Photography:
Prasetyo Budi Utomo
[Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Kamis, 1 Maret 2007]
Saya senang mengutip pendapat Susan McCartney. Katanya, fotografer harus mempunyai foreigner’s eyes. Tentu saja ini cuma ungkapan, bukan makna semantik. Artinya, juru foto mesti bersikap bak orang asing yang memiliki kuriositas tinggi.
Sudah jamak orang asing selalu menanapi sekelilingnya. Baginya, hampir semua hal menawan dan menarik perhatian. Selalu saja ada tempat atau peristiwa yang belum (atau tidak) pernah dilihat sebelumnya. Itu semua menimbulkan rasa kagum dan hormat yang dalam.
Bukankah amsal ‘mata orang asing’ itu tak berlebihan dan harus pula dimiliki oleh para juru foto kita?
Juru foto – profesional atau amatir – pantas menyemai postulat itu. Bahkan para jurnalis pun tak terkecuali. Dengan kuriositas yang tinggi, rasa hormat, dan pikiran terbuka, maka bisa jadi dunia terbentang luas untuk bisa diapresiasi lebih baik.
Acapkali mata para juru foto tersilap oleh perkara rutinitas. Yang kecil-mungil, remeh-temeh, atau yang terselip tak kunjung memikat mata mereka. Tidak jarang pula mata juru foto hanya tersilau oleh peristiwa spektakuler. Atau biasanya tergetar oleh yang kasat dan di depan mata saja. Naga-naganya memang beginilah perkara kita: kilauan mentari lebih mencabar nurani ketimbang sinaran rembulan.
Padahal, dengan beringsut, mengendap, atau menengadah sekejap barangkali ada momen berkilat-kilat bakal terekam.
Tetapi, berbekal mata-okuler saja tak cukup. Syahdan, juru foto perlu melengkapi diri dengan mata-batin pula. Ini tentang indra yang tak maujud, pun kisahan yang tak mudah dijabarkan.
Dengan mata-batin, seorang juru foto niscaya mampu menggali apa-apa di sebalik realita. Ia tak mudah terkecoh oleh pesona empirikal belaka, namun selalu menelisik dan membidik jantung berita. Lihat, seorang juru foto tak terpukau oleh drama pemakaman Kennedy. Dia mengabadikan serdadu peniup terompet yang berleleran air mata. Potret simbolik itu mencekam oleh karena satu hal penting: prajurit itu berkulit hitam. Kita tahu, saat itu Amerika tak begitu ramah pada kaum kulit berwarna.
Eddy Hasby, salah satu jurnalis foto kampiun Indonesia, pun memotret dengan mata-batin. Ia merekam Timor Timur, suatu ketika. Duka lara bumi Loro Sae itu tercermin pada potret seorang ibu, berkerudung, menggenggam serangkai bunga, dan air mata merebak di pelupuknya.
Tidak lain inilah pamungkasnya: milikilah mata (orang) asing dan memotretlah dengan mata-batin. (Tubagus P. Svarajati)***
Monday, August 20, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment