semarang yang perlu dilestarikan. Lantas, lahirlah satu istilah lagi, yakni seni lukis “bebek-adus-kali”.
Di luar penggayaan realis-naturalis di atas ada juga genre atau visualitas yang berbeda. Pada umumnya perupa yang mengusung bahasa visual ‘baru’ itu adalah alumni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang, Institut Seni Indonesia (ISI), atau mereka yang sedikitnya pernah mengenyam pendidikan formal kesenirupaan. Mereka inilah yang sekarang meramaikan diskursus kesenirupaan Semarang. Tidak sedikit di antara mereka mulai sering diundang berpameran di luar kota Semarang.
Para perupa akademis kini banyak bermunculan di Semarang. Sebagian besar adalah mahasiswa seni rupa Unnes. Mereka terutama masih duduk di bangku kuliah semester empat ke atas. Aktivitas yang menonjol dari mereka adalah “K to K Project”. Ini adalah proyek pameran yang dilangsungkan di rumah-rumah kos para mahasiswa di seputar kampus Unnes, Sekaran, Gunung Pati, Semarang.
Tidak dapat disangkal, diskursus kesenirupaan Semarang kini beralih pada gerak para perupa akademis. Hampir tidak ada kegiatan berarti yang muncul dari para perupa otodidak. Ruang gerak perupa otodidak hanya dari satu bursa ke bursa saja. Sebelumnya para perupa otodidak itu sempat bergabung dalam satu wadah, yaitu Komunitas Kayangan.
Seturut yang bisa diamati, visualitas kesenirupaan Semarang menunjukkan keragaman ketimbang satu dasawarsa lampau. Pokok soal (subject matters) pun merambah bermacam isu dan tematika. Namun, tidak dapat disangkal, pergaulan horisontal antarperupa menunjukkan tegangan-tegangan (tensions) yang eskalatif. Tarik-menarik antara isu kreatif, melansir hegemoni tandingan, sampai sentimen pribadi mencuat ke permukaan secara masif. Gejala ini terasa benar di pergaulan mereka.
Berbagai komunitas tumbuh menjamur. Namun, uniknya, mereka dibentuk oleh orang-orang yang sama pula. Tidak terlihat jelas apa ideologi dan target kesenian mereka. Komunitas itu lahir dan untuk kemudian, tidak terlalu lama, mati.
Kehadiran ruang-ruang pamer di Semarang tidak mampu menampung seluruh aktivitas para perupanya. Tentu saja dengan banyak pertimbangan di belakangnya. Akan tetapi, satu hal bisa dipastikan bahwa kehadiran ruang-ruang itu memberikan citraan positif tentang geliat kesenirupaan kota.
Sebenarnya tidak mudah mengelola suatu art-space apalagi di tengah-tengah kepungan pendapat Semarang bukan kota kesenian yang ideal. Hambatan terbesar, tentu saja, adalah faktor pendanaan yang tidak melimpah. Ini memang masalah klasik dan tidak (atau belum) terpecahkan selama ini. RSY pun menghadapi kendala yang sama. Hampir pada semua kegiatannya terbentur pada minimnya sumber dana. Ini situasi yang dilematis. Pada satu sisi RSY berniat memberikan pendidikan dan pengetahuan kesenirupaan yang bermutu dan, tentu saja, hal ini membutuhkan pendanaan tidak sedikit. Sisi lainnya, RSY tidak mempunyai sumber dana permanen. Alhasil, mengelola RSY membutuhkan energi cadangan yang besar dan kiat-kiat khusus agar semua programnya berjalan lancar.
Selama ini program-program RSY disusun tidak terlalu ketat. Bisa saja di tengah jalan sebuah program ditukar atau diganti karena alasan tertentu. Anehnya, dan hal ini patut disyukuri, selama hampir dua tahun usianya RSY tidak pernah kekurangan kegiatan. Tidak jarang sebuah program dibuat dadakan. Pada ketika lain sebuah program dilaksanakan berkat kerja sama dengan pihak ketiga. Beberapa program berasal dari inisiatif atau produksi RSY sendiri.
Satu hal yang sangat membantu dan berpengaruh terhadap perkembangan atau kemajuan RSY ialah jejaring yang terbentuk secara baik dengan banyak pihak. Rasanya banyak pihak, perorangan atau kelembagaan, dengan senang hati bekerja sama dengan RSY. Dugaan saya, para pihak itu tertarik pada aktivitas RSY yang beragam dan terkesan ‘bermutu’. Sebagian menganggap kegiatan RSY kental bernuansa ‘kebudayaan’, bukan cuma aktivitas murahan yang berkedok kesenian. Ada juga anggapan bahwa reputasi RSY cepat terangkat karena publik sebelumnya sudah mengenal saya sebagai penulis seni rupa.
Fakta menunjukkan, kehadiran RSY telah diperhitungkan sebagai ruang mediasi dan kajian seni visual yang menonjol di Semarang. Eksistensi RSY dicermati dan diharapkan banyak kalangan agar berumur panjang, namun tidak sedikit pula yang mencibir serta menunggu saat kematiannya.
Saya hendak menutup esai pendek ini dengan informasi ini: sejumlah anak muda – dari disiplin seni rupa, sastra, teater, musik, dan film – mulai berkerumum di RSY dengan segenap gagasan dan kreasi segar mereka.
AWAS! Recent Arts from RSY!
*Diantarkan pada Seminar Nasional Seni Rupa Indonesia 2007 “Demi Mas[s]a”, Galeri Nasional, Jakarta, 12—13 Juli 2007
**Tubagus P. Svarajati, Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang, Jawa Tengah
[Catatan: Esai ini (dengan 29 catatan kaki) akan dipresentasikan pada seminar nasional seni rupa Indonesia 2007, tajuk "Membangun Dinamika Seni Rupa Indonesia", di Galeri Nasional Jakarta. Menurut TOR Panitia, seminar ini menyajikan 13 nara sumber (diseleksi dari 50 usulan makalah) dari beberapa kota seluruh Indonesia dan akan dimoderatori oleh Dr. Agus Burhan, Rizky Zaelani, dan Mamannoor. Seminar akan dipantau dan dikomentari oleh Bambang Budjono, Suwarno Wisetrotomo, Amna Sardono W. Kusumo, dan Nindityo Adipurnomo.]
MEMINDAI SEMARANG*
Oleh Tubagus P. Svarajati** – Semarang
Bagaimana membaca pergerakan seni rupa di suatu kota? Bagaimana mengelola suatu art-space? Bagaimana merumuskan strategi sambil meluaskan jejaring?
Tidak mudah bagi saya menguraikan tiga hal di atas. Sengkarut makin rumit terlebih bagi saya yang tidak berlatar edukasi formal-akademik kesenirupaan, terlahir sebagai seorang China, tidak kaya meski tidak teramat miskin pula, dan pula bekas peternak babi.
Fakta objektif di atas sedikit atau banyak mempersulit langkah saya mengatur atau menyelenggarakan kegiatan di Rumah Seni Yaitu: (RSY). Saya pun tidak terlalu mudah menulis esai kritik seni lagi padahal aktivitas menulis ini sudah saya lakukan lama sebelum saya mengelola RSY. Perlu waktu beberapa lama mempertimbangkan sebelum saya memutuskan kembali menulis. Alasannya sederhana, karena tidak ada seorang pun – penulis atau sekalipun yang mendaku sebagai kurator seni rupa di Semarang – yang memediasikan perhelatan atau pergerakan kesenirupaan Semarang ke hadapan medan sosial seni (art-world) Indonesia. Bahkan tidak pula di tingkat regional. Tulisan mengenai kesenirupaan pada umumnya hanya berupa reportase jurnalistik.
Niat menulis, kurang-lebih, didasari intensi hendak membantu medan sosial seni Semarang. Hemat saya, apapun isi tulisan atau kritik saya yang terbit di media massa lokal ataupun nasional, sekurang-kurangnya memberikan informasi tentang peristiwa seni yang terjadi di Semarang. Sejatinya ini menguntungkan jika dipandang dari sisi pencitraan kota. Ambil contoh esai saya tentang genre lukisan realis-naturalis yang berkembang di Semarang. Tulisan itu sontak mengingatkan publik seni rupa Indonesia tentang eksistensi kesenirupaan sebuah kota yang dikenal hanya sebagai tempat lahir Raden Saleh.
Tulisan saya di atas mengetengahkan istilah “mangga-pisang-jambu”. Istilah ini sebenarnya suatu stigmatisasi yang menunjuk pada fenomena penggayaan seni lukis realis-naturalis tertentu. Jenis lukisan itu dicemooh dengan dalih tidak memberikan wacana apapun berhubung visualitasnya hanya sebatas flora-fauna, lanskap, taferil, sosok potret, dan objek keseharian lainnya. Uniknya, sebagian orang justru bangga pada julukan itu. Mereka bahkan mengartikan penamaan itu, berikut jenis genre seni lukis yang dijulukinya, sebagai aset Semarang yang perlu dilestarikan. Lantas, lahirlah satu istilah lagi, yakni seni lukis “bebek-adus-kali”.
Di luar penggayaan realis-naturalis di atas ada juga genre atau visualitas yang berbeda. Pada umumnya perupa yang mengusung bahasa visual ‘baru’ itu adalah alumni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang, Institut Seni Indonesia (ISI), atau mereka yang sedikitnya pernah mengenyam pendidikan formal kesenirupaan. Mereka inilah yang sekarang meramaikan diskursus kesenirupaan Semarang. Tidak sedikit di antara mereka mulai sering diundang berpameran di luar kota Semarang.
Para perupa akademis kini banyak bermunculan di Semarang. Sebagian besar adalah mahasiswa seni rupa Unnes. Mereka terutama masih duduk di bangku kuliah semester empat ke atas. Aktivitas yang menonjol dari mereka adalah “K to K Project”. Ini adalah proyek pameran yang dilangsungkan di rumah-rumah kos para mahasiswa di seputar kampus Unnes, Sekaran, Gunung Pati, Semarang.
Tidak dapat disangkal, diskursus kesenirupaan Semarang kini beralih pada gerak para perupa akademis. Hampir tidak ada kegiatan berarti yang muncul dari para perupa otodidak. Ruang gerak perupa otodidak hanya dari satu bursa ke bursa saja. Sebelumnya para perupa otodidak itu sempat bergabung dalam satu wadah, yaitu Komunitas Kayangan.
Seturut yang bisa diamati, visualitas kesenirupaan Semarang menunjukkan keragaman ketimbang satu dasawarsa lampau. Pokok soal (subject matters) pun merambah bermacam isu dan tematika. Namun, tidak dapat disangkal, pergaulan horisontal antarperupa menunjukkan tegangan-tegangan (tensions) yang eskalatif. Tarik-menarik antara isu kreatif, melansir hegemoni tandingan, sampai sentimen pribadi mencuat ke permukaan secara masif. Gejala ini terasa benar di pergaulan mereka.
Berbagai komunitas tumbuh menjamur. Namun, uniknya, mereka dibentuk oleh orang-orang yang sama pula. Tidak terlihat jelas apa ideologi dan target kesenian mereka. Komunitas itu lahir dan untuk kemudian, tidak terlalu lama, mati.
Kehadiran ruang-ruang pamer di Semarang tidak mampu menampung seluruh aktivitas para perupanya. Tentu saja dengan banyak pertimbangan di belakangnya. Akan tetapi, satu hal bisa dipastikan bahwa kehadiran ruang-ruang itu memberikan citraan positif tentang geliat kesenirupaan kota.
Sebenarnya tidak mudah mengelola suatu art-space apalagi di tengah-tengah kepungan pendapat Semarang bukan kota kesenian yang ideal. Hambatan terbesar, tentu saja, adalah faktor pendanaan yang tidak melimpah. Ini memang masalah klasik dan tidak (atau belum) terpecahkan selama ini. RSY pun menghadapi kendala yang sama. Hampir pada semua kegiatannya terbentur pada minimnya sumber dana. Ini situasi yang dilematis. Pada satu sisi RSY berniat memberikan pendidikan dan pengetahuan kesenirupaan yang bermutu dan, tentu saja, hal ini membutuhkan pendanaan tidak sedikit. Sisi lainnya, RSY tidak mempunyai sumber dana permanen. Alhasil, mengelola RSY membutuhkan energi cadangan yang besar dan kiat-kiat khusus agar semua programnya berjalan lancar.
Selama ini program-program RSY disusun tidak terlalu ketat. Bisa saja di tengah jalan sebuah program ditukar atau diganti karena alasan tertentu. Anehnya, dan hal ini patut disyukuri, selama hampir dua tahun usianya RSY tidak pernah kekurangan kegiatan. Tidak jarang sebuah program dibuat dadakan. Pada ketika lain sebuah program dilaksanakan berkat kerja sama dengan pihak ketiga. Beberapa program berasal dari inisiatif atau produksi RSY sendiri.
Satu hal yang sangat membantu dan berpengaruh terhadap perkembangan atau kemajuan RSY ialah jejaring yang terbentuk secara baik dengan banyak pihak. Rasanya banyak pihak, perorangan atau kelembagaan, dengan senang hati bekerja sama dengan RSY. Dugaan saya, para pihak itu tertarik pada aktivitas RSY yang beragam dan terkesan ‘bermutu’. Sebagian menganggap kegiatan RSY kental bernuansa ‘kebudayaan’, bukan cuma aktivitas murahan yang berkedok kesenian. Ada juga anggapan bahwa reputasi RSY cepat terangkat karena publik sebelumnya sudah mengenal saya sebagai penulis seni rupa.
Fakta menunjukkan, kehadiran RSY telah diperhitungkan sebagai ruang mediasi dan kajian seni visual yang menonjol di Semarang. Eksistensi RSY dicermati dan diharapkan banyak kalangan agar berumur panjang, namun tidak sedikit pula yang mencibir serta menunggu saat kematiannya.
Saya hendak menutup esai pendek ini dengan informasi ini: sejumlah anak muda – dari disiplin seni rupa, sastra, teater, musik, dan film – mulai berkerumum di RSY dengan segenap gagasan dan kreasi segar mereka.
AWAS! Recent Arts from RSY!
*Diantarkan pada Seminar Nasional Seni Rupa Indonesia 2007 “Demi Mas[s]a”, Galeri Nasional, Jakarta, 12—13 Juli 2007
**Tubagus P. Svarajati, Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang, Jawa Tengah
[Catatan: Esai ini (dengan 29 catatan kaki) akan dipresentasikan pada seminar nasional seni rupa Indonesia 2007, tajuk "Membangun Dinamika Seni Rupa Indonesia", di Galeri Nasional Jakarta. Menurut TOR Panitia, seminar ini menyajikan 13 nara sumber (diseleksi dari 50 usulan makalah) dari beberapa kota seluruh Indonesia dan akan dimoderatori oleh Dr. Agus Burhan, Rizky Zaelani, dan Mamannoor. Seminar akan dipantau dan dikomentari oleh Bambang Budjono, Suwarno Wisetrotomo, Amna Sardono W. Kusumo, dan Nindityo Adipurnomo.]
Subscribe to:
Posts (Atom)