Monday, June 25, 2007

Mister No Linggis

Photo: Ferintus Karbon


ORANG ini cuma dikenal sebagai pematung biasa. Dia sering mudah ditemui pada berbagai acara pembukaan pameran seni rupa di Yogyakarta. Kita mengenalnya sebagai Ali Umar. Ya, Ali Umar yang berkumis itu.

Ali Umar menjadi bahan pembicaraan penting, setidaknya dalam suatu kesempatan presentasi di Antena Projects, belum lama ini. Antena Projects adalah lembaga yang didirikan oleh seniman Entang Wiharso dan istrinya, Christine Cocca. Lokasinya dekat Candi Prambanan; tepatnya di desa Carikan, RT3/RW2, Taman Martani, Kalasan, Sleman, Indonesia.

Sore itu, Senin (18/6), Ali Umar memaparkan pengalamannya saat residensi di Korea Selatan. Dia ditemani oleh Samuel Indratma dan Jopram. Kita mengenal Samuel sebagai salah satu pendiri Apotik Komik, yakni kelompok seniman yang bekerja dalam seni publik, tepatnya seni mural. Sedangkan Jopram adalah seniman muda asal Surabaya.

Samuel dan Jopram juga menceritakan kesan dan pengalaman mereka saat residensi. Samuel baru saja pulang dari Melbourne. Dia tinggal selama dua bulan dan difasilitasi oleh Yayasan Kelola dalam konteks memperdalam manajemen budaya. Sedangkan Jopram mengisahkan manfaat residensi yang dilaluinya di Antena Projects beberapa bulan silam.

Yang menarik dari kisah Ali Umar ialah: bahasa Inggris, sebagai bahasa komunikasi universal, bukan kendala besar baginya. Ini bukan berarti dia mahir bercakap dalam bahasa Anglo Saxon itu, namun sebaliknya, bahasa Inggrisnya grotal-gratul. Akan tetapi, uniknya, nasib baik tetap berpihak padanya dan dia diundang sebagai artist-in-residence di Korsel selama dua bulan.

Awalnya Ali Umar minta tolong kawannya, seorang petugas warnet, agar dicarikan informasi lowongan residensi di luar negeri. Google dibuka dan dicarilah informasi yang diperlukan. Singkat kata, ketemulah peluang residensi itu dan semua data dikirimkan, dalam bahasa Inggris, kepada host bersangkutan. Dua hari kemudian datang jawaban: Ali Umar diterima residensi di Korsel. Alamak! Bagaimana ke sana sedangkan kantong tak berisi....

Atas jasa baik seorang kawannya, orang Korea, Ali Umar dibelikan tiket dan invoice dikirimkan ke host di Korsel. Tak lama kemudian datanglah sejumlah uang pengganti sekaligus sebagai tanda bukti bahwa dia hakulyakin ke Korsel. Terbanglah Ali Umar ke Negeri Ginseng itu.

Di Korsel yang berlaku ialah "bahasa Tarsan". Tentu saja itu cuma pengalaman Ali Umar. Dengan hanya menghafalkan sedikit kosa kata Inggris, toh dia sukses di sana. Host senang sekali dan pergaulannya dengan penduduk setempat juga lancar. Akhir kata, Ali pulang ke Yogyakarta membawa segudang pengalaman asyik-asyik.

Tanah Korsel meninggalkan jejak kecerdasan kepadanya. Di Yogya, dengan sepenuh semangat, Ali mengumpulkan sejumlah seniman dengan satu tujuan saja: bagaimana agar bisa berpameran dan praktik residensi di luar negeri. Pengalamannya mengajarkan bahwa peluang terbuka luas di mancanegara. Gemunung informasi tersedia di internet. Persoalannya, apakah kita semua rajin mengaksesnya, menghubungi lembaga bersangkutan, dan tentu saja, minimal mengerti bahasa Inggris.

Kisah Ali Umar cukup jelas: ibarat bermodal dengkul, sangu rempeyek kayu dan batok kelapa, toh, ke luar negeri semudah mata mengerling.

Siapa menyusul?***

No comments: