The artist is the origin of the work. The work is the origin of the artist.
—Heidegger
—Heidegger
MARCEL DUCHAMP—pada tarikh 1917—mengirimkan kloset-kencing ke pameran besar The Society of Independent Artists di New York. Barang-jadi (ready-made) itu cuma dibubuhi dengan “R. Mutt, 1917”. Sejak itu paradigma dan sejarah seni rupa modern pun berubah.
Kita paham, seni rupa modern, antara lain, menegaskan keluhuran pakem (order) dan memuliakan ketrampilan (skill). Justru di situlah paradoksnya: Kloscing (kloset-kencing) atawa torpis—akronim sentor pipis (pissoir) seturut Goenawan Mohamad—Duchamp adalah barang pabrikan yang didongkrak derajadnya sebagai benda seni yang diistilahkan sebagai found-art. Dunia gaduh: Serentak ruh seni rupa modern meluruh—mungkinkah benda-temuan (found-object) itu dihargai setara-sebangun dengan seni adiluhung. Ingatlah, keriuhan itu terjadi saat Barat bersiteguh dalam paham Modernisme.
Pada kuartal pertama abad 20 itu, guna menyuarakan kemuakan pada paham borjuis dan keputusasaan masyarakat yang berkembang selama Perang Dunia I, Duchamp—bersama Hans Arp, Man Ray dan Francis Picabia—menggelorakan Dadaisme. Ini gerakan budaya anti-perang yang menentang standar seni universal. Raut anti-seni itu diwujudkan melalui beragam teknik, antara lain, kolase, montase foto, asembling, dan merekayasa barang-jadi sebagai ekspresi seni. Dalam bahasa sederhana, Dada menghalalkan segala ekspresivitas atas nama seni (rupa).
Halai-balai berlanjut. Joseph Beuys hadir melebarkan definisi seni: Every human being is an artist. Adagium Beuys terkait dengan keyakinannya, bahwa hanya seni yang bisa membongkar efek represif dari sistem sosial yang menyakitkan. Singkatnya, karya seni sebagai organisme sosial. Ia yakin, seni adalah satu-satunya kekuatan evolusioner-revolusioner.
Beuys dan Duchamp tampaknya dipertegas oleh Martin Heidegger, filsuf yang berjuluk “sang penyihir dari Messkirch”, yang berpikir dan menulis di suatu pondok kecil di pedesaan Todtnauberg, dekat Freiburg. Dengan menyebut “Sang seniman adalah muasal karyanya. Karyanya adalah muasal sang seniman.” seolah-olah ia hendak mengatakan: Seniman dan karyanya ibarat sekeping mata uang, kedua sisinya tak terpisahkan. Apakah Heidegger hendak menegaskan bahwa ekspresi seniman, bagaimana pun atau apa pun, adalah karya seni dan begitu pula sebaliknya?
Akan tetapi, kita patut memeriksa perihal “Seniman” dan “Karya Seni”. Siapakah dan bilamana seseorang ditahbiskan sebagai “Seniman” dan bagaimana sesuatu benda—ya, karya seni tak lain adalah “benda” lengkap dengan sifat kebendaannya (masih gagasan Heidegger)—dianggap sebagai “Karya Seni”.
Di inilah pangkal perdebatannya: Ada perbedaan antara nama dan “Nama”. Ia terkait dengan “the economy of recognation”, begitu tulis Goenawan Mohamad (risalah Sebuah Torpis, sederet “nama”, 2005). Di dalamnya terkandung pengertian “fetisisme komoditas” Marx, yakni mistifikasi sesuatu—barang atau nama—dengan derajat nilai ekonomis lebih ketimbang nilai guna atau reputasinya. Perlu dikutipkan lagi di sini sepenggal paragraf dari risalah GM—sapaan ringkas Goenawan Mohamad, jurnalis cum sastrawan Indonesia kenamaan—di atas: “Nama” itu beroleh nilai tukarnya sendiri, yang kemudian disebut “harga”, sebuah penilaian yang terlepas dari kegairahan atau pun jerih-payah sang seniman ketika ia melahirkan sebuah karya.
Namun, justru karena kegairahan tepermanai dan jerih-payah yang berdarah-darah melahirkan karya seni itulah seseorang, akhirnya, pantas dihargai sebagai seniman. Ini, tentu saja, keyakinan saya mengenai “Seniman” dan “Karya Seni”. Tegasnya, reifikasi mustahil semulus jalan tol.
Sementara itu, terbentang jarak bermil-mil dan nyaris seabad setelah kloscing Duchamp ramai digunjingkan, seseorang membawa tabung-tekan-kucur (dispenser) berisi chongyang—arak industrial khas lokal Semarang, berwarna merah marun, berbau sengak-menyengat—ke dalam galeri. Tabung dan seisinya itu diniatkan sebagai benda seni. Seseorang itu dibilang sebagai seniman pula. Seketika kita sadar, bukankah terasa ada perbedaan antara benda dengan “Karya Seni” dan seniman dengan “Seniman”.
Esai pendek ini ialah upaya mendiskusikan pameran “Ecce Homo” di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang (1—10/3). Perlu dipertegas, risalah ini hanya menyoroti salah satu karya terpajang, yakni tabung-tekan-kucur yang berisi chongyang itu.
Karena itu, masih pantaskah konsepsi benda-temuan dikira sebagai karya seni di masa sekarang? Bagaimana memposisikan ketrampilan teknis atau artistik seniman (craftmanship)? Juga, adakah perbedaan antara “Nama” dan nama: antara Duchamp dan seseorang lain yang disebut-sebut sebagai seniman muda itu?
Bilamana chongyang—di galeri—berubah fungsi dan nilai sebagai karya seni, apakah serentak arak merah marun di toko-toko disebut sebagai arak-seni pula. Kita paham, meski karya seni tergolong “benda”—seturut Heidegger—ia tak semata-mata benda an sich, melainkan membicarakan sesuatu yang lain, allo agoreuei. Artinya, karya seni bersifat alegoris sekaligus simbolis. Lantas, chongyang mewakili dan merepresentasikan apa gerangan? Ataukah ia sebenarnya memang benda belaka? Jika begitu, masih perlukah mengusung dan menganggapnya sebagai karya seni di galeri?
Beberapa orang gelisah dan bertanya-tanya: Bagaimana dan seberapa jauh galeri mampu menabalkan sesuatu benda menjadi karya seni? Kelak, tatkala ide telah menguap dan hasrat sensasional menjulang-melangit, barangkali satu sofa putih di ruang pamer bisa tersebut sebagai karya seni pula. Saat itu para connoisseurs mungkin berseru: Alamak! Barangkali sudah waktunya publik memaklumi, dalam politik kesenian, seniman tak bebas nilai dan “seni rupa” adalah suatu kategori hasil kontestasi dan negosiasi berbagai wacana, kepentingan, dan otoritas. Dan kurator, tentu saja, terlibat dalam konstruksi anggitan itu.
Sekali lagi, sebagai pengantar diskusi, masih pentingkah peran craftmanship dalam proses penciptaan karya seni sehingga tak serta-merta siapa pun bisa gampang mendaku barang-jadi sebagai sebuah karya seni? Atau, perlukah diferensiasi “Nama” dan nama atau “Seniman” dan seniman?
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 04/04/2010.]
Kita paham, seni rupa modern, antara lain, menegaskan keluhuran pakem (order) dan memuliakan ketrampilan (skill). Justru di situlah paradoksnya: Kloscing (kloset-kencing) atawa torpis—akronim sentor pipis (pissoir) seturut Goenawan Mohamad—Duchamp adalah barang pabrikan yang didongkrak derajadnya sebagai benda seni yang diistilahkan sebagai found-art. Dunia gaduh: Serentak ruh seni rupa modern meluruh—mungkinkah benda-temuan (found-object) itu dihargai setara-sebangun dengan seni adiluhung. Ingatlah, keriuhan itu terjadi saat Barat bersiteguh dalam paham Modernisme.
Pada kuartal pertama abad 20 itu, guna menyuarakan kemuakan pada paham borjuis dan keputusasaan masyarakat yang berkembang selama Perang Dunia I, Duchamp—bersama Hans Arp, Man Ray dan Francis Picabia—menggelorakan Dadaisme. Ini gerakan budaya anti-perang yang menentang standar seni universal. Raut anti-seni itu diwujudkan melalui beragam teknik, antara lain, kolase, montase foto, asembling, dan merekayasa barang-jadi sebagai ekspresi seni. Dalam bahasa sederhana, Dada menghalalkan segala ekspresivitas atas nama seni (rupa).
Halai-balai berlanjut. Joseph Beuys hadir melebarkan definisi seni: Every human being is an artist. Adagium Beuys terkait dengan keyakinannya, bahwa hanya seni yang bisa membongkar efek represif dari sistem sosial yang menyakitkan. Singkatnya, karya seni sebagai organisme sosial. Ia yakin, seni adalah satu-satunya kekuatan evolusioner-revolusioner.
Beuys dan Duchamp tampaknya dipertegas oleh Martin Heidegger, filsuf yang berjuluk “sang penyihir dari Messkirch”, yang berpikir dan menulis di suatu pondok kecil di pedesaan Todtnauberg, dekat Freiburg. Dengan menyebut “Sang seniman adalah muasal karyanya. Karyanya adalah muasal sang seniman.” seolah-olah ia hendak mengatakan: Seniman dan karyanya ibarat sekeping mata uang, kedua sisinya tak terpisahkan. Apakah Heidegger hendak menegaskan bahwa ekspresi seniman, bagaimana pun atau apa pun, adalah karya seni dan begitu pula sebaliknya?
Akan tetapi, kita patut memeriksa perihal “Seniman” dan “Karya Seni”. Siapakah dan bilamana seseorang ditahbiskan sebagai “Seniman” dan bagaimana sesuatu benda—ya, karya seni tak lain adalah “benda” lengkap dengan sifat kebendaannya (masih gagasan Heidegger)—dianggap sebagai “Karya Seni”.
***
Tatkala Duchamp menyodorkan kloscing, kita mafhum, terjadilah perdebatan sengit: Apakah barang-jadi fungsional itu terkategori “Seni”. Andaikan sosok itu bukan Duchamp—seniman pencipta lukisan “Nude Descending a Staircase, No. 2” yang kondang itu—apakah kloscing “R. Mutt, 1917” tetap meraih atribusi sebesar itu? Barangkali kisahnya akan lain.Di inilah pangkal perdebatannya: Ada perbedaan antara nama dan “Nama”. Ia terkait dengan “the economy of recognation”, begitu tulis Goenawan Mohamad (risalah Sebuah Torpis, sederet “nama”, 2005). Di dalamnya terkandung pengertian “fetisisme komoditas” Marx, yakni mistifikasi sesuatu—barang atau nama—dengan derajat nilai ekonomis lebih ketimbang nilai guna atau reputasinya. Perlu dikutipkan lagi di sini sepenggal paragraf dari risalah GM—sapaan ringkas Goenawan Mohamad, jurnalis cum sastrawan Indonesia kenamaan—di atas: “Nama” itu beroleh nilai tukarnya sendiri, yang kemudian disebut “harga”, sebuah penilaian yang terlepas dari kegairahan atau pun jerih-payah sang seniman ketika ia melahirkan sebuah karya.
Namun, justru karena kegairahan tepermanai dan jerih-payah yang berdarah-darah melahirkan karya seni itulah seseorang, akhirnya, pantas dihargai sebagai seniman. Ini, tentu saja, keyakinan saya mengenai “Seniman” dan “Karya Seni”. Tegasnya, reifikasi mustahil semulus jalan tol.
Sementara itu, terbentang jarak bermil-mil dan nyaris seabad setelah kloscing Duchamp ramai digunjingkan, seseorang membawa tabung-tekan-kucur (dispenser) berisi chongyang—arak industrial khas lokal Semarang, berwarna merah marun, berbau sengak-menyengat—ke dalam galeri. Tabung dan seisinya itu diniatkan sebagai benda seni. Seseorang itu dibilang sebagai seniman pula. Seketika kita sadar, bukankah terasa ada perbedaan antara benda dengan “Karya Seni” dan seniman dengan “Seniman”.
Esai pendek ini ialah upaya mendiskusikan pameran “Ecce Homo” di Galeri Semarang, Jalan Taman Srigunting 5—6, Semarang (1—10/3). Perlu dipertegas, risalah ini hanya menyoroti salah satu karya terpajang, yakni tabung-tekan-kucur yang berisi chongyang itu.
***
Puluhan tahun terbilang, zaman beralih-rupa, dan seni rupa berevolusi “dari olah rupa, olah bentuk, olah media, olah konsep, olah peristiwa, olah tubuh, hingga ke olah realitas sosio-kultural sehari-hari” (Bambang Sugiharto, Kompas, Minggu, 27/6/2008). Artinya, dunia seni rupa telah pontang-panting berusaha mendefinisikan dirinya sendiri.Karena itu, masih pantaskah konsepsi benda-temuan dikira sebagai karya seni di masa sekarang? Bagaimana memposisikan ketrampilan teknis atau artistik seniman (craftmanship)? Juga, adakah perbedaan antara “Nama” dan nama: antara Duchamp dan seseorang lain yang disebut-sebut sebagai seniman muda itu?
Bilamana chongyang—di galeri—berubah fungsi dan nilai sebagai karya seni, apakah serentak arak merah marun di toko-toko disebut sebagai arak-seni pula. Kita paham, meski karya seni tergolong “benda”—seturut Heidegger—ia tak semata-mata benda an sich, melainkan membicarakan sesuatu yang lain, allo agoreuei. Artinya, karya seni bersifat alegoris sekaligus simbolis. Lantas, chongyang mewakili dan merepresentasikan apa gerangan? Ataukah ia sebenarnya memang benda belaka? Jika begitu, masih perlukah mengusung dan menganggapnya sebagai karya seni di galeri?
Beberapa orang gelisah dan bertanya-tanya: Bagaimana dan seberapa jauh galeri mampu menabalkan sesuatu benda menjadi karya seni? Kelak, tatkala ide telah menguap dan hasrat sensasional menjulang-melangit, barangkali satu sofa putih di ruang pamer bisa tersebut sebagai karya seni pula. Saat itu para connoisseurs mungkin berseru: Alamak! Barangkali sudah waktunya publik memaklumi, dalam politik kesenian, seniman tak bebas nilai dan “seni rupa” adalah suatu kategori hasil kontestasi dan negosiasi berbagai wacana, kepentingan, dan otoritas. Dan kurator, tentu saja, terlibat dalam konstruksi anggitan itu.
Sekali lagi, sebagai pengantar diskusi, masih pentingkah peran craftmanship dalam proses penciptaan karya seni sehingga tak serta-merta siapa pun bisa gampang mendaku barang-jadi sebagai sebuah karya seni? Atau, perlukah diferensiasi “Nama” dan nama atau “Seniman” dan seniman?
TUBAGUS P SVARAJATI
Kritikus Seni Rupa, Bermukim di Semarang
[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu: 04/04/2010.]
No comments:
Post a Comment