Artikel ini diterbitkan di Seputar Indonesia,
Minggu - 17 Juni 2007
Art work by M Salafi H aka Ridho
in his solo exhibition "The Wedding Conspiracy" at Rumah Seni Yaitu:
ORANG boleh membantah, tidak ada lagi dikotomi ‘pusat-daerah’ dalam wacana atau proses produksi artistik seni visual Indonesia. Akan tetapi, deretan fakta membuktikan sebaliknya. Episentrum-periferi adalah tinta merah di depan mata.
Penegasan seperti itu tertulis di buku “Folders” terbitan Indonesian Visual Art Archive (IVAA), baru-baru ini. IVAA dulu bernama Yayasan Seni Cemeti (YSC), yakni lembaga riset, dokumentasi, dan perpustakaan seni visual kontemporer yang bermarkas di Yogyakarta. Folders adalah laporan berdirinya YSC selama 10 tahun, terhitung selama 1995—2005.
Laporan yang termaktub dalam Folders adalah hasil riset yang dilakukan oleh Nuraini Juliastuti dan Yuli Andari Merdikaningtyas. Keduanya dikenal sebagai aktivis Kunci Cultural Studies, yakni sebuah lembaga kajian budaya di Yogyakarta. Riset mereka berdua, jika disimak teliti, tidak terlalu komprehensif. Mereka sekadar sepintas memetakan material dokumentasi yang dikoleksi oleh YSC. Pada beberapa kasus, yang dikira menarik, barulah mereka mengelaborasi agak detail.
Maka, jadilah Folders sebuah laporan penelitian dengan highlight di sana-sini. Yang menarik, dalam salah satu laporan singkatnya, mereka mencoba memetakan locus peristiwa seni visual, di beberapa daerah, melalui sejumlah katalogus yang dikoleksi oleh YSC dalam kurun 10 tahun itu. Tentu saja modus pembacaan seperti itu mengundang sejumlah risiko, antara lain, materi katalogus bukan representasi utuh apa yang terjadi sehingga mungkin ada banyak hal yang luput dan tidak bisa dipetakan. Juga, jumlah katalogus yang dikoleksi YSC pantas diragukan mewakili semua daerah dalam kurun yang diharapkan.
Namun begitu, berdasar katalogus di atas, ditemukan data adanya ‘pergeseran’ lokasi peristiwa seni berlangsung. Istilah pergeseran, seakan-akan, mengasumsikan bahwa selama ini ada dominasi ‘pusat’ dan ‘pinggiran’ dalam praktik seni rupa di Indonesia. Meskipun, kata Juliastuti, memang demikianlah kenyataannya. Atau lebih tepat dikatakan ada ruang-ruang lain dari kota-kota yang biasanya dianggap sebagai poros utama kegiatan seni rupa Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Pinggiran, bukan Pusat
Katalogus yang dikoleksi YSC mendeskripsikan tiga kota tersebut di atas sebagai pusat aktivitas seni visual yang melebihi daerah lain. Peringkat pertama Jakarta (291 katalogus). Kemudian disusul Yogyakarta (278) dan Bandung (68). Di luar tiga kota di pulau Jawa itu, kegiatan seni rupa di Denpasar dan Bali cukup menonjol pula (97).
Titik-titik lokasi peristiwa seni rupa yang bisa dijumpai di Jawa – selain Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta – adalah Surabaya (20), Semarang (8), Malang (9), Madiun (2), Kudus (2), dan Magelang (8). Di luar Jawa tercatat pula di Madura (2), Padang (6), Banjarmasin (2), Jambi (1), Manado (1), Makassar, dan Mataram (1).
Data-data itu menunjukkan persebaran peristiwa seni visual yang tidak merata di Indonesia, meskipun mustahil mendaku koleksi katalog YSC itu mewakili seluruh peristiwa seni rupa yang pernah ada dalam kurun 1995—2005. Bisa jadi ada banyak kegiatan seni visual – dengan atau tanpa penerbitan katalogus – yang tidak tercatat di lembaga itu dengan berbagai alasannya. Namun patut dipercayai temuan fakta, kota-kota – yang selama ini ‘didaku’ sebagai ‘pusat’ peristiwa seni rupa – yang menyalip kota lainnya. Apalagi jika ini bukan suatu pembenaran tentang adagium ‘pusat-pinggiran’ itu?
Pertanyaannya, mengapa kota-kota tertentu lebih menonjol ketimbang yang lain? Dugaan saya, di samping kelengkapan infrastrukturnya, kota-kota yang aktif itu telah menganggap seni visual sebagai bagian dari gaya hidup masyarakatnyac . Khusus Jakarta mesti ditambahkan alasan sebagai pusat putaran uang yang mampu mengadakan banyak peristiwa seni. Alasan lain, tidak semua peristiwa seni hanya diapresiasi nilai-nilai transendensinya, melainkan juga dikomodifikasikan. Di Jakarta keduanya bersimbiosis secara mulus.
Kemudian, salah satu masalah besar yang selalu mengganggu ialah siapa atau lembaga apa yang berhak memberikan legitimasi sesuatu peristiwa seni visual itu bernilai? Meski pertanyaan ini terasa naif, seringkali sebaik apapun suatu peristiwa seni dilangsungkan di daerah, maka kegiatan itu tidak mendapat pengakuan sepantasnya. Apresiasi tidak datang dari kritikus atau media massa nasional. Jadilah peristiwa seni daerah – di luar kota-kota yang diasosiasikan sebagai ‘pusat’ seni – selalu dalam posisi marjinal, tetap bersifat kedaerahan.
Pokok soal pusat-daerah menjadi soal yang selalu ambigu. Pada satu sisi, intensi meraih afirmasi ‘pusat’ seolah-olah menjerumuskan diri pada pusaran kekuasaan yang hegemonik. Sedangkan sisi lainnya, perolehan pengakuan dari ‘pusat’ mendeskripsikan etos atau capaian penaklukan suatu dominasi, bisa politis atau kreatif.
Peluang dan Jejaring
Pemerataan kesempatan meraih afirmasi pantas diupayakan terus oleh para pemangku kepentingan di daerah. Jarak geografis semestinya bukan halangan dalam era global ini. Termasuk melansir isu-isu hiperbolis juga bukan lagi perkara sulit.
Lantas apa yang tetap kurang dari praktik kesenirupaan di wilayah-wilayah terpencil?
Hemat saya, seniman daerah harus ‘merebut’ kekuasaan afirmatif yang dipunyai ‘pusat-pusat’ kesenian itu. Caranya, tidak lain, harus bekerja lebih keras dan mempertontonkan praktik produksi seni yang melampaui skala sebelumnya. Kiat lain, ialah dengan selalu mengundang mereka yang di pusat kekuasaan wacana, termasuk media massa nasional, untuk datang melihat. Bisa saja ketidaktahuan, karena faktor kesempatan dan kendala jarak geografis, yang membuat praktik seni daerah tidak dilirik sebelah mata. Singkat kata, mungkin cuma perkara sekat-sekat komunikasi.
Selanjutnya, kegandrungan pada ‘legitimasi’ jangan dianggap sebagai ekspresi inferioritas. Sikap ini pantas dilihat sebagai praktik demokratisasi meraih peluang dan kesempatan memamah putaran kapital (selain faktor-faktor lainnya) yang hanya menggunung di tempat-tempat tertentu.
Kurang lengkapnya infrastrusktur daerah jangan pula dijadikan apologi. Justru disparitas pusat-daerah itu mesti disiasati. Lokalitas adalah wacana yang ‘seksis’ dan ‘eksotis’ di mata publik mondial. Maka, sebuah penolakan dari pusat negeri sendiri bukan berarti sebuah rapor buruk. Penting diingat, para stakeholders di tingkat lokal mesti berupaya agar praktik keseniannya selalu pada ranah yang kompetitif. Pada ujungnya, fisiognomi kesenian di tingkat lokal sangat tergantung dari kreativitas estetik dan diskursus yang dilansir para pelaku dan aktivis seninya.
Di luar itu perlu diluaskan jejaring antarseniman, antaraktivis seni, dan maksimalisasi infrastruktur yang ada dalam tataran lokal, kewilayahan, bahkan di tingkat global. Orang seringkali memandang remeh efektivitas jejaring seni. Meski butuh kiat-kiat khusus bagaimana jejaring harus dirajut, ini tidak menghilangkan fakta positif pada perluasan praktik kesenian yang ada. Bahkan melalui alur jejaring yang tepat, suatu aktivitas seni akan meraih atribusi kulminatifnya. Pada titik ini, sejatinya, pengakuan bisa berasal dari mana saja.
Daerah harus disikapi sebagai bijana kearifan yang pantas disejajarkan dengan pusat manapun. Maka, dikotomi pusat-pinggiran tidak signifikan dan kontraproduktif bagi praktik kreatif seni visual kita. Pinggiran pun bisa berarti pusat.***
Tubagus P Svarajati,
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang
Tuesday, June 19, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment