SILOGISME Orwell, dalam novelnya “1984”, itu mededahkan amsal totalitarianisme yang kronis. Kita diingatkan tentang sejarah yang terkooptasi oleh suatu rejim. Dalam konteks global kini, rejim itu entah militeristik, entah kapitalistik sekalipun.
Hegemoni kekuasaan kapital pada wilayah perkotaan, terutama di dunia ketiga, menyodorkan ilusi yang seragam: modernitas dianggap keniscayaan. Contoh modernitas itu tak lain: wajah kota yang gemerlap oleh gedung pencakar langit, termasuk agresivitas pembangunan mal, dan tumbuhnya konsumerisme. Semangat begini tidak saja disorongkan oleh pemodal dan para birokrat, namun pula digencarkan oleh sebagian media massa yang berpatgulipat dengan penguasa.
Janji-janji modernitas itu tak urung mendesak dan merobohkan, bahkan dalam frasa sebenarnya, banyak sekali bangunan atau ingatan manusia penghuni kota bersangkutan. Maka lahirlah semacam katastrofi: manusia tercerabut dari jejak sejarahnya.
Ambil contoh Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Ini sebuah gedung monumental, pada masanya, sebagai saksi sekaligus arena kebudayaan yang dihidupi oleh sebagian besar penduduk Semarang. Di gedung itu, antara lain, kelompok legendaris wayang wong Ngesti Pandowo rutin berpentas. Selain itu, GRIS adalah ajang bagi khalayak menyerap dan menimba kesenian serta hiburan murah. Sekarang, kita tahu, GRIS tinggal kenangan saja.
Masih segar dalam ingatan tatkala kami, serombongan anak muda dan pelukis senior Semarang, berpameran di sana. Pada tahun 1985 itu GRIS salah satu tempat yang sangat layak untuk pameran lukisan atau kesenian pada umumnya. Tajuk pameran itu “Bagimu ‘85”. Mungkin ini pameran lukisan terakhir di sana.
Sebentar lagi di sana akan berdiri pusat perbelanjaan modern: Paragon City. Ambruknya GRIS dan dibangunnya Paragon City, barangkali, bukan suatu kemunduran. Gelagat disrupsi begini – mengubur capaian sejarah kebudayaan dan memori kolektif yang panjang – toh bukan monopoli Semarang saja.
Akan tetapi Goenawan Mohamad mengingatkan, “…sebuah kota membutuhkan sebuah “sajak panjang”, dan tak hanya harus didirikan dengan ketidak-sabaran.”
Sastrawan terkemuka itu hendak mengatakan bahwa historisitas suatu kota, tentu paralel dengan kehidupan masyarakatnya, pantas diperhitungkan tatkala kota hendak dimodernisasi.
Menghapus Jejak
Tengoklah China. Agaknya wajah China yang sekarang sarat dengan ketidak-sabaran itu. Di dalam negeri irama pembangunan terasa riuh-rendah. Sudah pasti pola pembangunan itu menghapus dan menghilangkan kebijaksanaan lokal dan akar kebudayaan leluhur. Kota tumbuh menjulang dengan segenap kontradiksinya. Bersisian dengan gedung pencakar langit adalah artefak rumah-rumah kuno. Memang, jika disandingkan dengan ketinggian apartemen, kediaman warga itu terkesan tak layak.
Akan tetapi, barangkali kita alpa, model ‘moderniatas’ itu tak lain upaya sistematis perusakan sejarah fisik kota-kota dengan cara membuat yang baru di atas reruntuhan yang lama. Jelas, sepenggal ingatan warganya turut dilenyapkan.
Kota, lantas, tumbuh tanpa ingatan yang memadai. Itulah kira-kira yang hendak dikatakan oleh fotografer Sze Tsung Leong yang merekam perubahan topografi perkotaan China kontemporer (“History Images”, Portfolio No. 45, Juni 2007). Ia menandaskan, “Motivasi penghapusan sejarah pastilah berakar pada kehendak membentuk dan mengatur masyarakat.”
Sze Tsung Leong terasa ingin menunjukkan bahwa tegaknya bangunan-bangunan modern China sekarang melibatkan suatu rejim dengan kekuatan politik yang menelikung. Akan tetapi, rejim itu niscaya tidak bekerja soliter. Alih-alih sendirian, suatu rejim niscaya mengajak kekuatan kapital untuk membiayai rencananya.
Barangkali modus demikian terjadi pula di Semarang. Pelan namun pasti, penguasa kota seperti hendak menggempur satu per satu ingatan kolektif warganya. Sekarang GRIS dan besok, siapa tahu, Pasar Johar turut dilanggar jika masyarakat tak lagi sadar.
Sebagai bangsa yang besar, ironisnya, kita seringkali lupa pada kekeliruan yang pernah diperbuatnya. Bukankah riwayat Pecinan Semarang belum terkikis dari ingatan: pada kurun 70-an keindahan arsitektural pecinan itu dibabat habis oleh model politik represif rasialistis. Alhasil, façade bangunan menjadi seragam dan kehilangan auranya. Sekarang barulah terpikir, kita bersusah-payah hendak mengail rejeki turisme dari kawasan itu.
Merawat Ingatan
Justru sebelum semuanya terlambat, publik yang tidak berdaya secara politis –sub-altern seturut Gayatri Spivak – semestinya bahu-membahu menyuarakan maklumatnya sendiri demi peradaban madani yang lebih baik. Justru bangunan yang menyimpan jejak ingatan kolektif masyarakatnya haruslah dirawat demi keseimbangan jiwa dan ragawinya.
Ke depan, tak boleh lagi ada kebijakan publik yang merepresi kehidupan masyarakat umum. Siapa saja pemegang otoritas, termasuk para pengusaha makmur, tak sepantasnya diberikan hak berlebihan.
Kita mesti belajar mengingat terus, kendati ingatan manusia sependek nafasnya.***
TUBAGUS P SVARAJATI, Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Kompas, Minggu (23/9)]
No comments:
Post a Comment