MENARASIKAN sejarah adalah upaya memelihara ingatan kolektif agar fenomen—peristiwa dan pelaku—dihargai sepadan sesuai peran atau kontribusinya. Sejarah adalah bangunan memori kolektif yang ditegakkan atas nama kepentingan atau konstruk sosial-politis tertentu. Dalam konteks esai ini catatan sejarah berguna bagi dunia kreatif—khususnya seni visual—Semarang terkait dengan politik kesenian-kebudayaannya.
Penulisan sejarah seni lokal berguna pula sebagai kerangka belajar dan pemandu agar praktik kreatif seni visual kota terhindar dari cermin buruk rupa. Dari sini orang bisa berupaya membangun infrastruktur yang lebih mapan. Dan kesadaran menyejarah itu mesti dimulai dari para pemangku kepentingan.
Karenanya, catatan kreatif sekecil apa pun—individual mau pun kolegial—elok bila dituliskan. Jika tidak, peran dan kontribusi penting niscaya mudah tergelincir dari ingatan masyarakat. Faktanya, sebagai kota urban kosmopolit, sejak era kolonial, Semarang tidak punya catatan kesenian yang memadai—setidaknya lima dasawarsa terakhir. Satu dua nota tersisa, antara lain, ialah Pelukis Rakyat (di dalamnya ada Hendra Gunawan, Affandi, dan Trubus) berpameran di Semarang dalam rangka Kongres Perdamaian, 1955. Affandi sekeluarga—bersama Maryati (istri) dan Kartika (anak)—unjuk gigi pada tahun 1970-an.
Sanggar Raden Saleh yang berjaya pada tahun 1970-an, bahkan nyaris identik dengan kesenilukisan Semarang saat itu, samar-samar terlacak notasinya. Publik pun lupa pada fenomena Pawiyatan Sanggar Raden Saleh (1978) sebagai kelompok belajar seni lukis—pada masanya mendidik 100 siswa lebih di Balai Desa Karangkidul, Semarang Tengah—yang sempat melahirkan seniman berkelas AS Kurnia.
Fenomena “melupa-diri” itu merugikan praktik dan strategi kesenian-kebudayaan kota. Nyaris kita tak punya sosok senirupawan kebanggaan kota selain cuma sepotong kenangan kabur pada figur Raden Saleh.
Demi membangun ingatan kolektif yang adil adalah bijak kita kenali dan hargai pelukis Kok Poo. Dia adalah seniman dengan kontribusi jelas bagi banyak pelukis Semarang. Perannya pantas diperluas dan diremunerasi sebagai salah satu seniman penting kota ini.
Dullahisme
Kok Poo adalah anak didik Dullah, pelukis istana pada era Presiden Soekarno. Selama sepuluh tahun (1972—1982) dia nyantrik kepada Dullah di Sanggar Pejeng, Bali. Sanggar ini mengambil nama suatu desa sepi-tenteram nan sejuk di antara Ubud-Tampaksiring. Selain Kok Poo, pelukis Tan Hok Lay dan Inanta Hadipranoto (keduanya asal Semarang) juga berguru kepada Dullah.
Boleh dikata pesona Dullah mencengkeram kuat di benak dan kreasi anak didiknya. Mereka, karenanya, seakan-akan “meniru” persis tiap jengkal gerak tangan, sapuan kuas, pilihan objek, hingga alam pikiran atau ideologi kesenian Dullah. Walhasil, Dullah dan anak didiknya melahirkan semacam “dullahisme”.
Ciri-ciri utama genre dullahisme: lukisan realistik dengan latar lelehan cat transparan, warna gelap-kusam, pulasan cat tipis, dan pilihan objek keseharian. Pokok soalnya (subject matter) hanya berkisar pada model (anak-anak, gadis molek, kakek-nenek renta), bebungaan, bebuahan, alam benda, hewan-hewan peliharaan, sudut-sudut desa dan lanskap seputar Bali. Tematik itu divisualisasikan berdasar pakem komposisi konvensional (biasanya memusat) dan teknik pencahayaan chiaroscuro (umumnya sudut pencahayaan samping atau dikenal sebagai Rembrandt Light). Singkatnya, ini genre mimikri realitas.
Di Semarang, di tengah-tengah kebekuan praktik seni rupa kota antara tahun 1990—2000-an, Kok Poo tekun membina sejumlah anak muda dan pelukis paro waktu. Dalam mendidik mereka Kok Poo tidak menyediakan waktu atau ruang khusus. Muridnya datang silih berganti menunjukkan karyanya. Dia akan mengomentari, mengritik, dan kerap memperlihatkan cara atau teknik melukisnya. Dengan metode itu Kok Poo menurunkan ilmunya dan seketika murid-muridnya mendapat bekal melukis secara praktis.
Kok Poo sangat menekankan upaya melukis secara langsung, on the spot. Baginya, cara itu memudahkan belajar sekaligus mampu menangkap esensi dan raut objek yang dilukisnya. Praktik amatan langsung itu mengharuskan seseorang menguasai aspek nirmana, anatomi dan proporsi bentuk, serta kondisi emotif sesaat. Secara berolok-olok, seni lukis dullahisme yang dikenalkan oleh Kok Poo itu diberi label “Mangga-Pisang-Jambu”. Akibatnya, seni lukis Semarang dikenal kuat berciri realis-naturalistik.
Tak jelas berapa banyak pelukis Semarang yang tetap setia pada ajaran Kok Poo. Yang terang, berkat didikannya, berpuluh-puluh orang benar-benar mampu hidup dari hasil kerja melukisnya. Kok Poo tak cuma menularkan tradisi dullahisme, melainkan juga membukakan jalan penghidupan bagi pengikutnya. Inilah kontribusi terbesar Kok Poo—sosok Guru seni lukis yang kukuh—pada praktik kreatif seni visual Semarang.
Kini Kok Poo (72) nyaris tak melukis lagi. Kondisinya melemah karena beberapa kali terserang stroke. Namun, semangat dan keyakinan seninya tetap sekuat dulu. Medan seni Semarang pantas mengenangnya sebagai seniman yang tangguh dan ulet. Ia pantas didukung mewujudkan pameran retrospektif lengkap. Semoga sekalian muridnya terketuk bersoja takzim kepada sang Guru. (Tubagus P. Svarajati)
[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Selasa: 12/01/2010.]
No comments:
Post a Comment