DARI dokumentasi katalogus pameran, kurun 1995—2005, cuma ada delapan kali pameran seni rupa di Semarang. Padahal, dalam catatan saya pribadi, tidak kurang dari dua puluh lima perhelatan dilangsungkan pada 2005 saja.
Apa yang keliru dan siapa yang mendata peristiwa seni Semarang itu? Dari sini muncul indikasi, betapa pentingnya dokumentasi yang absah bagi perkembangan dan sejarah seni kota. Dokumentasi bisa memunculkan dan sekaligus meniadakan aktivitas-aktivitas yang pernah berlangsung.
Catatan tentang kesenirupaan Semarang itu muncul dalam “Folders” terbitan Indonesian Visual Art Archive (IVAA) Yogyakarta. Dulu IVAA bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC) yang bergerak dalam domain riset dan dokumentasi seni rupa kontemporer Indonesia. Folders adalah buku laporan 10 tahun berdirinya YSC, terbit tahun ini.
Disebutkan, kesenirupaan Semarang berlangsung (hanya) di Gedung Teater PKJT Semarang, Galeri Semarang, Galeri Dahara, Rumah Seni Yaitu, dan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito. Kedua penulis (periset) buku – Nuraini Juliastuti dan Yuli Andari Merdikaningtyas – mengakui, materi katalogus itu bukan representasi utuh apa yang terjadi sehingga mungkin ada banyak hal yang luput dan tidak bisa dipetakan. Kita pun mafhum, peristiwa seni visual di Semarang seringkali tidak menerbitkan katalogus.
Akan tetapi, data di atas memantik pertanyaan, seberapa penting dokumentasi bagi pertumbuhan kesenirupaan kota? Hemat saya, catatan apa saja tentang peristiwa seni sangat signifikan, bahkan dalam beberapa kasus mampu mendaku bahwa aktivitas termaksud eksis dan bernilai.
Menimbang rendah fungsi dokumentasi berarti menghilangkan sebagian bangunan memori kolektif masyarakat. Para pelaku seni tidak mampu mengevaluasi karena tidak bercermin, hingga tidak bisa merancang strategi, modus, sampai pada metoda berkesenian mereka pada masa depannya. Jika terjadi demikian, maka ini pertanda kesadaran sejarah yang rendah. Akibatnya jelas, riwayat seni suatu kota tidak terpetakan. Contoh ekstrem, juga terlihat di Folders, pada kurun yang sama di Kudus hanya ada dua kali pameran seni rupa.
Dokumentasi bisa berbentuk material publikasi cetakan dan rekaman audiovisual. Buku, katalogus, poster, brosur, leaflet, kliping koran atau majalah, undangan adalah dokumentasi berbentuk cetakan. Sedangkan audiovisual meliputi film, video, kaset, dan foto. Catatan-catatan yang dibuat seniman, mengiringi suatu proses penciptaan karyanya, juga termasuk data dokumentasi. Dalam era serba digital ini tidak sulit menyimpan data-data itu dalam bentuk cakram CD. Murah dan efektif.
Dokumentasi Proaktif
Yang diperlukan ialah menumbuhkan kesadaran dan sikap proaktif tentang signifikansi fungsi dokumentasi. Idealnya di setiap kota tersedia pusat data yang mengelola semua aktivitas seni visual yang terjadi. Praktik pencatatan ini, contoh di Semarang, bisa dilakukan oleh Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang atau Dewan Kesenian Semarang. Namun, saya tidak yakin keduanya melakukan praktik itu.
Lemahnya praktik dokumentasi pada semua lembaga seni suatu kota harus disikapi secara lapang dada oleh para aktivis seninya. Pelaku seni, dengan upaya sendiri dan semaksimal mungkin, harus mengambil peran sebagai dokumentator independen. Meski tanpa membentuk kelembagaan apapun, toh secara personal upaya itu mudah dilakukan.
Semua data mesti disimpan, diatur, dan dipilah-pilah agar mudah digunakan. Upaya ini akan berbuah publisitas dan jejaring yang meluas. Sebab, jelas sekali, dokumentasi itu juga berfungsi sebagai portofolio pelaku dan sejarah seni kota.
Mulailah mengumpulkan dan menyimpan data-data, sebagian diarsipkan sendiri dan sebagian dihibahkan pada IVAA. Lembaga ini bukan lembaga super dengan kinerja dan pendanaan yang besar sehingga mampu melakukan praktik dokumentasi swamandiri.
Ketidaktahuan atau ketidakpedulian pada YSC, yang telah berusia sepuluh tahun, menjelaskan lemahnya kesadaran pelaku seni kota, tidak terkecuali Semarang. Fakta ini juga mendeskripsikan belum optimalnya YSC melakukan publikasi dan menyebarkan informasinya pada khalayak.
Menurut pengelola, arsip lembaga ini diakses oleh para peneliti, seniman, mahasiswa dan peminat kajian seni visual, dan publik umum. Lembaga ini dikenal juga sebagai pusat referensi literatur seni (bukan hanya seni visual kontemporer) yang lengkap. Koleksinya meliputi: buku teks, katalogus pameran seni rupa, arsip seniman, koleksi artikel atau kliping, vertical files (brosur, poster, pamflet, dan lain-lain), laporan penelitian, terbitan berkala, dokumentasi event seni, makalah, komik, audiovisual, dan slide karya seniman Indonesia.
Lembaga seperti IVAA, di tengah-tengah ketidakpedulian dan nihilnya peran negara, penting bagi pertumbuhan infrastruktur seni visual kontemporer Indonesia. Sepantasnya IVAA dan koleksinya dimanfaatkan oleh pelaku atau aktivis seni demi penguatan jejak seni suatu kota. IVAA harus dirawat dan didukung bersama-sama.
TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
[CATATAN: Artikel ini dikirimkan ke KOMPAS, Rabu (13/6)]
No comments:
Post a Comment