Friday, December 4, 2009

Esai Foto Jurnalistik Santir Realitas Subyektif


KEHADIRAN foto di media massa cetak sudah jamak. Sejarah media mencatat, eksistensi foto mulai dominan ketika pecah Perang Dunia II. Kekejian perang menelusup di ruang keluarga dan, ironisnya, menjadi hiburan pula.

Dalam peperangan tak cuma jenderal atau serdadu yang berperan, wartawan pun punya posisi penting. Peter Arnett mencuat pamornya berkat laporan pandangan matanya dari arena Perang Teluk (1991). Pada 1938, Robert Capa dielu-elukan sebagai “the Greatest War-Photographer in the World”. Tak cukup hanya dipuji, bahkan disebutkan “nyaris tercium bau mesiu” dari foto-fotonya yang dianggap terbaik dari medan perang.

Capa, salah satu pendiri sindikasi Magnum Photos, tersohor dengan aforismenya, “If your pictures aren’t not good enough, you aren’t close enough”. Pernyataan ini gabungan antara keberanian dan rasa cinta, yakni seseorang yang rela bersabung nyawa di garis depan laga seraya berempati kepada mereka yang berada di depan lensa kameranya. Capa pun melegenda.

Contoh di atas menunjukkan pentingnya foto dan peran wartawan foto—tak hanya di medan perang, juga di saat damai. Foto jurnalistik pada akhirnya dipahami sebagai bahasa komunikasi visual. Ia diterima sebagai media universal dengan muatan pesan gamblang, kritis, namun tetap berpijak pada humanisme.

Lazimnya, foto-foto jurnalistik merekam dinamika kehidupan manusia di segala aspek. Melalui sudut bidik dan narasinya, para juru foto menunjukkan empatinya pada subyek-terpotret. Kuasa pemotret atau ekses obyektivikasi menepi demi konstruk humanisme yang diwacanakan. Artinya, meskipun subyek-terpotret terkategori liyan, pewarta foto tak menampik subyek beritanya.

Obyektivitas
Setakat ini publik percaya, foto ialah salinan faktual suatu peristiwa. Analogon sempurna itu berasal dari rangkaian kejadian yang disentakkan dan aliran waktu yang dibekukan. Semuanya berkat kerja mekanis kamera. Akhirnya selembar foto menjadi dokumen yang sahih dalam historisitas manusia modern.

Di situlah barangkali sumbangan terbesar fotografi: pengakuan tentang apa yang disebut “obyektivitas”. Gambar atau citraan foto adalah representasi realitas empirik, bukan berasal dari imajinasi fotografer belaka.

Dalam jurnalisme—termasuk fotografi jurnalistik—aspek obyektivitas mendapat porsi utama. Diniscayakan, wartawan mengabadikan kejadian faktual tanpa rekayasa. Pembaca media melihat dan memahami kejadian via mata juru foto yang diberinya mandat sebagai pelapor on the spot.

Kendati begitu, Goenawan Mohamad dalam salah satu esainya (1993) mengatakan bahwa berita ialah “sebuah presentasi yang datang dengan kerangka dan kemasan yang ditentukan dari luar kita.” Artinya, jurnalis juga punya cara pandang atau keyakinan tertentu yang bisa mempengaruhi reportasenya. Subyektivitas menyelimuti jurnalisme fotografi kendati juru foto senantiasa menjaga jarak kedekatannya dengan subyek-terpotret. Dengan demikian, kenyataan yang terekam adalah realitas subyektif.

Pada hemat saya, jurnalis—dengan semua konsekuensi dan tanggung jawabnya pada diktum kebenaran jurnalistik—adalah subyek-bebas. Maka, seseorang pewarta foto punya kesempatan pula menjadi author, mencipta karya personal. Salah satu kemungkinan kreatifnya bisa diwujudkan dalam bentuk esai foto, yakni kumpulan foto tematik-naratif, antara 5—10 citraan atau lebih, dilengkapi dengan teks penjelas. Struktur atau bentuk presentasinya bisa sekuensial atau pun acak. Dalam esai foto bahasa visualnya lebih dominan daripada teks abjadiahnya.

Sebagai perbandingan, buku “The Long and Winding Road” (2001) karya jurnalis Kompas Eddy Hasby tentang Timor Timur pantas pula didaku sebagai esai foto jurnalistik panjang. Begitu pula buku “Samudra Air Mata” (2005) yang merekam ganasnya tsunami di Aceh.

Serenada Kehidupan
Seperti bahasa, foto bisa diungkapkan dengan berbagai cara. Foto disebut pula sebagai teks visual. Dikatakan sebagai bahasa visual, karena itu, foto pun punya tatanan “gramatik”. Namun, gramatika fotografi tidaklah sama-sebangun dengan teks linguistik. Fotografi banyak menyodorkan metafor atau simbolisme. Bangunan metaforitas itu tampak jelas dalam rangkaian esai foto.

Dan esai, seturut Ignas Kleden (2004), adalah “kisah suka-duka perjumpaan seorang subyek dan sebuah obyek”. Pertemuan itu tentang pengalaman interaksi penuh canda di antara keduanya. Tentang obyek, masih sesuai pikiran Kleden, bukan berarti seorang esais berjarak, dengan dingin meneliti dan mancatat ciri-cirinya, tetapi justru berjumpa dengan, terlibat di dalam, dan mengajak obyeknya berkata-kata sekaligus memberikan respons atas apa yang dikatakan oleh lawan-bicaranya. Singkatnya, Kleden mengartikan suatu esai ialah dialog intensif antara subyek-obyek.

Mengacu pada Kleden, esai foto jurnalistik ialah dialog humanitas antara subyek-pemotret dan obyek-terpotret. Ini bukan praktik menidakkan (negasi), melainkan saling memuliakan. Maka, pameran esai foto “Serenada Kehidupan” oleh delapan anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Semarang, Jumat—Sabtu (20—28/11), di Rumah Seni Yaitu Semarang, layak dipandang dari sisi ini pula.

“Serenada Kehidupan”, sependek ingatan saya, adalah pameran esai foto pertama (dan serius!) di Semarang. Eksposisi ini penting, selain menunjukkan kompetensi, eksistensi dan martabat para jurnalisnya, pun mampu mengartikulasikan selera estetik personalnya. Foto-foto mereka adalah santir realitas subyektif semasa.

TUBAGUS P SVARAJATI
Salah satu pendiri PFI Semarang

[CATATAN: Esai dikirimkan ke Kompas, Jumat 27/11/2009.]

2 comments:

Acep Zamzam Noor said...

Salam Sastra

Kumpulan Puisi Acep Zamzam Noor, Artikel Budaya, Artikel Sastra, Artikel Sosial, Artikel Seni, Lukisan Acep Zamzam Noor dapat di update pada Blog http://acepzamzamnoor.blogspot.com

Selamat Berapresiasi

Tubagus P. Svarajati said...

Kang Acep,

Terima kasih atas informasinya. Saya akan selalu bertandang.

Tubagus P. Svarajati