Monday, November 19, 2007

Memotret Ego

"and this one is for you" by Roy Voragen


“If your pictures aren’t good enough, you aren’t close enough.”
(Robert Capa)

MEMOTRET tidak cuma mengandalkan kamera, penglihatan tajam, gerak aksidental, atau nasib baik. Praktik memotret membutuhkan sederet pengetahuan, juga pengalaman. Termasuk pula menyertakan intensi sang fotografer: untuk apakah ia memotret.

Begitulah, memotret adalah langkah penuh perhitungan. Fotografer membidik, memilah, mengomposisi, sampai pada tindakan ‘memanipulasi’ peristiwa atau subjek-foto. Kecermatan diperlukan untuk satu tujuan: menampilkan foto yang menarik sekaligus inheren maknawi. Dengan begitu, jelaslah, praktik memotret selain berelasi dengan teknik fotografi sekaligus pula tentang cara mengonstruksi nilai-nilai wigati.

Fotografi menegaskan bahwa citraan yang diproduksinya adalah sebentuk bahasa atau teks. Pernyataan ini mengartikan bahwa fotografi termasuk media komunikasi. Fotografer dan pemandang (atau penikmat foto) berkomunikasi sesamanya melalui bahasa visual. Dari sana akan lahir pemahaman, meskipun tidak selalu berakhir dengan kesepakatan, tentang pokok soal yang dibincangkan.

Sebagaimana bahasa, fotografi adalah alat tutur dengan seperangkat gramatika, penanda (signifier), dan petanda (signified) dalam kesepakatan subjektif, ruang dan waktu tertentu. Masyarakat memaknai foto paralel dengan pengalaman kognitif, episteme, dan historisitasnya. Kondisi ini – pluralitas signifikasi – tak jarang memunculkan perdebatan sengit menyoal parameter dan paradigma pemahaman. Akan tetapi, dalam beberapa hal, justru ekstrapolasi diskursif itu semakin memperkaya resepsi kita tentang apa itu fotografi.

Arkian, keragaman pemahaman tentang fotografi di atas juga melingkupi karya Roy Voragen (33), lahir di Heerlen, Belanda. Orang bisa jadi bertanya-tanya, adakah foto-fotonya menawarkan pokok soal fundamental, visualitas yang ‘menggetarkan’, pesan tersurat (moral atau etik, misalnya), estetika fotografis, sampai dengan relasi atau interaksi fotografer dan subjek-fotonya.

Roy Voragen, pengajar filsafat di Universitas Katolik Parahyangan Bandung, mengikuti program residensi seniman di Rumah Seni Yaitu (25/6—29/7). Program itu difasilitasi sepenuhnya oleh Yayasan Widya Mitra Semarang. Fotografer ini memotret kota Semarang dan problematikanya, singkatnya tentang pokok soal urbanitas.

Sebanyak tiga puluh karyanya dipamerkan di Rumah Seni Yaitu, Kampung Jambe 280, Semarang. Pameran “an ongoing URBAN poem” berlangsung pada 9—24 November 2007.

Komunikasi Fotografis
Dengan menyusuri jejalanan Semarang, meskipun tidak di seluruh pelosoknya, Roy Voragen mengamati sekaligus mengabadikan aktivitas kota dan masyarakatnya. Praktik semacam ini lazim pula dilakukan oleh para jurnalis foto. Karya-karya semacam itu disebut ‘fotografi jalanan’ (street photography). Tentang hal ini tentu kita ingat satu nama yang tersohor, yaitu Henri Cartier-Bresson. Wartawan foto ini masyhur karena kesempurnaan dan keakurasian setiap momen yang dibidiknya. Fenomena itu dinamai sebagai ‘decisive moment’.

Berbeda dengan Cartier-Bresson, Voragen seperti memotret secara snapshot, sekenanya. Dia memunculkan tematika lingkungan, perekonomian informal, masyarakat urban, pemukiman rakyat jelata, dan tata kota. Hampir seluruh fotonya tentang aktivitas luar ruang (outdoor). Itu pun utamanya kegiatan siang hari. Minatnya menyasar pada kehidupan masyarakat urban perkotaan. Tepatnya, menyoal golongan papa yang mendiami ruang kota tertentu dan aspek-aspek keruangannya.

Di atas itu semua, manusia di dalam fotonya menduduki tempat sentral. Mereka dipotret dalam berbagai aktivitasnya: bekerja, tidur siang, main catur, bersantai, sampai dengan ketika sedang melamun. Hampir semuanya dibidik secara ‘candid’ (tak diatur, wajar). Hemat saya, subjek-foto itu adalah sosok-sosok yang kehilangan subjektivitasnya. Mereka hadir hanya sebagai objek-dari-fotografer. Dalam konteks ini, fotografer ‘memanipulasi’ subjek-foto untuk mengintroduksikan ideanya belaka. Akan tetapi, dengan mengamati foto-fotonya terkesankan pula pesan-pesannya amat sumir.

Hanya ada satu foto dengan sosok yang tampil bebas, tanpa beban, dan oleh karenanya bersifat eksistensial. Foto “senyumnya lucu banget!” menampilkan seorang anak lelaki sedang memegangi gulungan benang, menoleh dan tersenyum riang. Subjek-foto hadir sepenuh totalitasnya. Sang subjek adalah aku-yang-ada dan menyadari eksistensialitasnya. Kesadaran itu ditunjukkannya dengan sikap dan kewajaran berpose.

Foto “senyumnya lucu banget!” menunjukkan keberhasilan fotografer menghadirkan subjek-foto sebagai pribadi yang utuh. Fotografer tidak mengobjektivikasi subjek-foto. Relasi demikian menerangkan satu hal, bahwa fotografer tidak sekadar memotret, akan tetapi sekaligus berkomunikasi dengan ‘objek’ yang dibidiknya. Fotografer berdialog secara akrab, komunikatif, tidak koersif, dan hampir tidak berjarak dengan sosok yang dipotretnya. Dengan begitu, secara literal, ia mendekati aforisma Robert Capa di atas.

Praktik populis ini sejujurnya tidak mudah dilakukan. Seringkali relasi dan komunikasi hanyalah searah dan berjarak. Subjek-fotografer (hampir) niscaya mengobjektivikasi subjek-foto. Sayangnya, pada pameran ini, Voragen tidak menampilkan koleksi fotonya yang mencitrakan sosok-sosok bebas-merdeka itu. Padahal pada tataran komunikasi itulah salah satu kelebihan dia. Maklum, sebagai ‘bule’ ia mudah diterima oleh orang kebanyakan.

Subjektivitas Fotografis
Selain subjek-manusia, Voragen tertarik pula pada alam lingkungan dan remeh-temeh yang terasa artistik seturut persepsinya. Dia memotret reruntuhan bangunan, bayangan pohon, sudut kota, dan sebagainya. Ketertarikannya pada pernak-pernik itu dan tingkah manusia penghuni kota, hemat saya, mendeskripsikan bahwa sebagai orang Eropa ia atau terkesan pada fenomena itu atau ia menganggapnya sebagai ironi dunia ketiga.

Dalam beberapa segi, saya berkesan bahwa foto-fotonya adalah sebentuk epigram. Dia menggambarkan suatu kota yang sarat dengan paradoks dan anomali. Model presentasi begini, tak ayal, mudah ditengarai sebagai suatu cara pandang turistik. Itu untuk tidak mengatakannya sebagai persepsi kolonialistis yang mengusung konsep eksotika belaka.

Jika dicermati, Roy Voragen – menetap di Indonesia selama empat tahun dan beristrikan perempuan Indonesia – tidak pernah memotret kelimun. Foto-fotonya hanya menggambarkan sosok-sosok atau objek-objek soliter. Fakta itu, bisa jadi, menjelaskan aspek psikologis sang fotografer.

Foto-foto yang terpajang hampir seluruhnya menunjukkan tanda-tanda leksikal yang gamblang, tidak berbelit, dan hampir tanpa simbolisme apapun. Gaya fotografi semacam itu, termasuk kesederhanaan tekniknya, memang memudahkan proses signifikasi, namun sangat mungkin terasa membosankan. Satu-satunya foto yang direkayasa adalah “exposed to this city”. Foto yang dominan warna putih itu – dengan menaikkan pencahayaan ‘over’ beberapa stop – seolah hendak menunjukkan betapa panasnya cuaca Semarang.

Sejatinya, melalui pamerannya ini Roy Voragen tidak cukup kuat ‘memetakan’ Semarang. Dia cuma menelisik fenomena jalanan dengan egosentrisme. Lagipula apa yang dimaksudkan sebagai ‘urban poem’ itu? Tak jelas memang. (Tubagus P Svarajati)

[CATATAN: Esai ini diterbitkan di Suara Merdeka, Minggu (18/11/2007)]

No comments: