MEMINDAI SEMARANG*
Oleh Tubagus P. Svarajati** – Semarang
Bagaimana membaca pergerakan seni rupa di suatu kota? Bagaimana mengelola suatu art-space? Bagaimana merumuskan strategi sambil meluaskan jejaring?
Tidak mudah bagi saya menguraikan tiga hal di atas. Sengkarut makin rumit terlebih bagi saya yang tidak berlatar edukasi formal-akademik kesenirupaan, terlahir sebagai seorang China, tidak kaya meski tidak teramat miskin pula, dan pula bekas peternak babi.
Fakta objektif di atas sedikit atau banyak mempersulit langkah saya mengatur atau menyelenggarakan kegiatan di Rumah Seni Yaitu: (RSY). Saya pun tidak terlalu mudah menulis esai kritik seni lagi padahal aktivitas menulis ini sudah saya lakukan lama sebelum saya mengelola RSY. Perlu waktu beberapa lama mempertimbangkan sebelum saya memutuskan kembali menulis. Alasannya sederhana, karena tidak ada seorang pun – penulis atau sekalipun yang mendaku sebagai kurator seni rupa di Semarang – yang memediasikan perhelatan atau pergerakan kesenirupaan Semarang ke hadapan medan sosial seni (art-world) Indonesia. Bahkan tidak pula di tingkat regional. Tulisan mengenai kesenirupaan pada umumnya hanya berupa reportase jurnalistik.
Niat menulis, kurang-lebih, didasari intensi hendak membantu medan sosial seni Semarang. Hemat saya, apapun isi tulisan atau kritik saya yang terbit di media massa lokal ataupun nasional, sekurang-kurangnya memberikan informasi tentang peristiwa seni yang terjadi di Semarang. Sejatinya ini menguntungkan jika dipandang dari sisi pencitraan kota. Ambil contoh esai saya tentang genre lukisan realis-naturalis yang berkembang di Semarang. Tulisan itu sontak mengingatkan publik seni rupa Indonesia tentang eksistensi kesenirupaan sebuah kota yang dikenal hanya sebagai tempat lahir Raden Saleh.
Tulisan saya di atas mengetengahkan istilah “mangga-pisang-jambu”. Istilah ini sebenarnya suatu stigmatisasi yang menunjuk pada fenomena penggayaan seni lukis realis-naturalis tertentu. Jenis lukisan itu dicemooh dengan dalih tidak memberikan wacana apapun berhubung visualitasnya hanya sebatas flora-fauna, lanskap, taferil, sosok potret, dan objek keseharian lainnya. Uniknya, sebagian orang justru bangga pada julukan itu. Mereka bahkan mengartikan penamaan itu, berikut jenis genre seni lukis yang dijulukinya, sebagai aset Semarang yang perlu dilestarikan. Lantas, lahirlah satu istilah lagi, yakni seni lukis “bebek-adus-kali”.
Di luar penggayaan realis-naturalis di atas ada juga genre atau visualitas yang berbeda. Pada umumnya perupa yang mengusung bahasa visual ‘baru’ itu adalah alumni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang, Institut Seni Indonesia (ISI), atau mereka yang sedikitnya pernah mengenyam pendidikan formal kesenirupaan. Mereka inilah yang sekarang meramaikan diskursus kesenirupaan Semarang. Tidak sedikit di antara mereka mulai sering diundang berpameran di luar kota Semarang.
Para perupa akademis kini banyak bermunculan di Semarang. Sebagian besar adalah mahasiswa seni rupa Unnes. Mereka terutama masih duduk di bangku kuliah semester empat ke atas. Aktivitas yang menonjol dari mereka adalah “K to K Project”. Ini adalah proyek pameran yang dilangsungkan di rumah-rumah kos para mahasiswa di seputar kampus Unnes, Sekaran, Gunung Pati, Semarang.
Tidak dapat disangkal, diskursus kesenirupaan Semarang kini beralih pada gerak para perupa akademis. Hampir tidak ada kegiatan berarti yang muncul dari para perupa otodidak. Ruang gerak perupa otodidak hanya dari satu bursa ke bursa saja. Sebelumnya para perupa otodidak itu sempat bergabung dalam satu wadah, yaitu Komunitas Kayangan.
Seturut yang bisa diamati, visualitas kesenirupaan Semarang menunjukkan keragaman ketimbang satu dasawarsa lampau. Pokok soal (subject matters) pun merambah bermacam isu dan tematika. Namun, tidak dapat disangkal, pergaulan horisontal antarperupa menunjukkan tegangan-tegangan (tensions) yang eskalatif. Tarik-menarik antara isu kreatif, melansir hegemoni tandingan, sampai sentimen pribadi mencuat ke permukaan secara masif. Gejala ini terasa benar di pergaulan mereka.
Berbagai komunitas tumbuh menjamur. Namun, uniknya, mereka dibentuk oleh orang-orang yang sama pula. Tidak terlihat jelas apa ideologi dan target kesenian mereka. Komunitas itu lahir dan untuk kemudian, tidak terlalu lama, mati.
Kehadiran ruang-ruang pamer di Semarang tidak mampu menampung seluruh aktivitas para perupanya. Tentu saja dengan banyak pertimbangan di belakangnya. Akan tetapi, satu hal bisa dipastikan bahwa kehadiran ruang-ruang itu memberikan citraan positif tentang geliat kesenirupaan kota.
Sebenarnya tidak mudah mengelola suatu art-space apalagi di tengah-tengah kepungan pendapat Semarang bukan kota kesenian yang ideal. Hambatan terbesar, tentu saja, adalah faktor pendanaan yang tidak melimpah. Ini memang masalah klasik dan tidak (atau belum) terpecahkan selama ini. RSY pun menghadapi kendala yang sama. Hampir pada semua kegiatannya terbentur pada minimnya sumber dana. Ini situasi yang dilematis. Pada satu sisi RSY berniat memberikan pendidikan dan pengetahuan kesenirupaan yang bermutu dan, tentu saja, hal ini membutuhkan pendanaan tidak sedikit. Sisi lainnya, RSY tidak mempunyai sumber dana permanen. Alhasil, mengelola RSY membutuhkan energi cadangan yang besar dan kiat-kiat khusus agar semua programnya berjalan lancar.
Selama ini program-program RSY disusun tidak terlalu ketat. Bisa saja di tengah jalan sebuah program ditukar atau diganti karena alasan tertentu. Anehnya, dan hal ini patut disyukuri, selama hampir dua tahun usianya RSY tidak pernah kekurangan kegiatan. Tidak jarang sebuah program dibuat dadakan. Pada ketika lain sebuah program dilaksanakan berkat kerja sama dengan pihak ketiga. Beberapa program berasal dari inisiatif atau produksi RSY sendiri.
Satu hal yang sangat membantu dan berpengaruh terhadap perkembangan atau kemajuan RSY ialah jejaring yang terbentuk secara baik dengan banyak pihak. Rasanya banyak pihak, perorangan atau kelembagaan, dengan senang hati bekerja sama dengan RSY. Dugaan saya, para pihak itu tertarik pada aktivitas RSY yang beragam dan terkesan ‘bermutu’. Sebagian menganggap kegiatan RSY kental bernuansa ‘kebudayaan’, bukan cuma aktivitas murahan yang berkedok kesenian. Ada juga anggapan bahwa reputasi RSY cepat terangkat karena publik sebelumnya sudah mengenal saya sebagai penulis seni rupa.
Fakta menunjukkan, kehadiran RSY telah diperhitungkan sebagai ruang mediasi dan kajian seni visual yang menonjol di Semarang. Eksistensi RSY dicermati dan diharapkan banyak kalangan agar berumur panjang, namun tidak sedikit pula yang mencibir serta menunggu saat kematiannya.
Saya hendak menutup esai pendek ini dengan informasi ini: sejumlah anak muda – dari disiplin seni rupa, sastra, teater, musik, dan film – mulai berkerumum di RSY dengan segenap gagasan dan kreasi segar mereka.
AWAS! Recent Arts from RSY!
*Diantarkan pada Seminar Nasional Seni Rupa Indonesia 2007 “Demi Mas[s]a”, Galeri Nasional, Jakarta, 12—13 Juli 2007
**Tubagus P. Svarajati, Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang, Jawa Tengah
[Catatan: Esai ini (dengan 29 catatan kaki) akan dipresentasikan pada seminar nasional seni rupa Indonesia 2007, tajuk "Membangun Dinamika Seni Rupa Indonesia", di Galeri Nasional Jakarta. Menurut TOR Panitia, seminar ini menyajikan 13 nara sumber (diseleksi dari 50 usulan makalah) dari beberapa kota seluruh Indonesia dan akan dimoderatori oleh Dr. Agus Burhan, Rizky Zaelani, dan Mamannoor. Seminar akan dipantau dan dikomentari oleh Bambang Budjono, Suwarno Wisetrotomo, Amna Sardono W. Kusumo, dan Nindityo Adipurnomo.]
No comments:
Post a Comment