Sketch: Tubagus P. Svarajati
Artikel ini dimuat di Kompas, Selasa, 26 Juni 2007
PRAKTIK produksi artistik seni rupa tidak bisa dilepaskan dari konteks dan relasi sosial antara perupa dan masyarakatnya. Seni secara intrinsik mengandung nilai-nilai moralitas dan problematika masyarakat semasa. Dus, perupa adalah penanda anak zamannya.
Penanda zaman itu terlihat juga pada jejak-jejak yang ditinggalkan oleh S. Soedjojono. Pada masanya, Bapak Seni Rupa Modern Indonesia – seperti diuarkan oleh kritikus Trisno Sumardjo – itu menggulirkan tematika nasionalisme. Lukisan-lukisannya sarat dengan isu nasionalisme yang heroik. Tematika karyanya diilhami masalah kerakyatan dan itu sesuai pula dengan pilihan politiknya. Bahkan sebagian ahli sejarah seni mensinyalir, pokok soal kesenirupaan modern Indonesia tidak lain tentang nasionalisme.
S. Soedjojono menggugat semangat estetika turistik pelukis asing (Eropa) yang hanya melihat Indonesia dari sisi eksotikanya saja. Karya lukis ekspatriat itu disebutnya bercorak Mooi Indie atau Hindia Molek. Penolakannya terhadap paham ‘kuasi-seni’ itu terlihat dalam tulisan-tulisannya yang selalu bernada keras. Singkatnya, S. Soedjojono menganggap bahwa seni yang baik tidak lepas menyuarakan aspek-aspek kemasyarakatan. Dus, seni rupa punya nilai-nilai sosial.
Agen Sosial
Seniman bekerja tidak hanya menuruti kata hatinya atau menggali nilai-nilai transendensi saja. Artinya, bukan cuma menyodorkan arus pergulatan batiniahnya saja. Sebagai makhluk sosial seniman patut mengelaborasi apa-apa yang dirasakan oleh masyarakat se-zamannya. Tidak kurang-kurangnya seniman bisa bertindak sebagai agen perubahan masyarakat, melahirkan wawasan estetika baru, sampai pada pencetus arus utama pemikiran atau diskursus. Dalam konteks ini seorang seniman berada di garis paling depan di hadapan publiknya.
Berada di garda depan, dengan gagasan-gagasan genuine, tidak berarti tercerabut dari aktualitas zamannya. Seniman justru harus bergelut dengan itu semua sambil menunjukkan empatinya yang maujud sebagai karya seninya. Ia, lantas, melahirkan kreasi seni yang ‘terlibat’. Faktor-faktor eksternal, di samping permenungan dalamnya, menjadi basis produksi artistikanya.
Kita mengenal begitu banyak seniman atau kelompok seniman yang bekerja dalam konteks komunitas. Ambil contoh kelompok ‘Taring Padi’ (Yogyakarta) atau ‘ruangrupa’ (Jakarta). Mereka bekerja di tengah-tengah dan menggali gagasan dari masyarakatnya. Taring Padi serius mengembangkan sosialisme kerakyatan, sedangkan ruangrupa membidik persoalan urbanitas.
Di luar kedua komunitas itu, seniman Moelyono bekerja dan memberikan advokasi di lingkungan pedesaan di Jawa Timur. Moelyono memberdayakan masyarakat rural dengan meminjam medium seni rupa.
Arkian, seniman atau kelompok seniman di atas melansir gerakan sosiokultural, yang mungkin bersifat politis pula, dalam konteks lingkungan terpilih. Kesenimanan mereka bukan hanya dalam hal praktik produksi artistika, melainkan juga mengusung moralitas atau ideologi yang diyakininya. Tak hanya menyorongkan kontemplasi, namun juga solusi.
Konteks Pasar Johar
Tidak tampak gerakan seniman (baca: perupa) Semarang dalam domain sosiokultural atau politik praktis. Dengan begitu tidak jelas pula apa visi-misi mereka tentang isu-isu perkotaan atau kemasyarakatan. Praktik produksi artistika mereka tidak sampai menjadi suatu aksi estetika. Hampir semua karya mereka berupa artifak – terbanyak malah hanya seni dua dimensional – hasil renungan dunia batiniah saja.
Kontroversi rencana pembongkaran Pasar Johar, yang dipaksakan oleh walikota Sukawi Sutarip, tidak memacu adrenalin seniman Semarang untuk melancarkan aksi estetika mereka. Seniman Semarang bergeming dari isu krusial itu. Meski kita tahu Pasar Johar karya seorang Belanda, Thomas Karsten, yang bisa mengingatkan kita pada isu kolonialisme, namun pasar tradisional itu telah menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat Semarang.
Bandingkan situasi batin seniman Yogyakarta yang peduli pada kotanya. Suatu ketika mereka menggelar aksi seni publik ‘melawan’ permisivitas Pemerintah yang membangun mall – sebagai bentuk ancaman terhadap eksistensi pasar tradisional – di seantero kota. Mereka, antara lain, mengusung teks “Di Sini Akan Dibangun Mall” dan dipertunjukkan di beberapa areal publik. Meski penolakan itu tidak bisa dikuantifikasi efektivitasnya, toh setidaknya mereka telah bersikap dan peduli pada isu-isu di lingkungan mereka tinggal.
Memang tidak semua seniman, dengan beragam minat dan historisitasnya, punya atensi pada isu-isu kontekstual. Juga, modus dan ideologi seni mereka pun beragam. Akan tetapi, fakta empirik di atas menyodorkan teka-teki, bagaimana menerangkan posisi mereka sebagai makhluk sosial bagian dari masyarakat dan lingkungan tempat mereka tinggal. Juga, sebagai pemikir garda depan, mengapa mereka tidak hendak bersaksi.
Barangkali musti diingatkan (lagi), bahwa seniman dan karyanya akan sangat berjarak dengan publiknya andaikata mereka menepis aspirasi-aspirasi rakyat. Jika terjadi demikian, maka tak usah berkeluh-kesah bahwa kesenian (kontemporer) tidak diminati masyarakat.***
TUBAGUS P SVARAJATI,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
Tuesday, June 26, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment