Ikonografi itu mengandung sugesti: Yang bersangkutan tak lain citra cermin yang tepat dan terbaik bagi sekalian calon pemilih (atau mereka yang terperangkap). Imperatifnya, pilihlah saya, calon walikota dan wakil walikota yang representatif.
Tampak luar kostum dan penggayaannya, tercermin dalam tanda-tanda fotografis yang telanjang, mengarah pada satu kemungkinan: Foto adalah media yang diperalat demi konstruk politis tertentu. Dalam hal ini kehendak menjual citra natural dengan segenap positivitas sosio-moral, ambisi, dan pengabdian sang kontestan.
Celakanya justru citraan masif dan variatif itulah yang menerbitkan kecurigaan pemandang. Tanda-tanda ideal itu pun kerap tak menelorkan hasil akhir sepadan sesuai ide awalnya. Produksi makna dan pesannya, sehubungan dengan koherensi imperatifnya, tak berjalan linear. Publik bisa saja mengartikan lain. Barangkali yang tertangkap di permukaan ialah: Citra sosok nan kikuk notabene a-fotogenik.
Faktanya, kini orang
Padahal, dalam ingatan orangtua Frances Gouda, “orang
Memeriksa dan Memutuskan
Dalam masa kampanye pilkada
Lantas, bagaimana menanggapi citra diri kebapakan, berkumis tipis, dengan sorot mata lembut dan disertai senyum dikulum? Atau imaji lelaki bersorot mata tajam, berpeci, dengan tampilan dingin dan sangar itu? Barangkali gestur dan pose klise keduanya—dalam nuansa “resmi” ala Orde Baru—menguarkan mitos kewibawaan. Melalui fotografi para kandidat “menjual” dirinya agar “terbeli”. Dalam konteks “jual-beli” itu, kampanye, tak lain, adalah proses semiosis budaya
Roland Barthes, ahli semiologi strukturalis, melakukan kritik ideologi atas bahasa sebagai budaya
Sejatinya fotografi terkait erat dengan wacana ruang-waktu semasa. Dalam kampanye, kedua elemen itu direkayasa. Kandidat hadir di sembarang tempat dan terus-menerus. Infinitas itu bukan lambang eksistensialitas atau personalitasnya, tetapi praktik persuasif: Kapan saja dan di mana saja kandidat akan selalu bersama masyarakatnya. Jurus ini mangkus membius konstituen umumnya, tetapi belum tentu mempan mengakali mereka yang berpikir panjang.
Karena tak banyak program kerja terkomunikasikan, maka esai ini hanya menyoroti yang tampak, yakni citra fotografis para kontestan. Berpegang pada analisis sederhana di atas, risalah ini mengarah pada sikap: Bagaimana pemilih kritis menyimak dan menentukan putusannya. Apa boleh buat, pilihan tak mesti dibuat mengingat banalitas citraan itu.
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang
(CATATAN: Versi tersunting dari esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa: 06/04/2010.]
1 comment:
sebagai orang biasa, yang jelas saya udah bosen pak ngeliat foto-foto calon kandidat dengan kostum jas hitam lengkap, berdasi, dll.
kalau dari foto iklannya aja udah ga kreatif, bagaimana kita bisa berharap mereka akan melakukan tindakan-tindakan kreatif untuk membangun daerahnya?
Post a Comment