Sunday, December 28, 2008

Semarang Sekarang Tidak Maju, Tidak Mundur

Artworks by Nindityo Adipurnomo showed at Rumah Seni Yaitu
in his solo exhibition "WWW dot JAVA", Dec 20-2008 to Feb 14-2009.
These pictures show the works are unpacked. (Photo: Collection of RSY)

PETA seni rupa Indonesia tahun 2008 amat hiruk-pikuk. Pokok soal terutama, dan penting, ialah isu dan praktik mendaras tentang pasar dan pemasaran produk kesenirupaan. Dalam beberapa segi, imbasnya menerpa Semarang pula.

Gebalau pemasaran karya seni rupa (khususnya lukisan), sepanjang tahun, telah mengalahkan atensi, pergulatan, bahkan meminggirkan sekadar perbincangan mengenai aspek-aspek kesenirupaan lainnya. Para pemangku kepentingan hanya tertarik pada isu-isu bagaimana produksi kesenirupaan diserap oleh mekanisme pasar secara lekas, lebih melambung, yang pada akhirnya hanya ingin mengeruk keuntungan finansial berlipat.

Seniman diburu oleh para pembutuh dan para pembutuh memburu, terutama, lukisan. Tarik-menarik di antara mereka melahirkan hasil kompromistis: gagasan menepi, visualitas gampangan diutamakan.

Fenomena kemelambungan pasar itu membuat intensitas ekshibisi dan pelelangan karya seni rupa meningkat pesat. Seolah-olah demand melebihi supply. Psikologi pasar yang semu ini mengarus pada kebutuhan mencari pelaku (bisa dibaca: senirupawan) dan lokus seni rupa “baru” demi mengenyangkan hasrat fetistik dan kemaruk finansial para pembutuh. Alhasil, beberapa senirupawan Semarang pun terkatrol. Karya-karya mereka dicari, dikonstruk (dengan “bantuan” kurator tertentu), dan diperdagangkan di “pusat” pasar seni rupa, Jakarta.

Mereka mendusin. Tua-muda bersemangat, bergiat, dan berkarya lagi. Ujung-ujungnya hanya mengarus pada upaya penggelembungan pundi-pundi. Bukan bertumpu pada pergulatan gagasan atau kreativitas.

Para senirupawan Semarang itu, sebenar-benarnya, tak lain mereka yang terbiasa pada praktik kerja melukis saja. Menyebut mereka sebagai senirupawan (atau: perupa) kurang tepat kiranya—jika senirupawan mengacu pada mereka yang bekerja dengan gagasan, medium, atau visualitas (rupa) majemuk. Jadi, sebutan ‘perupa’ menjadi ‘pelukis’ bukan cuma mengalih-ubah arti semantiknya, namun bersifat ideologis.

Akan halnya sebutan perupa pun, seturut Nirwan Dewanto (2006), terasa ambigu. Para senirupawan, kaum terhormat itu, “… sekarang memandang, atau ingin memandang, diri sebagai pembuat rupa, bukan (sekadar) pembuat seni rupa.”

Dalam konteks di atas itulah realitas terkini seni rupa Semarang terbentuk. Esai ini hendak menegaskan bahwa—sepanjang tahun 2008—tak ada gagasan, modus kesenian, praktik kreatif, atau kekaryaan senirupawan Semarang yang paradigmatik.
***
Praktik seni rupa kontemporer Indonesia sebenar-benarnya telah melenting ke segala arah. Bukan hanya sisi gagasan dan materinya, namun menyoal pula kepada para pelakunya. Kuss Indarto (Kompas, 7/12) mensinyalir bahwa seniman mudalah yang mendinamisasi praktik seni rupa kurun setahun terakhir ini. Mereka sangat melek informasi, punya parameter estetik sendiri, memanfaatkan teknologi informasi (TI) digital internet sebagai alat bantu penting dalam kekaryaan, dan memandang perlu keluasan jejaring.

Pendapat Kuss bisa salah. Sinyalemennya itu tak berlaku untuk situasi-kondisi di Semarang. Tak ada pelukis yang bergelut atau memanfaatkan TI demi kekaryaan mereka. Dunia cyber—dengan semua kecanggihan, interaktivitas, jejaring antarmuka (interface)—tak merasuk atau, paling tidak, dimanfaatkan oleh seniman lokal secara kreatif. Bukankah kultur TI adalah bagian dari keseharian bagi mereka yang mengaku sebagai anak muda kiwari?

Kita mafhum, pada setiap zamannya, kemajuan teknologi niscaya dimanfaatkan secara kreatif—dan maksimal—oleh para seniman di belahan dunia manapun. Teknologi fotografi, seluloid, video hingga citraan digital digunakan oleh senirupawan sebagai bagian inheren kreasi atau alat bantu kekaryaan mereka.

Pada ranah pemanfaatan TI inilah kelemahan paling kentara para senirupawan yang berkreasi di Semarang. Nihilnya aspek tekonologis itu, salah satunya, menjadi penyebab miskinnya visualitas karya-karya pelukis lokal. Tak ada gambaran yang menghentak. Bahkan semakin banyak saja pelukis Semarang yang meniru mentah-mentah gambaran seni rupa kontemporer China, yakni: lukisan dengan subjek sederhana dan latar datar-rata. Para epigon itu lupa, bahwa tampak depan visualitas yang ditirunya sebenarnya menyuruk jauh ke ranah ideologis.

Kemudian, hal menonjol lainnya ialah: para pelukis itu suntuk berkarya di studio masing-masing dengan semua permenungan personalnya. Praktik begini jelas-jelas menepis pergaulan atau wacana sosial dalam kekaryaannya. Pada waktu yang lama seni rupa Semarang memang abai pada aspek sosial ini. Seni menjadi berjarak dengan persoalan masyarakatnya.

Seni rupa (harus dibaca sebagai: seni lukis) Semarang yang elitis itu, agaknya, hendak dicairkan oleh beberapa performer. Praktik performans lokal sarat bermuatan sosial. Niscaya, dalam semua kesempatan dan kegiatan, performer (hanya) berbekal kembang setaman, air, dan kemenyan. Lalu mereka meruwat segala angkara murka atau ketidakadilan duniawi. Bagi mereka, seniman adalah representasi mistikus sejati dengan daya linuwih superlatif.

Selain itu, ada beberapa pelukis berpameran di suatu ruas jalan. Lukisan-lukisan digantungkan seadanya di tembok, batang pohon, atau sebarang tempat lainnya. Mereka ingin mendekati publik seluas-luasnya. Meski niat ini menarik, sayangnya tidak demikian halnya karya-karya mereka. Praktik edukasi publik itu pun terbilang buah bibir belaka.

Memindai fakta-fakta minor di atas, terbersit pertanyaan, benarkah tidak ada senirupawan lokal yang menawarkan gagasan dan eksplorasi yang menawan?

Saya mengenal beberapa nama yang punya potensi besar, sayangnya—entah mengapa—mereka lebih senang bersurai dan berajujah. Alhasil, potensi mereka memburai, karyanya pun memuai. Waktu terus berkelebat—mereka pun tumbuh terlambat.
***
Ekspresi seni rupa Semarang, apa boleh buat, terbilang ketinggalan jauh dari praktik kreatif di Yogyakarta atau Bandung, misalnya. Belum tampak tawaran diskursus atau praktik kreasi yang menggugah secara artistik maupun estetik. Semuanya involutif, tak ada lompatan progresif. Jika begini terus, saya tak yakin, seni rupa Semarang mampu mencuri atensi art scene Tanah Air, selain hanya bergangsingan di ranah pasar primer.

Akan tetapi, di tengah-tengah maraknya praktik individualitas—sebagai konsekuensi logis dari penetrasi pasar seni—ada dua kelompok anak-anak muda yang perlu dicatat di sini. Mereka adalah Byar Creative Industry dan Importal.

Penampang keduanya memang belum jelas benar. Juga, mereka mesti mengurai dependensi pada satu sosok tertentu saja. Akan tetapi, kehadiran keduanya sebagai pertanda hadirnya anak-anak muda yang bersentuhan dengan kecenderungan seni visual mutakhir: multimedia.

Bandingkan kiprah kedua kelompok itu dengan para mahasiswa Seni Rupa Unnes yang, baru-baru ini, berpameran “mak(e)” di Galeri PKJT. Para mahasiswa—usia 20-an tahun—itu contoh terbaik bagi penampang seni rupa Semarang pada umumnya: lawasan. Saya sangat bersedih atas capaian para mahasiswa seni rupa itu.

Dua tahun terakhir ini saya tidak menuliskan catatan akhir tahun. Apa lacur, kondisi sekarang tak beranjak jauh dibandingkan tahun 2005. Bahkan saya saksikan: beberapa nama seniman muda berbakat luruh, sebagian pelukis tua timbul-tenggelam, satu-dua ruang pamer rontok, dan tetap saja Seni Rupa Unnes tidak memberikan kontribusi apapun atas perkembangan seni rupa kota. Apa yang salah?

Hemat saya, arena pertaruhan kesenimanan seseorang bukan di arena pasar yang cenderung telengas itu. Di sana seseorang seniman bisa tumbang atau ditumbangkan oleh kepentingan pemodal. Justru ketangguhan seseorang seniman mesti diuji di ranah gagasan dan kreasi. Ini jauh lebih bermartabat.

Sejauh mana senirupawan Semarang kuat di tingkat diskursus yang lantas menjurus sebagai ideologi berkesenian tertentu? Mampukah mendedahkan gagasan dan atau kreasi paradigmatik? (Tubagus P. Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu 28/12/2008]

No comments: