Yth. Ki Sobat: Tubagus P. Svarajati. Saya merasa tersanjung atas kerendah-hatian anda untuk menghadirkan saya sebagai guru anda dalam soal menulis.
Kalimat pembuka itu dituliskan oleh Mamannoor, dalam salah satu surat elektroniknya, kepada saya. Kepadanya saya berkata, saya ingin tulisan saya dibedah sembari, sebagai kausalitas atas kesediaannya mengajari, ia saya daulat sebagai guru dalam soal menulis kritik seni rupa.
Mamannoor senang dan bersedia memberikan kritikannya. Lantas ia menguraikan kekurangan dan kelebihan tiga esai yang saya kirimkan di koran lokal, tetapi ditolak diterbitkan. Kesediaannya memberikan kritik dan saran adalah upaya berkomunikasi. “Komunikasi seperti menjadi sangat penting, khususnya tukar-menukar pengalaman,” ujarnya.
Dengan cara itu Mamannoor mendudukkan diri tidak pada posisi ultim. Sedangkan saya, yang meminta advis, di hadapannya, tidak berada di titik periferi. Saya berkesan, Mamannoor seorang yang moderat dan sekaligus egaliter.
Kejadian itu berlangsung sekitar tahun 2003. Pada seputaran tahun itulah Mamannoor sering bertandang ke Semarang. Dia berkunjung atas undangan Arie Setiawan. Sosok terakhir ini dikenal luas di Semarang sebagai pengusaha periklanan. Ternyata Arie Setiawan seorang pelukis pula. Pameran tunggalnya yang pertama, di Balai Pemuda Surabaya, 2004, turut dipersiapkan oleh Mamannoor. Kecocokan keduanya membawa Mamannoor kerap ke Semarang.
Sepertinya Mamannoor menemukan sosok sang ayah, yang tidak dikenalnya sejak kecil, pada figur Arie Setiawan.
Empat bulan lalu Arie Setiawan berpulang. Mamannoor menyusulnya pada Minggu siang (7/10). Arie Setiawan lama mengidap sakit paru-paru kronis, sedangkan Mamannoor didera penyakit kanker kelenjar getah bening.
Anak tunggal pasangan Emi Rohaeni dan Abdullah Latief – keduanya telah mendiang – itu mangkat pada usia ke-49 tahun di RS Imannuel Bandung.
Mamannoor senang dan bersedia memberikan kritikannya. Lantas ia menguraikan kekurangan dan kelebihan tiga esai yang saya kirimkan di koran lokal, tetapi ditolak diterbitkan. Kesediaannya memberikan kritik dan saran adalah upaya berkomunikasi. “Komunikasi seperti menjadi sangat penting, khususnya tukar-menukar pengalaman,” ujarnya.
Dengan cara itu Mamannoor mendudukkan diri tidak pada posisi ultim. Sedangkan saya, yang meminta advis, di hadapannya, tidak berada di titik periferi. Saya berkesan, Mamannoor seorang yang moderat dan sekaligus egaliter.
Kejadian itu berlangsung sekitar tahun 2003. Pada seputaran tahun itulah Mamannoor sering bertandang ke Semarang. Dia berkunjung atas undangan Arie Setiawan. Sosok terakhir ini dikenal luas di Semarang sebagai pengusaha periklanan. Ternyata Arie Setiawan seorang pelukis pula. Pameran tunggalnya yang pertama, di Balai Pemuda Surabaya, 2004, turut dipersiapkan oleh Mamannoor. Kecocokan keduanya membawa Mamannoor kerap ke Semarang.
Sepertinya Mamannoor menemukan sosok sang ayah, yang tidak dikenalnya sejak kecil, pada figur Arie Setiawan.
Empat bulan lalu Arie Setiawan berpulang. Mamannoor menyusulnya pada Minggu siang (7/10). Arie Setiawan lama mengidap sakit paru-paru kronis, sedangkan Mamannoor didera penyakit kanker kelenjar getah bening.
Anak tunggal pasangan Emi Rohaeni dan Abdullah Latief – keduanya telah mendiang – itu mangkat pada usia ke-49 tahun di RS Imannuel Bandung.
***
Pada awal-awal kehadiran Mamannoor di Semarang seringkali saya menjadi pemandunya. Dia seorang kolektor buku komik lawasan. Kami ‘berburu’ ke Pasar Johar (lantai 2). Perburuan komik bekas itu juga mengantarkan kami hingga ke suatu kampung di bilangan Pasar Jrakah. Di bekas persewaan buku itu Mamannoor memborong ratusan komik; satu dus besar. Tetapi, sayangnya, dia tidak mendapatkan karya Taguan Harjo, pengarang kesukaannya itu.
Bergaul dengan Mamannoor membawa kegembiraan untuk belajar terus. Kami membincangkan buku-buku dan diskursus seni rupa mutakhir. Dalam suatu kesempatan dia mencetuskan obsesinya untuk menulis buku-buku teks. Lelaki santun itu mambayangkan kerja intelektual yang menantang. Ia ingin dikenang sebagai cendekiawan.
Tesisnya dibukukan berjudul “Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia, Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis” (Penerbit Nuansa, Bandung: 2002). Dia menandaskan pentingnya suatu kritik seni rupa dilakukan secara holistik dan perlunya menimbang keberadaan subjek seniman. Cara pandang itu disebut kritik seni rupa kosmologis.
“Yang menarik adalah, ketika orang beramai-ramai menggunakan berbagai paradigma baru macam fenomenologi, post-strukturalisme, atau hermeneutik, Mamannoor sepertinya tetap melihat pentingnya dasar yang bersifat positivistik,” kata Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Parahyangan Bandung.
Di Semarang, difasilitasi oleh Arie Setiawan, Mamannoor memberikan lokakarya penulisan kritik jurnalistik seni rupa untuk guru-guru dan wartawan. Dia berpegang pada teknik penulisan yang memudahkan pemahaman. Baginya, pilihan diksi dan gramatika penulisan menjadi rujukan utama.
Mamannoor juga membagi ilmunya kepada para pelukis autodidak Semarang dalam suatu lokakarya kreatif seni rupa. Peserta lokakarya kemudian menggabungkan diri menjadi Komunitas Kayangan (Komka) yang mengambil nama sebuah rumah, milik Sarutomo, yang dinamai Kayangan di Jalan Borobudur Utara, Semarang. Untuk pertama kalinya Komka berpameran bersama dengan tajuk “Kakilangit Baru”, Museum Ronggowarsito, 2004. Pameran ini diyakini memunculkan aspek visual dan presentasi ‘baru’ bagi kalangan seniman mandiri itu.
Beberapa seniman muda Semarang diikutkan pada pameran-pameran yang dikurasinya, seperti “Artclips” (2004) dan “The Realistage” (2005). Ada pula mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang yang diajak berpameran di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta.
Sampai akhir hayatnya Mamannoor masih tercatat sebagai salah satu kurator GNI. Tidak jarang dia melanglang ke luar negeri mengawal pameran seniman Indonesia. Dia sering pula dipercayai sebagai konsultan atau kurator di satu-dua galeri di Tanah Air. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang luas, tak ayal, dia membawa angin perubahan ketika masih sering berkunjung ke Semarang.
Sebagian seniman Semarang berterima kasih atas uluran tangan dinginnya. Sebaliknya, ada juga yang mencibir. Dia dicurigai ingin ‘mempola’ praktik produksi artistik seniman lokal. Resistensi beberapa ‘seniman’ dan ‘pekerja seni’ itu ditengarai hanya kekhawatiran semu, misalnya, karena domain ‘kekuasaan’ mereka terinterupsi.
Mamannoor, sejauh yang saya kenal, tidak berpretensi menjadi imperialis. Dalam banyak kesempatan bahkan bapak tiga putri itu bersikap sangat terbuka. Dia tidak pelit membagi ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasannya disampaikan secara deskriptif dan terang. Mamannoor adalah sosok guru yang artikulatif.
Bergaul dengan Mamannoor membawa kegembiraan untuk belajar terus. Kami membincangkan buku-buku dan diskursus seni rupa mutakhir. Dalam suatu kesempatan dia mencetuskan obsesinya untuk menulis buku-buku teks. Lelaki santun itu mambayangkan kerja intelektual yang menantang. Ia ingin dikenang sebagai cendekiawan.
Tesisnya dibukukan berjudul “Wacana Kritik Seni Rupa di Indonesia, Sebuah Telaah Kritik Jurnalistik dan Pendekatan Kosmologis” (Penerbit Nuansa, Bandung: 2002). Dia menandaskan pentingnya suatu kritik seni rupa dilakukan secara holistik dan perlunya menimbang keberadaan subjek seniman. Cara pandang itu disebut kritik seni rupa kosmologis.
“Yang menarik adalah, ketika orang beramai-ramai menggunakan berbagai paradigma baru macam fenomenologi, post-strukturalisme, atau hermeneutik, Mamannoor sepertinya tetap melihat pentingnya dasar yang bersifat positivistik,” kata Bambang Sugiharto, pengajar filsafat Universitas Parahyangan Bandung.
Di Semarang, difasilitasi oleh Arie Setiawan, Mamannoor memberikan lokakarya penulisan kritik jurnalistik seni rupa untuk guru-guru dan wartawan. Dia berpegang pada teknik penulisan yang memudahkan pemahaman. Baginya, pilihan diksi dan gramatika penulisan menjadi rujukan utama.
Mamannoor juga membagi ilmunya kepada para pelukis autodidak Semarang dalam suatu lokakarya kreatif seni rupa. Peserta lokakarya kemudian menggabungkan diri menjadi Komunitas Kayangan (Komka) yang mengambil nama sebuah rumah, milik Sarutomo, yang dinamai Kayangan di Jalan Borobudur Utara, Semarang. Untuk pertama kalinya Komka berpameran bersama dengan tajuk “Kakilangit Baru”, Museum Ronggowarsito, 2004. Pameran ini diyakini memunculkan aspek visual dan presentasi ‘baru’ bagi kalangan seniman mandiri itu.
Beberapa seniman muda Semarang diikutkan pada pameran-pameran yang dikurasinya, seperti “Artclips” (2004) dan “The Realistage” (2005). Ada pula mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang yang diajak berpameran di Galeri Nasional Indonesia (GNI) Jakarta.
Sampai akhir hayatnya Mamannoor masih tercatat sebagai salah satu kurator GNI. Tidak jarang dia melanglang ke luar negeri mengawal pameran seniman Indonesia. Dia sering pula dipercayai sebagai konsultan atau kurator di satu-dua galeri di Tanah Air. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang luas, tak ayal, dia membawa angin perubahan ketika masih sering berkunjung ke Semarang.
Sebagian seniman Semarang berterima kasih atas uluran tangan dinginnya. Sebaliknya, ada juga yang mencibir. Dia dicurigai ingin ‘mempola’ praktik produksi artistik seniman lokal. Resistensi beberapa ‘seniman’ dan ‘pekerja seni’ itu ditengarai hanya kekhawatiran semu, misalnya, karena domain ‘kekuasaan’ mereka terinterupsi.
Mamannoor, sejauh yang saya kenal, tidak berpretensi menjadi imperialis. Dalam banyak kesempatan bahkan bapak tiga putri itu bersikap sangat terbuka. Dia tidak pelit membagi ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasannya disampaikan secara deskriptif dan terang. Mamannoor adalah sosok guru yang artikulatif.
***
Kurator kelahiran Losari, Jawa Barat, 21 Agustus 1958, itu meninggalkan seorang istri (Lien Herlina) dan tiga putri (Sandya Maulana, Tyar Ratuanissa, dan Lalitya Putri Noorullya). Mamannoor menamatkan pendidikan sarjana dan pascasarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), ITB-Bandung. Dia merupakan dosen tetap di Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Bandung, mengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, dan Program Magister, FSRD-ITB.
Mamannoor dikenal sebagai penulis artikel, esai, dan kritik seni rupa yang sangat produktif. Tulisannya tersebar di berbagai media massa di Indonesia. Aktif pula menuliskan pengantar pameran di katalogus-katalogus. Dia menulis beberapa buku, antara lain, 55 Tahun Seni Lukis Popo Iskandar; Imagi dan Abstraksi Umi Dachlan; Jeihan-Jeihan-Jeihan (edisi bahasa Prancis dan Inggris); Ambang Cakrawala Amang Rahman; dan Vision, Faith, and Journey in Indonesian Art (1955-2002) A.D. Pirous.
Suatu kali, tahun 2006, Mamannoor terserang stroke ringan di Magelang. Pagi-pagi buta dia, setelah mendapatkan penanganan pertama dokter Oei Hong Djien, kolektor seni rupa kenamaan, dilarikan ke RS Karyadi Semarang. Ketika itu Mamannoor terlihat bugar. Dia dinyatakan sehat.
Setelah itu, kabar mengembus, Mamannoor sering keluar-masuk rumah sakit setahun terakhir. Meski begitu dia tetap memenuhi undangan diskusi atau mengajar di berbagai tempat. Ia, bisa jadi, satu-satunya kurator seni rupa yang sering melanglang ke beberapa daerah di Indonesia dan, dengan begitu, paham perkembangan mutakhir seni rupa di tempat-tempat yang dikunjunginya.
Kepergian Mamannoor meninggalkan kenangan tersendiri bagi kalangan seni rupa Semarang. Paling tidak dia – bersama Arie Setiawan – telah menjadi bagian kontributif dari perkembangan seni rupa kota ini.
Selamat jalan, Pak Maman. Teruslah bercengkerama dengan Pak Arie. Kami mengenang sembari menanti (lagi) sosok-sosok seperti Anda berdua. (Tubagus P. Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang)
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis (11/10)]
Mamannoor dikenal sebagai penulis artikel, esai, dan kritik seni rupa yang sangat produktif. Tulisannya tersebar di berbagai media massa di Indonesia. Aktif pula menuliskan pengantar pameran di katalogus-katalogus. Dia menulis beberapa buku, antara lain, 55 Tahun Seni Lukis Popo Iskandar; Imagi dan Abstraksi Umi Dachlan; Jeihan-Jeihan-Jeihan (edisi bahasa Prancis dan Inggris); Ambang Cakrawala Amang Rahman; dan Vision, Faith, and Journey in Indonesian Art (1955-2002) A.D. Pirous.
Suatu kali, tahun 2006, Mamannoor terserang stroke ringan di Magelang. Pagi-pagi buta dia, setelah mendapatkan penanganan pertama dokter Oei Hong Djien, kolektor seni rupa kenamaan, dilarikan ke RS Karyadi Semarang. Ketika itu Mamannoor terlihat bugar. Dia dinyatakan sehat.
Setelah itu, kabar mengembus, Mamannoor sering keluar-masuk rumah sakit setahun terakhir. Meski begitu dia tetap memenuhi undangan diskusi atau mengajar di berbagai tempat. Ia, bisa jadi, satu-satunya kurator seni rupa yang sering melanglang ke beberapa daerah di Indonesia dan, dengan begitu, paham perkembangan mutakhir seni rupa di tempat-tempat yang dikunjunginya.
Kepergian Mamannoor meninggalkan kenangan tersendiri bagi kalangan seni rupa Semarang. Paling tidak dia – bersama Arie Setiawan – telah menjadi bagian kontributif dari perkembangan seni rupa kota ini.
Selamat jalan, Pak Maman. Teruslah bercengkerama dengan Pak Arie. Kami mengenang sembari menanti (lagi) sosok-sosok seperti Anda berdua. (Tubagus P. Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang)
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Kamis (11/10)]
2 comments:
Sayang ya tulisan Anda (kayaknya) gak dimuat di SM. Coba deh dikirim ke Pikiran Rakyat di rubrik Khasanah, untuk mengingat betapa sosok Mamannoor punya kontribusi di seni rupa di banyak daerah, meski di Bandung sendiri mungkin "tak begitu dianggap"...
Terima kasih untuk sarannya. Saya pikir mungkin sudah 'basi' untuk dikirimkan ke PR. Sedikit atau banyak Almarhum memang berjasa untuk Semarang.
Post a Comment