Saturday, June 30, 2007

Mengapa Nurul?

Photo: Ferintus Karbon


PEREMPUAN itu tak bersuara. Wajahnya teperkur serius. Satu-satunya tanda, yang ditangkap oleh pemirsa, cuma geliatnya yang lembut-auratik. Teramat pelan, bahkan, nyaris tidak terdeteksi.

Nurul, sapaannya. Lengkapnya Nurul Prihartini Gansarwati. Ia terus bergerak, berputar pelan, dengan hanya bertumpu pada satu titik pijak. Kedua tangannya meraup piring dengan figur kepala di atasnya. Alumnus Seni Tari Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu sedang melakukan performans “Being Javanese” di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Jumat malam (25/5).

“Being Javanese” adalah performans karya Entang Wiharso. Perupa ini mendelegasikan karyanya pada Nurul dan empat sekawannya. Empat performer yang lain duduk takzim sambil makan nasi tumpeng. Mereka berlima tak bersuara, juga tidak saling berkomunikasi. Diam di tengah-tengah keriuhan sekelilingnya.

Nurul dan keempat rekannya tidak cuma menirukan teks performans Entang. Mereka mengelaborasi intensi sang seniman dengan cara mereka sendiri, sehingga yang muncul ialah teks performans baru. Jadilah suatu jalinan intertekstualitas yang kompleks.

Pada gestur, gerak tubuh, dan helaan napas perempuan yang menari di atas meja makan itulah “Being Javanese” mencapai puncaknya. Tubuh Nurul, performer itu, memancarkan energi yang meletup-letup, namun khas kejawaan: letupan yang mencapai kontinumnya tatkala diekspresikan secara lembut berirama. Ada taksu, selaik magma gemunung merapi, membuncah dari tubuh sintal perempuan itu.

Maka, tak syak, Nurul menjadi magnet malam itu. Kita pantas mencatat kelahiran seorang seniman performer baru dengan nilai kulminatif.

Peristiwa Seni
Pentas perdana Nurul itu mengawali suatu peristiwa seni yang melengkapi pameran “Intoxic” Entang Wiharso. Kedatangan seniman itu telah mendorong publik seni Semarang masuk pada babakan seni dan jejaring yang lebih luas. Tolok ukurnya, tidak lain, ialah prestasi dan reputasi internasional yang dimiliki seniman kelahiran Tegal itu.

Terlepas dari kesenian Entang Wiharso yang meneror publik Semarang, nilai penting pameran “Intoxic” itu juga terletak pada animo dan apresiasi seluruh audiens, termasuk para sosialita seni Indonesia, yang hadir pada malam itu. Ini pertanda ada kegairahan pada perhelatan seni visual kontemporer bertaraf nasional (atau bahkan internasional) itu.

Januari lalu, suatu siang, perupa santun yang beristrikan orang Amerika keturunan Italia itu menelepon saya. Niatnya jelas, dia hendak berpameran di depan publik Semarang. Serta-merta hasrat itu saya iya-kan. Ini pasti heboh, pikir saya. Isu kehadiran Entang Wiharso lantas santer tertiup.

Dalam beberapa kali pertemuan, di Yogyakarta dan Semarang, saya mendapat kepastian bahwa Entang Wiharso akan membawa karya-karya terbarunya. Karya-karya itu meliputi lukisan, instalasi multi media, video, dan juga performans. Tentang performans, ekspresi seni yang melibatkan tubuh sang seniman sendiri, sudah lama seniman ini tidak melakukannya. Jelas, pameran itu bakal menguarkan totalitas kesenian yang berkelas. Bukti itu terbaca dari keseriusan bapak dua putra itu mempersiapkan pamerannya.

Dalam percakapan kami, tidak jarang hingga subuh menjelang, terlihat Entang Wiharso seorang sosok seniman yang berpengetahuan luas. Juga, ia mempunyai atensi mendalam pada isu-isu sosial-politik lokal dan dunia. Tetapi, hemat saya, titik pijak semangat berkaryanya adalah empatinya pada pokok soal humanisme. Ini tidak lain persoalan manusia dan kemanusiaannya.

Kehadirannya di depan publik Semarang, dengan membawa karya hampir 2 kontainer, telah menjadikan kota ini bagian dari praktik kesenirupaan internasional. Alasannya, satu, karena sebagian karyanya akan dipagelarkan di Beijing Biennale, tahun depan. Usai dari Rumah Seni Yaitu karya-karya itu juga akan segera dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta. Kedua, tidak bisa dipungkiri, Entang Wiharso salah satu dari sedikit perupa Indonesia yang punya reputasi internasional. Tahun ini, mulai Agustus, dia diundang residensi enam bulan di Amherst College, Mass, Amerika Serikat dengan fasilitas Copelan Fellowship. Sebelumnya, Desember 2006, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mempresentasikan wacana “toxic art” di Universitas Harvard. Februari silam dia, bersama Heri Dono dan Eko Nugroho, diundang pameran – tajuk “Wind from the East” – di Kiasma Museum Contemporary of Art, Helsinki, Finlandia.

Boleh dikata publik seni Semarang beruntung menyaksikan kreasi-kreasi Entang Wiharso yang terbaru. Kapan lagi kita bisa menikmati suatu peristiwa seni sebesar perhelatan “Intoxic”?

Kolaborasi Mutualistis
Meski tidak ingin bersikap narsistis, sejatinya, pagelaran “Intoxic” Entang Wiharso adalah penanda baru bagi Rumah Seni Yaitu. Bahkan tidak berlebihan jika didaku pula sebagai pameran penting dalam statistika praktik seni visual kontemporer Semarang. Mengapa? Di samping bobot karya, reputasi seniman, dan kualitas pameran yang prima, “Intoxic” juga mengenalkan model kolaborasi mutualistis yang melibatkan para aktivis seni, perupa, dan mahasiswa seni rupa Semarang. Pantas dicatat, mereka anak-anak muda yang energik.

Puluhan anak-anak muda itu terlibat mulai dari pra-pameran, mempersiapkan ruang pamer, penataan karya, sampai pada berkolaborasi dengan Entang Wiharso. Upaya kebersamaan seperti ini sebelumnya jarang atau hampir tidak pernah dilakukan. Dari kerja bareng itu, hemat saya, para relawan itu mampu mengail nilai tambah bagi spirit dan kesenian mereka kelak. Fakta yang menarik ialah mereka berasal dari ruang-ruang kreasi yang berbeda, yaitu sastra, musik, film, teater, dan seni rupa.

Sebenarnya, dalam praktik produksi seni kontemporer, modus kolaborasi atau jam session sudah lazim dilakukan. Yang penting diamati bukan tampak depan bangunan kerja sama itu, namun pada niat baik dan kerelaan berbagi peran dari segenap pemangku kepentingan. Pengelolaan sumber daya – gagasan dan manusia sebagai kreator – itulah yang laik dicermati dan dielaborasi secara tepat dan bijak. Dengan demikian, ke depan, isunya bukan siapa berkawan atau berseberangan dengan siapa, namun bagaimana mereka disertakan guna merealisasikan mimpi secara bersama-sama.

Fakta lain, dari praktik kolaboratif dan keterlibatan pada produksi “Intoxic”, anak-anak muda itu tentu belajar banyak tentang manajemen pameran. Mereka pun, saya kira, juga menyerap energi yang terpancar dari etos kerja seniman sekelas Entang Wiharso. Tentu saja kesempatan seperti itu tidak datang terlalu sering. Tambahan lagi, praktik kolaborasi antarseniman berbeda generasi itu niscaya meluaskan jejaring para aktivis seni Semarang.

Anak-anak muda itu beruntung tumbuh pada lingkungan yang egaliter dan moderat. Tidak ada yang mengekang, tidak ada yang menghadang. Mereka hadir dengan semangat mendaras. Nurul cuma salah satu contohnya.

Mustahil melupakan nama Nurul dan kawan-kawannya. Mereka mustahak bagi masa depan seni rupa kontemporer Semarang. (Tubagus P Svarajati, direktur Rumah Seni Yaitu Semarang)***

Catatan: Artikel ini dikirimkan ke Suara Merdeka pada Minggu, 17 Juni 2007

No comments: