Tuesday, October 2, 2007

Ruang Hampa

Art work of Fang Lijun

HAMPA tidak berarti kosong. Seperti halnya pengetahuan hidup ala oriental, seperti juga Zen Budhisme, kosong itu berisi. Kosong itu punya energi yang tak terbatas.

Ruang hampa, dalam dunia cyber, bukanlah kehampaan imajiner. Justru kehampaan itu penuh gejolak, padat informasi, penuh lalu-lalang komoditas kebudayaan.

Reifikasi dunia internet telah menelorkan satu pemahaman baru, bahwa ini pun sebuah “dunia”. Sebuah dunia yang meneguhkan hegemoni budaya massa dan seni dalam ruang-ruang yang kapitalistik.

Tetapi komodifikasi seni-budaya bukanlah gagasan yang digulirkan Marxisme. Seperti juga kegagalan membidani masyarakat tanpa kelas, maka Marx dan Engels pun bersimpuh di depan model persekongkolan buruh-pemilik kapital.

Senyatanya, dalam era globalisasi, seni-budaya makin mengekalkan kapitalisme. Dan ketika penetrasi sudah demikian tajamnya, mampukah seni menolak ketergantungannya pada para pemodal?

Maka terasa aneh ketika Moelyono, seniman lulusan ISI Yogya, justru kembali ke desanya di Tulungagung, Jawa Timur. Moelyono lalu melakukan aksi kultural bersama masyarakat desa.

Orang-orang desa yang dalam kurun waktu lama termarjinalisasi dibangkitkan partisipasinya dalam ranah publik dan politik: dengan meminjam bahasa visual/seni rupa yang ditawarkan oleh Moelyono.

Berhasilkah aksi Moelyono itu? Agaknya sejarah masih membuka pintunya lebar-lebar untuk mengafirmasinya.

Pada bilik yang lain sejarah juga mencatat kehadiran seniman Dede Eri Supria. Seniman yang dengan realisme-fotografisnya itu selalu membabarkan kisah para jelata dalam kanvas-kanvasnya.

Sosok rakyat dalam kanvas Dede dimunculkan dalam labirin yang tak bertepi: dehumanisasi dalam ruang-ruang imajiner.

Dalam konteks fotografi salon di Indonesia mirip-mirip model kesenian Dede tampak jelas di dalamnya. Rakyat digambarkan dalam kesehariannya yang – sejujurnya – tidak dalam kehidupan riil mereka. Suatu artikulasi kerakyatan yang manipulatif.

Subjek-rakyat divisualisasikan menurut asosiasi pemotretnya. Rakyat lantas jatuh pada titik nadir objektivasi. Anasir rakyat dan kerakyatannya dalam karya foto salonis tergelincir sebagai etalase objek-objek belaka. Akhirnya lahirlah fetisisme kerakyatan dengan pemberhalaan yang berlebihan pada paham eksotisme.

Jelas, fotografi salon adalah bagian dari nilai-nilai kapitalistik yang disemai terus oleh para kapitalis itu sendiri. Fotografi salon ialah ruang hampa humanisme. Pada aras ini, kita musti mengkritisi kegagalan juru foto saat menampilkan subjek-rakyat.

Tidakkah diperlukan ideologi atau pendekatan fotografis baru ketika harus membidik subjek-rakyat?***

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Buletin PAF Bandung No. 01/2004]

No comments: