Friday, April 2, 2010

CITRA BANAL FOTOGRAFI PILKADA SEMARANG

[Photo: Tommas Titus Kurniawan]

DALAM kampanye pemilu atau pilkada, termasuk kampanye pilkada Semarang, fotografi punya peran signifikan. Para kontestan—mereka yang sedang “menjual diri” untuk meraih jabatan publik tertentu—tampil sebagai sosok ideal melalui citra dirinya. Maka, foto diri adalah alat sekaligus representasi personal dan pesan atau gagasan.


Sebagai alat, foto digunakan untuk menampilkan diri sebagai figur dalam beragam kemungkinan: eksekutif, pengusaha, pemuka agama, juru penerang, pendidik, petugas medis, tukang sapu, kernet mikrolet hingga tokoh berkostum kecina-cinaan. Maksudnya jelas, mengusung dinamika pluralisme dan profesionalisme.


Ikonografi itu mengandung sugesti: Yang bersangkutan tak lain citra cermin yang tepat dan terbaik bagi sekalian calon pemilih (atau mereka yang terperangkap). Imperatifnya, pilihlah saya, calon walikota dan wakil walikota yang representatif.


Tampak luar kostum dan penggayaannya, tercermin dalam tanda-tanda fotografis yang telanjang, mengarah pada satu kemungkinan: Foto adalah media yang diperalat demi konstruk politis tertentu. Dalam hal ini kehendak menjual citra natural dengan segenap positivitas sosio-moral, ambisi, dan pengabdian sang kontestan.


Celakanya justru citraan masif dan variatif itulah yang menerbitkan kecurigaan pemandang. Tanda-tanda ideal itu pun kerap tak menelorkan hasil akhir sepadan sesuai ide awalnya. Produksi makna dan pesannya, sehubungan dengan koherensi imperatifnya, tak berjalan linear. Publik bisa saja mengartikan lain. Barangkali yang tertangkap di permukaan ialah: Citra sosok nan kikuk notabene a-fotogenik.


Faktanya, kini orang Indonesia gemar bergaya (lengkap dengan cacat-celanya). Foto-foto kampanye pilkada—di seluruh Indonesia—menggarisbawahi asa narsistik itu. Publik mafhum, apa pun mesti dilakukan oleh mereka yang sedang berebut kursi birokrasi yang, konon, “basah-basah empuk” itu.


Padahal, dalam ingatan orangtua Frances Gouda, “orang Indonesia cenderung tidak memperlihatkan diri” melainkan “lebih sering menjadi latar panggung hiruk-pikuk kehidupan dan kerja komunitas kolonial Belanda”. Profesor sejarah dan jender di Universitas Amsterdam itu menuliskan catatannya dalam buku Dutch Culture Overseas (Penerbit Serambi, 2007). Namun, itu dulu tatkala Indonesia masih dinamai Hindia Belanda dan bumiputera disebut inlander oleh kolonialis Belanda.


Memeriksa dan Memutuskan

Dalam masa kampanye pilkada Semarang, contohnya, publik jarang mendengar atau membaca apa saja program atau ideologi para kandidat. Yang lebih sering masyarakat hanya disuguhi morfologi foto diri (alat peraga) dan slogan-slogan sebagai manifestasi tindak bertutur serampangan. Nyaris tak ada guliran wacana atau pernyataan politik yang mencerdaskan. Bahkan kerap foto diri dan slogan itu terkesan main-main, tidak serius, dan terbilang sebagai lawakan. Contohnya, teliti peraga salah satu kandidat sebagai “sopir-kernet mikrolet” dan slogan “Jaran Kepang Makan Brownies, Jadikan Semarang Kota Yang Manis”. Apa yang bisa disarikan dari gestur dan slogan canggung itu?


Lantas, bagaimana menanggapi citra diri kebapakan, berkumis tipis, dengan sorot mata lembut dan disertai senyum dikulum? Atau imaji lelaki bersorot mata tajam, berpeci, dengan tampilan dingin dan sangar itu? Barangkali gestur dan pose klise keduanya—dalam nuansa “resmi” ala Orde Baru—menguarkan mitos kewibawaan. Melalui fotografi para kandidat “menjual” dirinya agar “terbeli”. Dalam konteks “jual-beli” itu, kampanye, tak lain, adalah proses semiosis budaya massa.


Roland Barthes, ahli semiologi strukturalis, melakukan kritik ideologi atas bahasa sebagai budaya massa dan mengulas cara kerjanya secara semiotik. Esai-esainya terkumpul dalam buku Mitologi (Penerbit Kreasi Wacana, 2004). Dalam salah satu esainya—Fotografi dan Daya Tarik Pemilu—Barthes menyatakan, “yang dialirkan melalui foto calon bukanlah rencananya, namun motifnya yang terdalam”. Agaknya ia hendak menegaskan bahwa kampanye adalah praktik komunikasi kompleks sarat agenda. Bisa disimpulkan, fotografi dalam ranah politik diperdaya sebagai bahasa yang, bisa jadi, “anti-intelektual”.


Sejatinya fotografi terkait erat dengan wacana ruang-waktu semasa. Dalam kampanye, kedua elemen itu direkayasa. Kandidat hadir di sembarang tempat dan terus-menerus. Infinitas itu bukan lambang eksistensialitas atau personalitasnya, tetapi praktik persuasif: Kapan saja dan di mana saja kandidat akan selalu bersama masyarakatnya. Jurus ini mangkus membius konstituen umumnya, tetapi belum tentu mempan mengakali mereka yang berpikir panjang.


Karena tak banyak program kerja terkomunikasikan, maka esai ini hanya menyoroti yang tampak, yakni citra fotografis para kontestan. Berpegang pada analisis sederhana di atas, risalah ini mengarah pada sikap: Bagaimana pemilih kritis menyimak dan menentukan putusannya. Apa boleh buat, pilihan tak mesti dibuat mengingat banalitas citraan itu.


TUBAGUS P SVARAJATI

Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang


(CATATAN: Versi tersunting dari esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Selasa: 06/04/2010.]


1 comment:

cus said...

sebagai orang biasa, yang jelas saya udah bosen pak ngeliat foto-foto calon kandidat dengan kostum jas hitam lengkap, berdasi, dll.

kalau dari foto iklannya aja udah ga kreatif, bagaimana kita bisa berharap mereka akan melakukan tindakan-tindakan kreatif untuk membangun daerahnya?