Wednesday, November 14, 2007

AWAS! Seni Rupa Lokal

All art-works by Hamad Khalaf in the "Camouflage: Acts of War" exhibition at Rumah Seni Yaitu, August 31 to September 9, 2007.

SENI RUPA Semarang cukup bergemuruh lima tahun belakangan. Tumbuh kecenderungan melintasi bahkan bersekutu dengan wilayah artistik di luar konvensi atau praksis seni rupa itu sendiri. Meski begitu, belum terlihat hadirnya perupa dengan bahasa visual dan konsepsi yang kuat.

Berdasar catatan terserak dan estimasi, kurun lima tahun terakhir, ada lebih dari dua ratus aktivitas kesenirupaan yang diikuti oleh perupa Semarang. Hanya saja sebagiannya memang kegiatan yang berlangsung di luar kota. Juga, sebagian besar aktivitas itu bukan berasal dari inisiatif personal atau komunal seniman.

Akumulasi kegiatan itu cukup menarik jika dikaitkan dengan fakta tidak adanya kontribusi dana atau peran negara di dalamnya. Dukungan juga tidak hadir dari dewan kesenian yang notabene kepanjangan tangan pemerintah.

Hasil amatan menunjukkan, justru peran dan kontribusi masyarakatlah yang mendominasi kegiatan kesenirupaan Semarang. Pihak masyarakat itu termasuk galeri, ruang pamer independen, dan kalangan seniman sendiri. Sedangkan komponen masyarakat lainnya, yakni para apresian ‘kuat’ atau kolektor yang, secara finansial maupun terkadang ‘politik-estetika’ amat berpengaruh, hampir tidak berperan sama sekali.

Celakanya kita juga menyaksikan tumbuh, runtuh, dan sekaratnya sebagian ruang-ruang pamer. Sudah tidak ada kabar lagi mengenai Galeri Sienna, Galeri Gajah Mada, Galeri Proses Borobudur, Rumah Seni Kayangan, Galeri Joglo, Kedai Proses, atau B’OK Art House.

Yang tersisa dan bertahan ialah Galeri Semarang, Rumah Seni Yaitu, Galeri Dahara, dan Galeri Bu Atie. Ada juga Galeri Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang didanai Pemkot, namun kegiatannya tidak terlihat semarak.

Jika diamati, tumbuh dan tumbangnya ruang-ruang pamer itu bukanlah pertanda progresivitas atau dinamika kesenirupaan suatu kota. Hal itu lebih sebagai kegagalan mendiseminasi gagasan menjadi jejak yang menyejarah dalam medan sosial seni Semarang. Disgresi itu, lebih lanjut, termasuk minimnya pengetahuan manajemen seni, langkanya etos kreatif dan enterpreneurship, serta tak jelasnya visi-misi para pendiri ruang-ruang itu. Lihat saja fenomena satu-dua ruang yang sejak dideklarasikan, lantas, tidak pernah berkiprah lagi. Atau ruang pamer yang hanya mampu sesekali berproduksi. Begitulah sebenarnya kisah ruang-ruang yang berserak.

Sejatinya, dukungan infrastruktur saja tidak cukup. Seandainya pun suatu kota punya lembaga pendidikan tinggi seni rupa, ruang pamer yang memadai, organisator yang tangkas, sampai penyandang dana yang kuat, toh, itu semua tidak memadai jika tidak disertai dengan aktivitas kesenirupaan yang laten. Aktivitas atau gerakan kesenirupaan itu niscaya mengasumsikan adanya kreativitas dan etos berkarya yang memadai. Sedangkan etos berkarya menandaskan hadirnya praktik produksi artistik yang melimpah.

Pertanyaannya, adakah kelimpahan kreasi dan praktik artistik para seniman (baca: perupa) Semarang?

Kreasi
Bahwa (beberapa) perupa – tergolong ‘senior’ – Semarang, belakangan ini, kerap dilibatkan oleh satu-dua galeri dalam pameran-pameran tematik di Yogya dan Jakarta. Akan tetapi, hal itu bukan pertanda suburnya kreasi kesenirupaan mereka. Kreasi mengandaikan adanya kebaruan dalam gagasan, anasir estetika, visualitasnya, dan bahkan termasuk modusnya. Tentu saja hal itu tidak selalu paralel dengan praktik produksi artistik yang, dalam beberapa kasus, hanya bersandarkan rutinitas atau pesanan (termasuk: undangan kuratorial) saja. Dalam banyak kesempatan justru yang terakhir inilah yang terjadi di Semarang.

Publik seni Semarang belum melihat hadirnya sosok perupa garda depan dengan gagasan-gagasan visioner. Sebagian perupa berbakat tumbuh dan lantas, tidak lama, meluruh. Perkara ini acapkali hanya berpangkal pada korelasi timpang antara angan-angan (atau mimpi?) dengan ‘mitos’ berkreasi itu.

Faktor determinan lainnya sebagai ‘penghambat’ praktik kekaryaan, bahkan nyaris menjadi momok, adalah relasi horisontal yang friksional. Teramat sering perkara sepele mendatangkan antipati yang berlebihan. Belum lagi tentang segregasi antarpemangku kepentingan.

Salah satu solusi meningkatkan praktik kreasi yang menawan ialah dengan diselenggarakannya pameran seni rupa yang laten, terus-menerus. Saya maksudkan berpameran, atas inisiatif personal atau komunal seniman, ialah mengambil tempat di kota sendiri. Dalam forum pameran itulah seniman bisa mendiseminasi gagasannya, entah besar atau sekadar intermeso banal. Pameran-pameran itu akan berimbas ganda, yakni di satu sisi sebagai latihan kreatif dan, pada sisi lainnya, mengail publisitas bagi dirinya sendiri dan serentak pula berguna bagi kehidupan kesenian kota.

Aktivitas berpameran, di samping suatu upaya pembelajaran, adalah cara seniman ‘bertanggung jawab’ kepada publik atas atribusi kesenimannya. Simak lebih lanjut tulisan saya, “Agar Seni Rupa (Semarang) Pantas Dikenang” (Suara Merdeka, Minggu, 5 November 2006).

“K-to-K Project”
Belakangan ini ada yang menarik pada praktik kesenirupaan di Semarang, yakni lahirnya “K-to-K Project” yang melibatkan (calon) seniman muda dan sekelompok mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Semarang (Unnes). Gagasan mulanya, “K-to-K Project” diniatkan sebagai lima kali pameran bertempat di kos-kosan sekitar kampus Unnes, Sekaran, Gunung Pati, dengan interval dua bulanan. Sekarang pameran itu telah berlangsung empat kali. Pada akhir proyek – dengan asumsi karya kos-kosan itu artistik dan menarik – akan ditampilkan sebagai pameran utuh di Rumah Seni Yaitu (RSY) Semarang, Desember ini. Rencana semula begitu.

Awalnya memang tekesan sepele. Suatu malam, akhir November silam, ditemani Ridho (M. Salafi H.) dan Aris Yaitu, saya menemui sekelompok mahasiswa seni rupa Unnes di sebuah rumah di Gang Kenari, Sekaran, Gunung Pati (kelak rumah itu dikenal sebagai Kos Pokemon). Saya cetuskan gagasan: pameran berkala di rumah-rumah atau kamar-kamar kos mahasiswa.

Eksperimen pameran di rumah atau kamar kos, sehingga dinamakan “Kos-to-Kos Project” atau “K-to-K Project”, itu berawal dari kegundahan saya: betapa minimnya pameran seni rupa di Semarang yang melibatkan mahasiswa Unnes. Padahal, kita tahu, ini perguruan tinggi satu-satunya yang mempunyai jurusan seni rupa di Semarang.

“K-to-K Project” sebenarnya siasat terhadap miskinnya eksplorasi kekaryaan, langkanya pameran seni rupa mahasiswa, serta solusi atas mahalnya biaya pameran. Dengan model pameran itu, saya harapkan, mahasiswa kian kreatif (termasuk merambah teknik dan medium kekaryaan baru) dan naiknya skala penyelenggaraan pameran yang melibatkan mahasiswa dengan konsekuensi kegiatan itu akan berbiaya murah. Singkatnya, dari mahasiswa untuk mahasiswa. Di atas itu semua, ada semangat bermain (playful) yang menggembirakan (for fun) yang hendak diperkenalkan kepada publik. Sebab, saat itu, saya melihat betapa di kalangan mahasiswa seni rupa pun tidak muncul kegembiraan menyikapi fenomena seni visual.

Tidak disangka pancingan saya bersambut. Hanya dalam tempo dua minggu mereka, dimotori oleh Ridho (pernah kuliah di Seni Rupa Unnes, tidak tamat) dan Nasay (mahasiswa tahun terakhir Seni Rupa Unnes, kini telah lulus), berhasil mengadakan pameran “K-to-K Project” #1 bertajuk “Heroisme” (14/12) di rumah kos Pesanggrahan Temulawak, Banaran, Sekaran, Gunung Pati.

Langkah awal ini, seperti saya duga, tidak menampilkan karya dengan bahasa visual yang kuat. Ini sebuah pameran ala kadarnya.

Dari yang pertama lantas meluncur “K-to-K Project” #2, ialah “Komedi Putar” di Kos Pokemon, Gang Kenari (27/2). Saya cukup terkesima olehnya. Dalam catatan saya, inilah pameran paling menarik yang pernah diadakan oleh mahasiswa Seni Rupa Unnes, bahkan hingga tulisan ini dibuat. Pameran itu menampilkan beragam medium dan visualitas dengan gagasan-gagasan segar.

Yang ketiga berjudul “Dark Brown Sofa” di Kos Pink Corner, Sekaran, Gunung Pati (26/4). Pameran ketiga ini menyuguhkan video dan foto. Meski tidak ada karya yang mengejutkan, karya video Irfan Fatchu Rahman – kisah tentang sofa yang dikelilingkan di seantero kota – cukup menarik perhatian saya.

Sejatinya, pameran “Dark Brown Sofa” itu telah mengenalkan ragam foto dan video ke dalam khasanah praktik visual sivitas akademika seni rupa Unnes. Beruntung sebagian peserta pameran itu pernah ikut Workshop OK! Video MILITIA 2007 di RSY (9—16/4). Lokakarya video itu kerja sama antara RSY, Kronik Filmedia, dan ruangrupa Jakarta.

Perlu dicatat, salah satu hasil lokakarya video itu – Tamasya Reklame/2007/2’ buatan Singgih AP – ditayangkan di layar besar pada malam pembukaan Festival Video Internasional Jakarta ke-3, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (10/7). Karya mahasiswa seni rupa Unnes itu disejajarkan dengan karya-karya besar Benny Nemerofsky Ramsay/Pascal Lievre (Kanada/Prancis), Astrid Rieger/Zeljko Vidovic (Jerman), Jean-Gabriel PĂ©rlot (Prancis), dan Daniel Lisboa (Brasil).

Pameran “K-to-K Project” #4 – bertajuk “Sakit? Di-KOMIX Aja!” dengan tema pendidikan – baru saja berlangsung di Rumah Catdog, Jl. Banaran Raya (2—5/10). Anak-anak muda itu mempertontonkan ragam komik sederhana dengan berbagai medium eksplorasi. Sayang, di tangan mereka komik cuma dimengerti sebagai gambar dengan teks naratif.

Gerakan Baru
Jika dicermati, “K-to-K Project” layak disebut sebagai gerakan ‘revolusioner’ dalam konteks kesenirupaan Semarang. Tak pernah terjadi, dalam data praktik seni visual Semarang atau bahkan sejak Unnes bernama IKIP Negeri Semarang, ada kelompok-kelompok mahasiswa yang berpameran di rumah-rumah kos mereka. Bahwa, seandainya pun, kualifikasi artistika karya-karya mereka kurang memadai, toh, itu tidak mengurangi fakta kepionirannya.

Seringkali praktik estetika seperti itu cuma disalah-mengertikan sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan (atau kemandegan!) suprastruktur atau ruang-ruang pamer yang, konon, hegemonik. Faktanya, sebagian eksponen “K-to-K Project” seringkali dilibatkan – untuk sekadar menunjukkan data – dalam kegiatan di RSY. Beberapa di antara mereka bahkan diberi kesempatan berkolaborasi dengan Entang Wiharso tatkala seniman itu berpameran tunggal – “Intoxic” – di RSY (25/5 hingga 16/6).

Selalu saja alasan-alasan usang direproduksi oleh beberapa pemangku kepentingan (tentu mereka yang sirik!) untuk mendiskreditkan ‘gerakan’ yang tidak sejalan dengan praktik artistika mainstream.

Saya tegaskan, isu ‘perlawanan’ terhadap ruang pamer adalah romantisme picisan. Dan gelagat desktruktif begini juga menghantui sebagian besar anak muda yang kalap. Melawan harus dinyatakan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan kulminatif, bukan dengan cara menyodorkan praktik atau atribut pandir. Bagi saya, jelas sekali, mereka yang tidak mampu meraih apresiasi dari ruang pamer tertentu – atau dalam konstelasi pergaulan seni secara luas – adalah mereka yang kalah dalam arena negosiasi.

Seandainya hendak ditandai sebagai praktik pengingkaran, maka fenomena itu – pameran di rumah kos – pantas disimak sebagai pergulatan internal mahasiswa menyoal legitimasi kampus. Santer terbetik kabar, dalam masa yang panjang, di dalam kampus sendiri, para mahasiswa itu tidak leluasa berkreasi. Sejumlah alasan dikuatkan: para mahasiswa itu, antara lain, oleh dosen mereka dipandang belum cakap memamerkan karyanya.

Kini sinyalemen itu semestinya luruh dengan sendirinya. Penerimaan publik, termasuk media massa lokal, terhadap praktik kekaryaan para mahasiswa itu berujung pada kanal yang menggembirakan. Siapa sangka, “K-to-K Project” yang semula hanya diintensikan sebagai solusi sederhana terhadap kebuntuan praktik kreasi di lingkungan mahasiswa Unnes, dihargai dalam sebuah bienial? Saya pun tidak menduga demikian.

Kepastian diundangnya “K-to-K Project” unjuk diri dalam Jogja Biennale 2007 – bertajuk “Neo-Nation” – sungguh mengesankan. Fakta objektif ini mendeskripsikan pencapaian optimum seni rupa Semarang, diwakili serombongan anak muda, dalam kancah kesenirupaan kontemporer Indonesia.

Siapa saja mereka? Pertama kali, tentu saja, harus disebutkan sosok Ridho. Anak muda inilah yang sejak awal berkeringat memuluskan proyek “K-to-K”. Kemudian, dalam perjalanan waktu, menyusul bergabung M. Rofikin, Singgih AP, kakak-adik Nahyu-Ratri, Irfan Fatchurahman, dan sosok di belakang layar Firman.

Proyek pameran mahasiswa ini juga mendatangkan penghargaan bagi Ridho. Bapak satu putri ini hadir sebagai pembicara dalam seminar seni rupa nasional – tema “Membangun Dinamika Seni Rupa Indonesia 2007” – di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (12—13/7). Tentu saja Ridho ‘menjual’ fenomena “K-to-K Project” itu.

Di antara yang serius, terlihat dari capaian prestasinya, terdapat juga pasangan Rofikin-Ratri. Proposal keduanya lolos seleksi, dalam suatu penyaringan terbuka oleh para kurator Jogja Biennale 2007, dan karyanya akan dipajang dalam ajang pameran dua tahunan itu.

Nama-nama tersebut di atas hanyalah sebagian di antara mereka yang intens menggawangi “K-to-K Project”. Selebihnya, keberhasilan atributif itu jelaslah jerih-payah semua mahasiswa yang terlibat, bukan milik kelompok (atau korporat!) tertentu. Klaim sepihak akan berakibat retaknya kebersamaan yang telah terbangun dengan baik.

Catatan Pelengkap
Dalam Jogja Biennale 2007 itu (dijadwalkan Desember ini), selain “K-to-K Project” dan pasangan Rofikin/Ratri, turut pula berpameran Putut Wahyu Widodo, Doel AB, dan Aji Akhmad Sumardhani. Fakta ini menggenapi suka-cita seni rupa Semarang.

Meski begitu, hanya pada kelompok “K-to-K Project” inilah terlihat kegiatan lintas disiplin. Selain menggeluti beragam medium, mereka juga bersekutu dengan komunitas seni lain – misal, kalangan sastra Komunitas Hysteria – melansir kegiatan multifaset. Ini fenomena menarik dalam dunia seni visual Semarang terkini.

Akan tetapi, dengan harapan kian melambungkan praktik kreasi dan kemeriahan seni visual kota, izinkanlah saya berbagi beberapa pendapat. Pertama: penerimaan “K-to-K Project” dalam Jogja Biennale 2007 tidak mesti disikapi paralel dengan kualifikasi artistikanya. “K-to-K Project” bijak dilihat sebagai satu fenomena baru dalam modusnya di dalam konteks praktik seni visual Semarang.

Kedua: Putut Wahyu Widodo dan Doel AB pantas dihargai pergulatan dan keseriusannya dalam praktik artistikanya lima tahun terakhir. Mereka sebagian kecil perupa Semarang yang intens berkarya.

Ketiga: dalam berkesenian, dengan harapan menjadi seniman atau pekerja seni papan atas, perlu lebih digalakkan capaian kualitatif ketimbang kesenangan meraih popularitas yang mengandalkan kiat, strategi, atau keluasan jejaring sesaat. Hindarkan menjadi parvenu idiot.

Di luar itu semua, saya tak paham, bagaimana mekanisme penyeleksian suatu bienial dilakukan. Mungkin pemilahan komprehensif dilakukan sebatas melalui foto dan analisis data yang diajukan para pengusul karya. Tak jelas pula bagaimana menerangkan keikutsertaan orang dengan rekam jejak tipis.

Pada ujungnya publik seni Semarang hanya bisa berharap, capaian optimum praktik seni visual Semarang mampu mengalahkan skeptisisme yang meronak. (Tubagus P. Svarajati, pengamat seni rupa, tinggal di Semarang)***

[CATATAN: Esai ini dikirimkan ke Suara Merdeka, Rabu (17/10/2007)]

No comments: