Friday, November 2, 2007

Festival Seni sebagai Komoditas Turisme

Photography: Prasetiyo Budi Utomo

TAK PERNAH para pelaku industri pariwisata menggagas kemungkinan suatu festival seni kontemporer sebagai event yang bisa mendatangkan devisa. Perhatian utama selalu hanya tertuju pada tourism spot (saujana atau artefak kultural), seni tradisi (teater, musik, atau tari), kuliner, atau cenderamata lokal.

Laporan Kompas “Harus Satukan Langkah”, Kamis (4/1), yang menyoroti industri pariwisata Jawa Tengah tidak sedikitpun menyinggung tentang peran budaya kontemporer itu. Pemangku kepentingan hanya sibuk membicarakan tempat, lokasi, atau daerah tujuan wisata. Malang pula, berdasar fakta yang ada, hampir semua infrastruktur lokasi tujuan wisata Tanah Air tak pernah serius dibenahi. Alhasil, dengan hanya bersandar pada ‘aset’ yang ada untuk mengail devisa, terasa bermimpi di siang bolong.

Padahal, dalam praktik strategi kebudayaan global, kita menyaksikan budaya kontemporer suatu bangsa dieksplorasi habis-habisan demi pengarusutamaan mencetak devisa. Lihat, bukankah festival seni ‘jalanan’ Rio de Jainero (Brasil) menjadi bukti tak terbantahkan?

Dalam konteks tertentu, mirip dengan praktik seni tari-musik-fesyen di Brasil yang fenomenal itu, masyarakat Jember telah melangkah jauh sekali. Kita terperangah oleh gerakan masif festival fesyen jalanan di kota kecil – di ujung timur pulau Jawa – itu tahun-tahun terakhir ini. Festival tahunan itu, yang menyedot publisitas luar biasa, bukan tak mungkin suatu saat jadi andalan wisata Indonesia. Dan inilah satu contoh, betapa peran masyarakat terhadap industri turisme (community-based tourism) bukan isapan jempol.

Lantas, mampukah Semarang – atau Jawa Tengah umumnya – melahirkan produk turisme inovatif, terutama berbasis pada budaya kontemporer?

Festival Seni Rupa
Arus utama pergerakan manusia, dalam industri turisme global, tidak cuma tergiur pada eksotika alam-saujana atau seni-budaya tradisi lokal. Manusia rindu berkomunikasi – dalam konteks sosial-budaya – dengan manusia lainnya yang hidup se-zaman. Dus, sebuah komunikasi kultural dalam ranah kontemporeritas.

Pada posisi itulah, pergaulan bangsa-bangsa menemukan signifikansinya pada upaya pemahaman berbasis pluralisme dan multikulturalisme. Maka, sebuah perjalanan wisata tak hanya mereguk atmosfir gunung-gemunung, mencecap kuliner lokal, atau cuma berdecak-kagum pada ‘keadiluhungan’ seni tradisi, namun sebenarnya berpijak pada suatu dialog kultural antarmanusia yang saling bersapa.

Dalam perjumpaan kultural itulah, maka peran budaya kontemporer tidak bisa dinafikan. Kultur kontemporer pantas dipahami sebagai berbagai segi peri-kehidupan manusia se-zaman dalam kurun waktu dan ruang tertentu. Dan seni-budaya manusia kontemporer selalu melahirkan tegangan dan kejutan psikologis-emosional yang, pada perkembangan positifnya, mampu memperkaya kehidupan batiniah.

Seni-budaya kontemporer, pada umumnya, adalah reaksi, aksi, harapan tentang tatanan ruang kehidupan manusia agar lebih nyaman bagi umat manusia keseluruhannya.

Salah satu praktik seni budaya kontemporer, sejak beberapa dekade terakhir telah menjadi semacam cermin ‘modernitas’ dan, seringkali, mendatangkan citraan positif bagi suatu negara atau kota besar di dunia, ialah festival seni rupa kontemporer. Sebut saja sejumlah bienial – pameran konseptual seni visual dwi-tahunan – yang tersohor, seperti: Gwangju (Korsel), Shanghai (China), Sao Paolo (Brasil), Havana (Kuba), atau Venice Biennale (Itali) yang tertua di dunia. Bienial-bienial itu sukses menyedot tidak saja kelimun dan devisa yang meruah, namun pula mampu menaikkan ‘derajat’ kultural suatu bangsa.

Contoh fenomenal ialah China. Lima tahun lalu, di kawasan bekas markas tentara di Beijing, sejumlah seniman menggagas suatu festival seni rupa. Target awal: menggugat kebijakan pemerintah yang hendak meratakan kawasan itu dan diganti dengan infrastruktur modern. Aksi para seniman itu, akhirnya, menyadarkan Pemerintah China, bahwa suatu gerakan seni-budaya kontemporer, jika dirancang dan dikelola secara baik, niscaya deras mengalirkan devisa. Benar saja, sekarang Dashanzi Art District disebut-sebut sebagai ‘the hottest cultural-zone’ di dunia oleh Financial Times.

Sejumlah bienial di atas, riwayat Dashanzi, dan festival Rio de Jainero menjadi bukti: budaya kontemporer layak dicermati sebagai objek unggulan dalam blue-print industri turisme kita.

Festival di Kota Lama
Di kawasan Kota Lama Semarang, sebagai hinterland Eropa ‘tempo doeloe’ itu, pantas digelar suatu Festival Seni Visual Semarangan. Magnet kawasan itu tak perlu diragukan lagi. Indonesia juga tidak kekurangan seniman dengan karya-karyanya yang menarik.

Dalam bayangan saya: Festival itu tidak saja akan menjadi tolok ukur seni-budaya kita kelak, namun sekaligus ladang devisa yang cukup menggiurkan. Yang diperlukan: manajemen budaya terlatih, pekerja seni militan, praktik kerja dan jejaring sinergis, serta tidak koruptif. Pamrihnya: demi kemakmuran bersama.

TUBAGUS P SVARAJATI
Direktur Rumah Seni Yaitu, Semarang

[CATATAN: Esai ini dikirim ke Kompas, Jumat, 5 Januari 2007]

4 comments:

M. Rofikin said...

Hallo, pak...
Gimana kabarnya? Saya mau menanggapi tentang masalah KtoK yang mau dipamerkan di RSY. Sebenarnya masih bisa direalisasikan nggak, pak? Seandainya bisa, kalau selain bulan Desember bagaimana? Soalnya ada banyak acara; biennale, pameran angkatan dan KtoK#5.

Mohon dukungannya pak untuk KtoK, biennale, da pameran lainya...
Terima kasih.

Ratri said...

Hallo pak Bagus...
Lama nggak ketemu, baik-baik aja kan pak? Saya cuma mau mengucapkan terima kasih atas dukungannya selama ini. Berkesenian memang harus fun and playful. Saya sudah merasakan khasiatnya. Terima kasih.

Mohon dukungannya lagi ke depannya...
Semangat!!!

Tubagus P. Svarajati said...

Halo! Halo!

Dukung-mendukung? Lha iya tentu sebagai sesama makhluk beradab.

K-to-K tak perlu lagi dipamerkan di RSY. Bukankah capaian di suatu bienial adalah prestasi tertinggi? Keliru, jika terbukti lain bahwa bienial itu cuma niru-niru nama saja, bukan mewarisi tradisi bienial yang di luar sono...

Tetap semangat!
Dan terima kasih juga.

arison said...

sangat setuju sekali dengan pendapat anda, selama ini pemerintah teruatama saat ini sedang mgencar2nya mengkampanyekan visit indonesian year 2008, tapi di lain pihak ada beberapa hal yang masih diabaikan salah satunya adalah bagaimana mengangkat budaya serta keunikan lokal untuk dijadikan sebagai magnet pariwisata.